Move on adalah istilah untuk menunjukkan kondisi berhasil ‘meninggalkan’ masa lalu. Dari posisi bergelimang kesedihan menuju ke posisi yang tentunya lebih nyaman dan lebih baik. Permasalahan yang timbul adalah bahwa nyaman, baik dan mapan adalah kata sifat dan semua kata sifat adalah bersifat relatif, tak absolut dan multi tafsir adanya.
Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah move on yang disebut – sebutkan selama ini juga bersifat relatif dan multi tafsir keberadaannya? Atau apakah move on hanya sekedar berarti seseorang tersebut sudah bisa menjalin hubungan dengan orang lainnya setelah meninggalkan pasangan sebelumnya? Jika pertanyaan yang terakhir ini dibenarkan, maka akan berhadapan dengan ribuan bahkan ratusan ribu single parents di dunia yang hingga kini tetap sendiri, merasa sudah move on dan ‘nyaman’ bersama anak – anaknya tanpa pasangan baru yang mendampinginya. "We have moved on, on our own!" sanggah mereka yang menjalani move on tanpa perlu adanya pendamping pengganti pasangan yang terdahulu.
Move on bisa diartikan sebagai sebuah gerakan maju, melangkah ke depan, untuk lepas dari masa lalu dan melanjutkan perjalanan hidup. Move on sebenarnya lebih mengacu pada gerak – gerik dan polah batin yang terdapat di dalam diri masing - masing. Setidaknya dalam Budaya Jawa terdapat sebuah ujaran bahwa kondisi batin paling stabil dan sempurna adalah yang mampu ‘berdamai dengan dirinya sendiri’. Sebuah ujaran yang mudah diucapkan, namun sulit untuk dilaksanakan.
Dalam konflik batin karena putusnya hubungan dengan seseorang, kedamaian adalah hal yang paling diidam – idamkan. Dan bukan itu saja, tujuan hidup manusia di dunia dan yang akan dilanjutkan ke alam setelah dunia ini adalah kedamaian. Hanya ‘jiwa – jiwa yang damai’ yang akan bersanding kembali dengan penciptanya. Bukankah ada istilah umum dan populer pula bahwa manusia yang meninggal, diharapkan dalam kondisi RIP atau Rest in Peace. Lalu bagaimana mungkin seseorang bisa merasakan kedamaian dalam hidupnya, atau kemudian meninggal juga dalam kedamaian, jika di dalam dirinya sendiri tak pernah ditemukan kedamaian itu? Yaitu, kedamaian yang muncul sebagai bentuk berdamai dengan segala hal yang terjadi dalam hidupnya.
Damai, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tidak ada perang, kerusuhan, tenang dan tenteram. Adakah move on yang dimaksudkan hanyalah bergeser meninggalkan konflik yang terjadi, tanpa adanya upaya menghilangkan permusuhan itu sendiri, agar bisa berhubungan baik kembali selayaknya pergaulan antar sesama manusia? Move on yang dilakukan hanya melarikan diri dari permasalahan tanpa adanya saling memaafkan? Move on, agar di hati tak ada ganjalan lagi dan tidak menciptakan konflik lainnya yang berkelanjutan? Adakah move on yang dilakukan hanya sekedar ucapan, sedang di hati bara masih berapi dan dendam masih terpatri?
Akhirnya, kedamaianlah yang sebenarnya dibutuhkan mereka yang gagal dalam mempertahankan hubungan dengan pasangannya. Baik dalam pertemanan, persahabatan, cinta maupun perkawinan. Bukan sekedar merasa telah ‘move on’. Karena sekalipun seseorang berlari dan berpindah kemanapun, tanpa ada kedamaian di dalam dir, apalah artinya move on? Saat seseorang dapat menemukan kedamaian dalam dirinya, lalu bisa berkata dengan lega ‘aku telah berdamai dengan diriku sendiri dan hidupku’,maka ia termasuk segelintir orang yang berbahagia dalam hidupnya.
Konon, Tuhan hanya akan ‘menerima kembali jiwa – jiwa yang damai’ untuk ditempatkan di sisiNya. Mungkin demikian ‘move on’ dalam kacamata saya, seorang manusia yang tak berhenti mencari kedamaian dalam hidup di dunia untuk bekal kembali untuk ‘move on’ ke alam selanjutnya. Damai di hati, Damaikan jiwa kemanapun kau pergi, maka seluruh dirimu akan terasa nyaman bagai berada di rumah sendiri. Cobalah.
(vem/wnd)