Kisah nyata ini ditulis oleh Diwi Retno, salah satu Sahabat Vemale yang mengikuti Lomba Menulis #StopTanyaKapan. Ia menceritakan sebuah kisah mengharukan di balik "kapan pulang".
-oOo-
Komunikasi itu penting. Meski jauh seharusnya komunikasi via telepon bisa berjalan lancar kepada kedua orang tua kita. Karena terlalu sibuk kuliah aku jadi jarang menghubungi orang tuaku di desa yang akhirnya berbuah penyesalan.
Dua tahun lalu...
Aku adalah anak kuliahan yang tinggal di sebuah asrama yang disediakan oleh perguruan tinggi di mana aku kuliah. Namanya tinggal di asrama, banyak peraturan dan beberapa aktivitas yang harus aku ikuti. siang hari sepulang kuliah aku harus mengikuti perkuliahan bahasa Arab dan dilanjutkan dengan perkuliahaan bahasa Inggris. Pukul 17.00 aku baru kembali ke asrama. Pukul 17.40 mengharuskanku pergi ke masjid di samping asrama untuk menjalankan sholat maghrib dan sehabis sholat isya baru aku kembali lagi ke asrama. Handphonepun dikumpulkan setelah pulang dari masjid, jadi aku tidak sempat menghubungi siapapun.
Suatu sore sekitar pukul 15.00 handphoneku berdering, ternyata ayahku yang menelpon. Beliau menanyakan kapan pulang dengan nada agak marah (mungkin itu karena rindu dan aku tidak pulang-pulang). Tak lama aku berbincang dengannya via telepon karena kelasku sudah dimulai. Dan ternyata itu adalah suara terakhir yang kudengar dari ayahku. Rencananya aku akan pulang setelah ujian semester berlalu sekitar sebulan lagi.
Dua minggu setelah ayahku menelepon...
Suatu pagi, ketika aku akan berangkat kuliah, ibuku meneleponku berulang-ulang. Perasaanku tidak enak saat itu. Ternyata ketika kuangkat, suara ibuku seperti suara orang menangis dan memintaku segera pulang ke rumah tanpa memberi tahuku alasannya. Aku berfirasat yang tidak-tidak. Segera aku bergegas mencari ustad untuk meminta izin, ternyata ustad tidak ada. Aku menangis di hadapan pihak keamanan asrama untuk memberiku izin pulang. Tangisanku membuahkan hasil, akhirnya pihak keamanan memberiku izin pulang.
Tak lama menunggu, Pakdeku datang menjemput. Dan itulah pertama kalinya aku dijemput pulang. Di sepanjang perjalanan aku tidak bertanya ayahku kenapa kepada Pakdeku begitu juga Pakdeku tidak sibuk mengajakku ngobrol. Dua jam kemudian aku pun sampai di sebuah rumah sakit umum di desaku. Aku tidak asing lagi dengan tempat itu karena beberapa kali aku menginap di sana saat penyakit Ayahku kumat.
Segera aku berlari menuju sebuah ruangan di mana di sana aku mendapati ayahku yang sudah dipasangi alat bantu pernapasan, infus, dan juga alat saluran pembuangan kencing dengan tidak sadarkan diri. Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan tetanggaku. Empat hari dirawat di rumah sakit akhirnya ayahku menghembuskan nafas terakhir. Saat itu hujan menyertai kepergiannya.
Sebagai anak, aku merasa durhaka kepada ayahku karena aku jarang menghubunginya. Sejak saat itu setiap pagi aku selalu menelepon ataupun berkirim SMS kepada ibuku untuk memastikan beliau baik-baik saja.
- Saat Ditanya Kapan Kurus, Kututupi Sakit Hatiku dengan Senyuman
- Single di Usia 30, Aku Pusing Terus Dicecar ''Kapan Nikah?''
- Ketika ''Kapan Punya Anak'' Membuatku Tersudut karena Aku Wanita
- Tak Usah Galau, Setiap ''Kapan'' Pasti Selalu Ada Jawabnya
- Sedih! Saat Bentuk Fisikku Dikaitkan dengan Terlambatnya Jodohku
(vem/nda)