Kisah nyata ini ditulis oleh Camellia Novianti, salah satu Sahabat Vemale yang mengikuti Lomba Menulis #StopTanyaKapan. Ia menceritakan soal pertanyaan"kapan punya anak" yang membuatnya merasa tersudutkan karena ia seorang wanita.
-oOo-
Saat ini usia pernikahanku sudah 3 tahun 2 bulan. Aku menikah dengan seorang duda yang telah memiliki 1 anak laki-laki. Ketika aku membaca di internet ada lomba #StopTanyaKapan aku sangat antusias ingin mengikuti. Alasannya karena aku memang mengalami sedikit trauma dengan pertanyaan kata “KAPAN”.
Kisahku ini mungkin bisa terjadi pada siapa saja. Aku menikah usia 23,5 tahun, saat menikah aku masih menempuh kuliah strata 2. Aku dan suami sepakat untuk menunda memiliki momongan sampai aku lulus kuliah, dan aku menyetujuinya. Bulan Oktober tahun 2014 aku wisuda, dan aku pun mengingatkan pada suami untuk segera program hamil, namun suamiku menolak karena pada waktu itu kami masih tinggal di rumah kontrakan dengan pertimbangan kasihan anak kami nantinya dan aku pun menyetujuinya.
Usia pernikahan yang sudah menginjak 2 tahun pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dari berbagai pihak. Keluarga dari pihakku pun mulai tanya, “Kapan punya anak, kan sudah lulus kuliahnya?” dan aku pun dengan tegar menjelaskan sehingga keluargaku mulai menerima. Waktu berjalan, di bulan Maret 2015 aku diterima menjadi calon pegawai negeri di salah satu instansi pemerintah. Saat itu aku mendapat arahan dari bagian kepegawaian bahwa sebaiknya sebelum dipanggil untuk mengikuti diklat pra jabatan jangan hamil dulu, karena pengalaman diklat pada waktu itu cukup berat latihan fisiknya. Atas pertimbangan itu aku berembug dengan suami dan ia pun menyetujui untuk menunda sekalian waktu itu kami sedang proses membangun rumah.
Hari berganti hari, teman-teman, tetangga, dan saudara pun mulai tanya. Kapan punya anak, mbak? Buat adik buat teman Mas X (anak dari suamiku dengan pernikahannya terdahulu). Satu kali dua kali aku masih santai menjawab pertanyaan mereka. Sampai suatu saat keluarga dari suamiku pun bertanya, “Kapan punya anak, udah punya rumah, mbok kamu cek ke dokter, pijet ke dukun bayi, kalau Mas Y kan udah tahu subur udah bisa punya anak?” Deg!Rasanya jantungku mau copot seketika. Apakah memang muaranya semua ke aku?
Karena suamiku sudah pernah punya anak, jadi aku disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Sampai aku pernah bertengkar hebat dengan suamiku, aku nggak mau berkumpul dengan saudara, tetangga yang selalu rempong dengan pertanyaannya. Tapi suamiku tetap meyakinkan bahwa semua kita yang tahu, bukan mereka, orang lain hanya bisa berkomentar tanpa tahu apa yang kita rencanakan.
Terakhir sebelum aku nulis ini, satpam kantorku pun sempat melontarkan pertanyaan itu. “Kapan punya anak, kalau nggak bisa cara buatnya tak ajari caranya." Dan dia pun setengah memaksa aku untuk mendengarkan dan memperhatikan arahannya. Rasanya pengen nangis aku, segitukah orang lain mencampuri kehidupanku hanya karena aku belum punya anak?
Itu kisahku tentang pertanyaan “Kapan punya anak?" Cukup merasakan sakit hati akan ucapan orang. Jujur saja pertanyaan itu membuat aku putus asa, dan merasa dendam pada mereka yang telah mengatakan itu. Aku hanya bisa memahami bahwa orang lain hanya bisa berkomentar atas apa yang dilihatnya, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya. Semua kembali pada pikiran masing-masing, sekarang aku mencoba untuk move on dari pertanyaan Kapan punya anak, karena sesungguhnya rencana Tuhan lebih baik untuk kita yang bersabar.
Salam,
@camellianovie
- Tak Usah Galau, Setiap ''Kapan'' Pasti Selalu Ada Jawabnya
- Sedih! Saat Bentuk Fisikku Dikaitkan dengan Terlambatnya Jodohku
- Ketika Usiamu 37 Tahun dan Ditanya ''Kapan Nikah?'', Rasanya...
- Kapan Ada Pria yang Tulus Mencintaiku? Tanya Ini Membuatku Pilu
- Hati-Hati Segudang Dosa di Balik Pertanyaan ''Kapan Nikah?''
(vem/nda)