Lembutnya Tutur Kata Seorang Wanita, Awal Bahasa Ibu Tercipta

Fimela diperbarui 15 Sep 2016, 13:50 WIB

Memang ada benarnya ungkapan 'men are from Mars, women are from Venus'. Meski tak semua, tulisan-tulisan wanita umumnya jauh lebih halus, menyentuh dan seolah bicara langsung, daripada tulisan laki-laki. Tetapi menjadi seorang penulis yang profesional, seharusnya mampu bermain peran menjadi siapapun. Karena konon, penulis yang baik adalah mereka yang bisa berdasamuka dalam tulisan - tulisannya atau 'mancala putra, mancala putri'seperti kata dalang wayang kulit mengibaratkan sebuah fleksibilitas yang tinggi.

Di luar permasalahan tulis menulis dan kreasi karya sastra lainnya, perempuan dan laki - lakipun sudah berbeda untuk urusan berkata - kata dalam kesehariannya. Sudah jadi rahasia umum dan berkaitan dengan sifat dasarnya bahwa perempuan lebih halus dalam bertutur kata ketimbang laki-laki yang cenderung vulgar. Tak heran ada satu bahasa di dunia yang memiliki ujaran pembeda antara bahasa tutur perempuan dan bentuk ujaran yang khusus dimiliki laki - lakinya, yaitu bahasa Jepang.

Bahasa Jepang, yang setidaknya saya ketahui persis, memiliki aturan berbeda antara bahasa perempuan dan laki-laki. Terlepas dari pembedaan dalam cara berbahasa antara perempuan dan laki - laki, bangsa Jepang juga memiliki sejarah panjang yang menempatkan perempuan berbeda dengan laki - laki. Sedikit di bawah posisi laki - laki, entah bisa dikatakan diskriminasi gender atau bukan, itupun sudah menjadi tradisi dan budaya mereka.

Kembali ke masalah berkomunikasi dan berbahasa, perempuan selayaknya memang harus lebih pede dan nyaman dengan cara dan gayanya sendiri. Layaknya perempuan Jepang yang menggunakan ujaran khusus perempuannya dalam berkomunikasi sehari - hari. Setidaknya untuk mengingat bahwa para perempuan jugalah yang mengajari para laki - laki dalam bertutur kata dan berbahasa untuk berkomunikasi. Bukankah perempuan yang mengajari semua anak - anaknya berkata - kata untuk pertama kali? Sehingga bahasa asli atau bahasa utama milik setiap manusia diberi sebutan sebagai 'bahasa ibu'?

Inti dari tulisan ini sebenarnya adalah alangkah bedanya mungkin dunia kita saat ini jika sejak dulu perempuan diberi kesempatan luas untuk menyuarakan pikirannya dalam cara bertutur kata dan bergaya bahasa sesuai cara mereka sendiri. Diberi kesempatan yang sama seperti pria untuk menjadi pujangga, sastrawan, atau sekedar mengenyam bangku sekolahan lalu menuliskan cerita dan karya - karya sastra kreasi mereka. Diberi ruang dan waktu yang luas oleh para laki - laki untuk menuangkan atau menyuarakan kalimat - kalimat yang bergaya perempuan, girlydan penuh nuansa kedalaman rasa dan kesan feminin yang kuat dalam setiap kesempatan yang ada. Bukan hanya untuk bercerita kepada anaknya yang mau tidur, atau berpuisi saat di dapur atau bersyair untuk para laki - laki pelanggannya a la seorang geisha.

Mungkinkah dunia akan berbeda? Entahlah, ini hanya sekedar angan - angan saja. Angan - angan seorang yang sedang belajar menulis, lalu sekonyong - konyong rindu cara bertutur dan berkata - kata mendiang ibunya, satu - satunya orang tua yang dikenalnya, yang telah lama tiada.

Berbahagialah Anda yang masih bisa bercakap - cakap dengan ibu Anda dalam tutur bahasa khasnya yang sering tak kita dengarkan dengan seksama namun akan dirindu sesudah dia tiada.

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)
What's On Fimela