Tak Ada 'Asih' Pada Cantiknya Burung Kedasih

Fimela diperbarui 06 Sep 2016, 11:28 WIB

Sambil mengendap - endap, dia melihat kanan kiri, menyelinap di antara dahan dan dedaunan. Saat si empunya 'rumah' lengah karena harus pergi menjalankan aktivitasnya, itulah kesempatan emas baginya. Segera masuk diam - diam tanpa permisi, meringkuk di pojok ternyaman lalu melaksanakan hajatnya. Secepat dia melampiaskan niatnya, secepat itu pula dia pergi dan tak akan pernah kembali untuk melihat hasil 'pekerjaan gelap'nya. Lagipula untuk apa? Toh dia yakin si empunya rumah tak akan paham apa yang telah terjadi di rumahnya selama ditinggal pergi. Lagipula untuk apa? Toh dia yakin bahwa hal inilah yang harus dilakukannya karena sudah menjadi sifat dan keyakinannya.

Cerita di atas adalah sekelumit ilustrasi tentang Burung Kedasih. Tak secantik namanya, burung ini dikenal sejak lama menjadi semacam 'parasit' yang hidupnya membebani makhluk lainnya. Yang dilakukannya adalah sesuatu hal yang di luar kewajaran makhluk hidup pada umumnya. Ya, alih - alih mengerami telur - telurnya sendiri, kedasih 'menitipkan' telur-telurnya tanpa ijin di sarang burung lain untuk dierami, ditetaskan dan dibesarkan. Si burung pemilik sarang yang tak memiliki akal seperti Kedasih, dan lebih mendahulukan naluri seekor induk yang sejak awal sebenarnya sudah menyadari bahwa telur - telurnya bertambah satu, selama ditinggalkan mencari kumbang atau belalang. Si burung pemilik sarangpun walau dalam herannya, lalu tak keberatan dengan keanehan yang terjadi dan tetap mengerami telur tambahannya seperti telurnya sendiri.



Apa yang dilakukan kedasih, setidaknya menunjukkan bahwa tidak semua makhluk diciptakan dengan naluri seekor induk pada umumnya. Kedasih bisa dikatakan sebagai satu contoh tentang egoisme, kelicikan dan tipu muslihat yang dilakukan demi kepentingannya sendiri. Sekalipun harus mengorbankan anak - anak keturunannya sendiri. Bagai 'dosa warisan' anak - anak betinanya pun akan memiliki sifat yang diturunkan dari induknya. Walau tak pernah sedikitpun diajarkan baik oleh kedasih maupun 'ibu angkatnya', para 'gadis-gadis' kedasih betina akan memiliki sifat seperti ini.

Dalam kehidupan manusia adakah perempuan - perempuan yang berlaku layaknya Kedasih? Dengan alasan yang pasti lebih beragam dan disertai dalih - dalih pembenaran, banyak perempuan yang menyerahkan anak - anaknya untuk diasuh, dipelihara dan dibesarkan oleh orang lain. Baik secara diam - diam maupun terang - terangan. Ada yang bertindak seperti Kedasih, tetapi dengan santun meminta ijin dan kesediaan serta meninggalkan pesan bagi orang - orang yang menjadi 'tempat penitipan'.

Kelahiran tak dikehendaki, merasa tak mampu memelihara dan menghidupi anaknya, harus bekerja jauh di luar negeri, atau sekedar ingin melanjutkan dan menikmati hidupnya sendiri tanpa gangguan anak - anak di sekelilingnya, adalah beberapa alasan seorang perempuan menitipkan anaknya di 'sarang' orang lain. Ada pula bahkan yang menjadikan alasan luhur 'demi masa depan anaknya agar lebih bahagia, karena bahagianya anak - anak adalah bahagianya juga' sehingga dia justru memberikannya kepada orang lain. Ironi, mungkin istilah yang paling tepat untuk mewakili kondisi ini. Karena siapa yang tahu masa depan setiap anak manusia? Dan ingatkah pada Kasus Engeline, anak perempuan yang layu di tangan ibu angkatnya setelah di'buang' oleh ibu kandungnya sendiri?

Peran induk yang digantikan oleh burung lainnya, keberadaan ibu yang digantikan oleh nenek atau bibinya, fungsi orang tua yang digantikan oleh pembantu atau orang lain, sudah biasa terjadi dalam kehidupan manusia. Anak - anak yang tumbuh hanya dengan mengenal sedikit tentang ibunya, hanya bertemu di saat - saat tertentu saja, atau justru tak kenal dan tak peduli lagi siapa ibunya, semakin hari semakin banyak jumlahnya. Yang terbanyak adalah anak - anak yang dibesarkan dalam kasih sayang seorang pembantu yang digaji untuk melakukannya. Hingga tak heran jika setelah mereka menjadi manusia seutuhnya, masihlah tetap ada sebentuk lubang yang tak pernah terisi dalam jiwanya. Lubang yang ditinggalkan oleh perempuan yang seharusnya menjadi ibunya. Dan manusia - manusia inilah yang nanti akan menjadi manusia - manusia baru penjaga bumi ini. Apa jadinya?

Menjadi Kedasih adalah takdir bagi seekor burung. Namun menjadi ibu selayaknya adalah anugerah sekaligus tanggung jawab besar yang datang dari Sang Maha Pencipta. Nantinya pun anugerah akan diminta pertanggungjawabannya. Untuk para ibu, siapkanlah diri untuk menjawab pertanyaanNya atas amanah berupa anak manusia yang telah dititipkan di rahim - rahim mereka. Siapkan jawaban terbaik karena Tuhan Maha Sempurna, siapkan jawaban terjujur karena Tuhan Maha Tahu atas semua, termasuk isi hati dan benak pikiran semua manusia. Dan akhirnya ... "Be a good mother is a way of syuhada," kata teman Ustadz saya.

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom
Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)