Full Day School, Siapkah Sistem Pendidikan Indonesia Menerimanya?

Fimela diperbarui 16 Agu 2016, 09:42 WIB

“Dunia anak kecil itu 'kan dunia bermain”, seloroh Fathi Unru, seorang Stand Up Comedian cilik yang sempat menjadi viral karena kelakarnya yang menyindir orang tua. Anak-anak jaman sekarangwaktunya dipenuhi oleh sekolah dan kursus ini itu berdasarkan permintaan orang tuanya. Kelakar itu mungkin terdengar sederhana dan hanya disampaikan oleh seorang anak kecil dalam forum Stand Up Comedy, tapi harus diakui hal itu ada benarnya juga.

Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia sempat dihebohkan dengan wacana Menteri Pendidikan Indonesia yang baru saja dilantik, Muhajir Effendy. Muhajir memberikan ide untuk menjalankan system Full Day School. Kontan saja ide itu mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak. Yang pro mengatakan bahwa sistem tersebut bisa jadi salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi calon penerus bangsa Indonesia, tapi yang kontra juga memberikan berbagai alasan mengenai ketidaksiapan baik Sumber Daya Manusia maupun murid dalam menghadapi hal tersebut.

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menjalankan usulan tersebut:

Lingkungan terdekat seorang anak ketika mereka lahir adalah keluarganya sendiri.

Seandainya seorang anak kemudian lebih dari 8 jam dari kesehariannya berada di sekolah, maka tentu waktu yang digunakan untuk bersama keluarganya akan berkurang. Belum lagi kebutuhan seorang anak untuk belajar penyesuaian social dengan cara bermain bersama lingkungan di luar sekolahnya. Kelekatan anak dengan orang tua dan penanaman nilai dalam keluarga menjadi salah satu faktor penting tumbuh kembang anak dan sepertinya itu cukup sulit untuk kemudian disubtitusikan oleh para pengajar dan rekan-rekan yang ada disekolah.

Sistem pendidikan tak hanya tentang murid, tetapi juga tentang guru.

Saat kita berbicara mengenai sistem pendidikan, maka mau tidak mau kita bukan hanya berbicara mengenai muridnya sebagai anak didik, tapi juga gurunya sebagai pendidik. Guru perlu waktu untuk menyiapkan bahan ajar setiap hari. Bila Full Day School diimplementasikan, maka perlu tenaga guru yang luar biasa untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan pengajaran.

Full Day School harus memperhitungkan soal keberagaman dan kemampuan masing-masing individu.

“Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau”, begitu isi bunyi lagu Dari Sabang Sampai Merauke yang artinya Indonesia tidak hanya dari Jakarta hingga Surabaya. Bayangkan jika Anto yang tinggal di Saumlaki dimana jarak dari rumah ke sekolahnya 35 km. Di sana kendaraan umum hanya beroperasi hanya sampai jam 2 sore, sedangkan ia harus bersekolah sekolah sampai jam 4 atau 5 sore. Sang ayah sedang berada di tanah Jawa mencari nafkah agar Anto dapat bersekolah, tidak dapat menjemputnya. Terbayang, betapa tidak amannya bagi Anto pulang sendirian malam hari. Berbeda kisah dengan Robert yang rumahnya di Daan Mogot dan sekolahnya di daerah Angke yang notabene masih diantar jemput dengan mobil. Akan sangat bijak bila full day school menjadi pilihan metode sekolah.

Perlu dipertimbangkan keefektifan lamanya waktu belajar dengan kualitas pendidikan

Finlandia diakui sebagai Negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Banyak Negara sedang berlomba-lomba untuk belajar mengenai sistem pendidikan dari negara tersebut. Yang menarik adalah waktu sekolah anak-anak di Finlandia hanya 5 jam sehari. Tentu Indonesia tidak dapat sepenuhnya meniru Finlandia dalam mengejar sistem pendidikan terbaik bagi negaranya, karena perbedaan budaya dan sistem masyarakat yang kompleks. Setidaknya hal itu menunjukkan bahwa kuantitas waktu belajar di sekolah tidak selalu berbanding lurus dengan prestasi maupun sistem pendidikan sebuah Negara.

Selain alasan diatas, masih banyak pertimbangan yang bisa diberikan mengenai wacana Full Day School yang ingin dikembangkan di Indonesia. Masih belum jelas bagaimana sistem Full Day School yang dimaksud serta tingkat pendidikan yang mana, yang akan menganut sistem tersebut. Sepertinya hal tersebut menjadi salah satu PR yang jelas harus diselesaikan lebih dahulu.

Kalaupun suatu saat anda memutuskan untuk menyekolahkan anak anda di Full Day School maka:

  1. Pastikan bahwa anda punya waktu luang berkualitas dan total untuk berinteraksi dengan anak setiap hari. Hanya dua jam saja tidak apa-apa tapi pastikan itu berkualitas. Ini sangatlah penting, jadikan hal ini  pertimbangan pertama dan utama.
  2. Lihat aktivitas sekolah dari pagi masuk hingga pulang, cek pada variasi kegiatannya diluar kegiatan dalam kelas. Makin banyak variasinya, makin layak untuk dipertimbangkan.
  3. Lihat lingkungan sekolah anak, pastikan guru punya penanganan tepat untuk kasus-kasus bullying.
  4. Lihat kesejahteraan guru, guru yang sejahtera akan mengajar dengan sejahtera dan bahagia. Cek komposisi guru dan murid, makin kecil perbadingannya makin bagus, karena jumlah murid yang dipantau guru juga lebih sedikit.
  5. Lihat agenda sekolah, apakah ada agenda yang sesekali melibatkan orangtua. Bila ada maka ini sekolah yang dapat anda pertimbangkan dan pastikan anda dapat meluangkan waktu untuk mengikutinya.
  6. Lihat variasi prestasi yang pernah dicapai oleh sekolah. Bukan dilihat jumlah pialanya, tapi variasi lomba yang diikuti. Apakah banyak lomba sains (cerdas cermat, olimpiade fisika, lomba berhitung, lomba bahasa, dll)? Apakah banyak lomba ekstrakurikuler (lomba menari, lomba olahraga, lomba seni, dll)?

Jangan buat Full Day School sebagai alasan yang 'meringankan' tugas orang tua dan sebaliknya, membuat anak kehilangan masa kecil yang bahagia. Pastikan ketika Anda memilih Full Day School, seluruh keluarga juga siap menerima konsekuensi atas pilihan tersebut.

(vem/wnd)
What's On Fimela