Kami tahu, kalian menanyakannya sebagai bentuk perhatian. Tetapi tolonglah, berhenti menanyakan "Kapan nikah?" atau "Kapan punya anak?", sebab kami tidak tahu jawabannya, hanya Tuhan yang tahu.
Jika hatimu sering menjerit demikian, hal yang sama dialami oleh salah satu Sahabat Vemale bernama Dini Nuris Nuraini. Tulisan Dini kali ini adalah salah satu tulisan untuk Lomba Menulis #StopTanyaKapan.
-oOo-
A: Kapan nikah?
B: Kalau uda saatnya.
A: Kapan itu?
B: Ya nggak tau.
A: Kok nggak tau?
B: Soalnya nggak ikut nulis. Kan yang nulis Allah. Jodoh, umur, nasib semua sudah ditulis Allah tapi kita nggak tau isinya.
Saya hampir bisa memastikan kalau mereka yang bertanya “Kapan nikah” adalah orang-orang yang sudah menikah, sudah bertunangan/hampir menikah, atau setidaknya sudah punya pacar dan merasa PD akan segera menikah. Yah, memang demikian, disadari atau tidak di balik pertanyaan “Kapan nikah” ada sebentuk kesombongan. Kesombongan utama adalah “Saya sudah nikah” atau “Saya sudah punya calon”. Biasanya pertanyaan tersebut akan diikuti dengan pernyataan cepat-cepatan laku (saya sudah laku lho), lebih mudanya usia saat nikah (saya dulu umur sekian aja sudah nikah), dan pernyataan-pernyataan lain semacam “Saya langsung kenal aja sudah nikah”, “Jangan terlalu pilih-pilih”, “Jangan terlalu jual mahal”, dan sebagainya.
Ketika mereka mengatakan “Saya sudah laku” (sambil tertawa mengejek), “Saya lebih dulu laku”, “Saya aja umur sekian (lebih muda) sudah nikah” maka mereka telah sombong. Padahal, di masa lalu, mereka sama saja dengan saya, tak tahu pasti akan menikah dengan siapa, umur berapa, serta tanggal, bulan, dan tahun berapa; kenapa sekarang seakan lupa? Jodoh, nasib, dan umur sudah ditulis oleh Allah sejak zaman Azali dan hanya Allah pula yang tahu kapan waktunya. Serupa dengan pertanyaan “Kapan punya momongan?”, jawaban dari pertanyaan “Kapan nikah?” tidaklah berada di tangan manusia. Itu di luar kuasa kita. Hati-hati dengan dosa sombong karena sedikit saja ada kesombongan di diri kita maka kita tidak akan bisa mencium bau surga.
Dosa berikutnya bisa berasal dari prasangka. Namanya juga prasangka berarti si pembicara tidak tahu faktanya.
Mereka tidak tahu kan saya sudah berusaha atau belum?
Mereka juga tidak tahu kan usaha saya sudah keras atau belum?
Apalagi background di baliknya. Mana tahu mereka tentang hal-hal kompleks kenapa saya belum menikah dan apa saja yang telah saya alami. Dan benarkah mereka menikah tanpa memilih? Untuk seumur hidup lho. Kalau saya sih nggak mau. Terlalu spekulasi rasanya kalau nikah dengan calon seadanya asal ada yang mau. Saya wanita dan hanya punya kesempatan 1 kali untuk menikah, beda dengan pria yang mungkin bisa berpikir tentang poligami.
Karena itu, saya mengusahakan untuk menikah dengan orang yang tepat, agar tidak bercerai di tengah jalan. Menikah dengan seorang pria yang nantinya akan memalingkan seluruh hidup saya padanya, yang menjaga saya agar tidak lirak-lirik lagi, agar saya tidak iri dengan pasangan lain, membuat saya tidak menginginkan pria lain di hati, puas terhadap suami, dan bangga serta bahagia bersamanya. Itu semua harus dipastikan agar pernikahannya nanti cukup sekali dan untuk selamanya. Jadi, jangan berprasangka buruk!
Ada pula orang yang berprasangka bahwa jodoh saya “ditutup” orang dan prasangka-prasangka lainnya. Saya sih menyikapinya tergantung mood, kadang baper tapi kadang juga cuek. Yang pasti, saya tidak ingin buru-buru menikah hanya karena hal-hal tadi, harus dengan pertimbangan yang matang.
Sebenarnya, menikah itu bukan akhir. Beberapa orang masih berpikir bahwa menikah adalah suatu kemenangan, padahal belum tentu. Bagaimana jika mereka akhirnya bercerai, atau kena KDRT, atau harus pura-pura bahagia dan baik-baik saja walaupun ngenes/nelangsa (tidak bercerai tetapi juga tidak bahagia), demi anak katanya. Nantinya, mereka akan tahu bahwa menunggu orang yang tepat itu lebih baik daripada menikahi orang yang salah. Lagipula, menikah itu bukan akhir dari pertanyaan-pertanyaan yang menjengkelkan. Pertanyaan-pertanyaan itu tetap ada seumur hidup karena orang-orang yang menjengkelkan juga tetap ada.
Mereka akan bertanya: kapan punya anak, kapan punya adik lagi, kenapa anaknya gini gitu, dan pertanyaan-pertanyaan serta pernyataan-pernyataan lain yang sifatnya mengganggu. Kadang untuk basa-basi mengisi waktu hening saat bersama, walau sering juga memang seperti untuk menjatuhkan, sengaja bertanya tentang hal-hal yang menjengkelkan atau yang kita kurang di dalamnya. Mereka menuntut kita menjadi sempurna dan kadang senang melihat kita terpojok karena pertanyaannya atau kalah saat dibanding-bandingkan dengan orang lain. Catat ya, orang lain. Jadi, pembandingan itu tak selalu tentang mereka dan saya, tetapi juga antara saya dengan orang yang dianggap lebih dari saya dalam hal yang dibandingkan tadi.
Secara pribadi, saya memandang mereka kurang percaya diri atau kurang menerima diri sendiri, sehingga harus mencari-cari cara untuk mempersulit/merendahkan orang lain agar dirinya tampak lebih unggul. Setiap orang pasti punya sisi sensitif dan tidak selalu tentang belum menikah atau pertanyaan “Kapan?” Orang yang punya empati tentu akan menghindari pertanyaan/pernyataan/pembicaraan yang akan mempersulit orang lain. Mereka pun tak suka bukan kalau ditanya tentang hal-hal sensitif? Kalaupun terpaksa harus bertanya/berbicara tentangnya cobalah sampaikan dengan sehalus dan sebaik mungkin. Sekiranya bisa membantu meringankan kesulitan atau bebannya itu akan lebih baik.
Kemampuan semacam ini memang tidak semua orang memiliki. Setidaknya, jika kita termasuk salah satu “korban” dari pertanyaan/pernyataan yang menjengkelkan kita tidak akan menjadi “pelaku” hal serupa terhadap orang lain, karena kita tahu kalau rasanya tidak enak.
Semoga kita terhindar dari dosa-dosa akibat pertanyaan-pertanyaan yang menjengkelkan semacam ini.
(vem/yel)