Kisah nyata ini ditulis oleh Nur Sitakurniakasih, salah satu Sahabat Vemale yang mengikuti Lomba Menulis #StopTanyaKapan. Ia menyampaikan uneg-unegnya terkait pertanyaan "kapan" yang tak ada habisnya.
-oO0-
Dari lahir sampai mati, hidup ini seperti perlombaan. Selalu dibanding-bandingkan dengan orang lain. Baru lahir saja sudah dibandingkan kisah lahirnya dengan bayi lain. Apalagi sanak-saudara, kerabat, rekan kerja, hingga tetangga bergantian datang menanyakan hal yang sama. Itu alasan utama para ibu sering merasa tertekan usai melahirkan.
Belum lagi nanti kalau sekolah. Persaingan ranking, tempat sekolah, sampai prestasi yang diraih. Sudah pasti berbau perlombaan. Sedikit saja kalah langsung dicibir. Sebenarnya bukan kalahnya yang dicibir tapi memang kadang terasa menyenangkan membicarakan hal-hal negatif orang lain. Menyakitkan memang, tapi terasa wajar menjadi bahan obrolan.
Apakah perlombaan itu hanya ada di sekolah? Tentu tidak. Perlombaan dalam kehidupan di masyarakat lebih mengerikan. Pertanyaan kapan lulus kuliah? sudah lulus – kapan kerja? sudah kerja – kapan nikah? sudah nikah – kapan punya anak? sudah punya anak – kapan nambah lagi? sudah nambah – kapan anaknya sekolah? anaknya sudah sekolah. Terus saja pertanyaan begitu berulang sampai anak cucu cicit, tanpa bosan.
Padahal kita tahu dan paham betul dengan takdir Tuhan. Kalaupun tidak percaya dengan takdir Tuhan, kita tahu tidak semua hal di dunia ini bisa berjalan mulus. Ada yang tidak bisa juara kelas, tidak lulus tepat waktu, mendaftar kerja ditolak di mana-mana, jomblo tidak berkesudahan, mandul, keguguran, kecelakaan, dan hal lain yang menghambat mendapatkan apa yang diinginkan.
Apakah mereka yang gagal itu bodoh, jelek, miskin, payah? Tentu tidak. Setiap orang punya perannya sendiri di dunia ini. Kalau tidak ada pengangguran, mungkin kamu tidak akan menjadi manajer sekarang. Kalau tidak ada jomblo, itu pasanganmu sekarang mungkin sedang bahagia dengan yang lain. Bagaimana kamu bisa dibilang cantik kalau tidak ada yang jelek? Bagaimana kamu bisa dibilang kaya kalau tidak ada yang miskin?
Kegagalan dan keberhasilan sebenarnya sangat lekat di hidup kita. Walau kita pun merasakan pola kehidupan yang sama, tidak lantas membuat kita berhenti mempertanyakan kehidupan orang lain. Kita adalah pelaku sekaligus korbannya. Peran yang sudah dianggap wajar untuk basa-basi saat bertemu kembali. Kita sama-sama tersakiti, tapi juga sama-sama tidak mau mengerti. Atau sebenarnya basa-basi itu hanya untuk menutupi luka sendiri.
Lebih parahnya lagi basa-basi mempertanyakan kehidupan orang adalah untuk memastikan hidupnya lebih baik dari orang lain. Orang bertanya itu belum tentu mereka peduli dengan kehidupanmu. Tapi mereka sedang mencari bahan untuk mensyukuri hidupnya dengan mensukurihidupmu.
Jangan salahkan mereka yang enggan menghadiri undangan. Jangan salahkan mereka yang setelah bertemu, sibuk dengan handphone di tangan. Bukan tidak mau menjalin obrolan. Tapi untuk apa ada obrolan, jika yang ada hanya pertanyaan kapan, kapan, dan kapan. Padahal yang bertanya pun sama-sama korban. Dari basa-basi yang dipelihara dan dianggap kewajaran.
Jadi mau sampai kapan? Kamu mengakhiri pertanyaan kapan.
- ''Kapan Pulang'' adalah Pertanyaan Terakhir Ayah Sebelum Wafat
- Saat Ditanya Kapan Kurus, Kututupi Sakit Hatiku dengan Senyuman
- Single di Usia 30, Aku Pusing Terus Dicecar ''Kapan Nikah?''
- Ketika ''Kapan Punya Anak'' Membuatku Tersudut karena Aku Wanita
- Tak Usah Galau, Setiap ''Kapan'' Pasti Selalu Ada Jawabnya