[Vemale's Review]: ''The Architecture of Love'' karya Ika Natassa

Fimela diperbarui 07 Sep 2016, 11:00 WIB

Judul : The Architecture of Love
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 304 halaman
Terbit : Cetakan Ketiga, Juli 2016
ISBN : 978-602-03-2926-0

"People say that Paris is the city of love, but for me, New York deserves the title more. It's impossible not to fall in love with the city like it's almost impossible not to fall in love in the city."

Raia Risjad, sebagai penulis sungguh jadi siksaan tersendiri ketika ia merasa sudah kehilangan inspirasi untuk berkarya. Belum lagi dengan kehidupan pernikahannya yang berujung luka. Ia pun memutuskan untuk memilih New York sebagai tempat pelariannya. Tapi siapa sangka justru di sinilah ia bertemu dengan seseorang yang sama-sama "tersesatnya" dengan dirinya dan membawanya menemukan sebuah takdir yang lain.

Saat Raia menemani sahabatnya, Erin di sebuah pesta pergantian tahun baru, Raia tak sengaja bertemu seorang pria berkaos kaki hijau yang sedang menyendiri duduk tenang di sudut ruangan gelap sedang menggambar objek gedung apartemen di sebelah. Pria tersebut sungguh memancing rasa penasaran Raia. Hingga keduanya kemudian kembali bertemu di Central Park.

“Because you're as lost as I am, Raia. And in a city this big, it hurts less when you're not lost alone.” (The Archictectur of Love, halaman 96)

Raia akhirnya tahu kalau pria tersebut bernama River Jusuf, seorang arsitek yang juga merupakan salah satu founder Panacea Architects. Sejak saat itu, Raia dan River menyusuri sudut-sudut New York bersama. River akan menunggu Raia di depan apartemennya setiap pukul 9 pagi lalu bersama-sama menjelajah New York. Raia dengan laptopnya dan River dengan buku gambarnya. Dengan bantuan River yang memiliki latar sebagai seorang arsitek, Raia bisa menemukan kacamata baru setiap melihat gedung-gedung hingga taman yang mereka kunjungi.

Architecture is sort of a combination of love, mind, and reason. Merancang bangunan itu nggak sekadar urusan teknis, nggak sekadar bikin bangunan yang aman dan nyaman, tapi juga mengakomodasi sentimental values pemiliknya.

Menghabiskan banyak waktu bersama, tak bisa dipungkiri ada sebentuk rasa yang muncul di antara Raia dan River. Namun, masing-masing menyimpan masa lalu dan ada luka yang membekas. Selain bingung harus menentukan bagaimana menanggapi rasa itu, Raia dan River juga sedang bergulat untuk berdamai dengan banyak hal yang terjadi.

"Tahu masalah utama perempuan? Bukan berat badan, bukan makeup, bukan jerawat, fuck any of those shit, semua ada obatnya. Tapi tahu yang nggak ada obatnya? Semua perempuan selalu jadi gampangan di depan laki-laki yang sudah terlanjur dia sayang. Bukan gampangan dalam hal seks ya maksud gue, tapi jadi gampang memaafkan, gampang menerima, gampang menerima ajakan, bahkan kadang jadi gampang percaya."

Satu hal yang paling bikin betah baca novel ini adalah kita seakan-akan diajak jalan-jalan ke berbagai sudut New York. Detail dan deskripsi setiap tempat yang dikunjungi Raia dan River terasa sangat nyata. Diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga, kita diajak untuk sama-sama menyelami perasaan dan emosi Raia dan River dengan lebih mudah. Soal kepiluan, kerapuhan, kembali merasakan rasanya dicintai dan mencintai, memendam rasa, berdamai dengan masa lalu, dan bagaimana akhirnya takdir berbicara.

Kata orang, di saat yang tidak kita duga-duga, terkadang muncul seseorang dalam hidup kita lewat pertemuan acak, mungkin di jalan, di acara, di restoran, stasiun, kereta, dan entah bagaimana, orang ini lantas menjadi orang yang kita rasakan paling dekat, paling membuat kita nyaman, lebih dari orang-orang yang selama ini kita kenal lebih lama dan lebih dalam.

Kisah Bapak Sungai dan Ibu Kebun Raya ini mengalir dengan sangat lembut. Rasanya tak bisa berhenti membaca jika belum sampai tamat. Begadang pun rela dilakukan demi menuntaskan novel ini. Perasaan ikut teraduk-aduk setiap membaca halaman demi halamannya. Makin dibuat penasaran ketika masa lalu dari Raia dan River akhirnya terungkap. Ditambah makin gregetan saat keduanya mulai merasakan sesuatu tapi masih diselimuti rasa ragu.

Tak hanya sekadar tentang New York, tapi juga soal menemukan kembali harapan. Kembali merasakan cinta dan juga soal kembali melangkah dengan hati yang baru.

 

 

(vem/nda)