Seminggu belakangan ini, nama Awkarin bagaikan wabah yang begitu cepat menyebar di ranah dunia media sosial. Gadis berusia 18 tahun ini mendadak menjadi populer semenjak kemunculan videonya di Youtube yang berjudul "Gaga's Birthday Surprise & My Confessions".
Video yang diunggah Karin Novilda, nama asli Awkarin, sebetulnya tidak menunjukkan hal yang istimewa. Layaknya remaja usia tanggung, dalam video itu Karin memberikan surprise kepada (mantan) pacarnya yang bernama Gaga yang berulang tahun ke 16. Pertengahan durasi video, scene berganti ke sorotan Karin yang menangis dan memberikan confession tentang apa yang dirasakannya selama ini. Dalam 2 hari sejak diunggah, video ini telah ditonton sebanyak 878,328 kali!
Mungkin video Karin bisa melampaui rekor yang pernah ditorehkan Justin Bieber lewat video klip 'What Do You Mean' yang ditonton (hanya) 9.800 kali dalam 2 hari. Video Karin yang berdurasi 26 menit ini, bahkan meraup views hampir 100 kali lipatnya dalam rentang waktu yang sama. Tetapi, sebetulnya kita semua telah mengetahui apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi pada seorang gadis 'biasa' yang bukan lahir dari rahim dunia keartisan. Kontroversial, ya itulah kata kuncinya.
Media sosial seakan menjadi lahan bermain bagi gadis asal Tanjungpinang ini. Foto-fotonya yang memikat (beberapa orang menyebut gaya fotonya 'Tumblr-able'), gayanya yang mencerminkan anak gaul Jakarta masa kini, diperkuat dengan sosok Gaga, sang (mantan) kekasih yang tampan rupawan. Di akun-akun social medianya, Karin dan Gaga tak ragu menunjukkan kemesraan mereka sebagai sepasang kekasih muda belia. Pelukan dan ciuman bertebaran di foto dan videonya. Tanpa ragu mereka membagikannya di publik.
Tentunya, apa yang dilakukan Karin adalah hal yang nyinyir-able. Mudah sekali dikomentari dan dibenci. Apalagi bagi orang dewasa. Akhirnya terjadilah: Karin dibully dan punya banyak haters (bahkan ada beberapa akun Instagram yang mengatasnamakan diri sebagai pembuka tabir aib Karin). Tetapi jangan salah, Karin juga punya banyak 'pemuja' yang rata-rata adalah remaja SMP dan SMA yang memimpikan mempunyai hubungan seromantis Gaga dan Karin. Tiap postingan Karin dan Gaga yang begitu intim, mengundang ribuan like dan komentar seperti, "OMG, relationship goals banget!". Sungguh kontras bukan?
Hingga pada akhirnya, segala apa yang dipamerkan Karin runtuh karena satu momen ... ia diputuskan oleh sang kekasih, tepat beberapa menit sebelum Gaga berulang tahun yang ke-16. Publik heboh. Videonya dinilai sebagian orang sangat emotional. Too much drama! Berlinang air mata, Karin bersama sahabatnya, membeberkan apa yang mereka sebut 'confessions' tentang perasaan Karin menanggapi dirinya yang dibully, persahabatannya yang dikhianati ... ah, mungkin kamu bisa tonton sendiri videonya di sini.
Tak bermaksud menjadi pembela ataupun menyerang, tetapi bagi kita yang telah lulus dari usia remaja, tentunya sedikit-banyak pernah mengalami apa yang dialami karin. Ya, Awkarin adalah kita, lengkap dengan sepaket dramanya. Tetapi yang membedakan Awkarin, saya dan kamu adalah bagaimana kita menanggapi drama-drama yang terjadi dalam hidup kita dan siapa serta bagaimana support system kita.
Awkarin bukanlah satu-satunya. Ada banyak Karin-karin lain di luaran sana, bahkan mungkin di dekat kita .. atau diri kita sendiri. Di usia remaja, tentunya apa yang dilakukan Awkarin pernah juga kita lakukan. Atau minimal, kita pernah keinginan menjadi seperti sosok-sosok seperti itu. Merokok, berusaha terlihat rebel dan terkesan punya jiwa bebas, punya power dan bergaya keren .. ah, jujur, saya pun pernah mengalaminya. Melihat gambaran keromantisan seolah dunia milik berdua, seperti romantisnya Gaga pada Karin saat dia jatuh sakit ... ah, remaja mana yang tidak meleleh karenanya? Umpatan-umpatan Karin, ah ... sebagian besar kita tentu pernah melakukannya.
Lalu, apa yang membuat kita merasa apa yang dilakukan Karin, merisaukan? Karena ia mengunggahnya di social media, sehingga terlihat vulgar dan over exposed? Karena begitu banyak anak-anak dan remaja yang memuja sosoknya dan menjadikannya role model? Well, sedikit banyak saya sepakat, tetapi apakah kita sudah pernah menelaah, apa yang menjadikan banyak remaja masa kini begitu agresif dan reaktif seperti, contohnya, Karin?
Karin dan remaja-remaja lainnya yang serupa, tentu masih belum merasakan lika-liku kehidupan. Barangkali memang mereka telah memikirkannya, tetapi belum merasakannya langsung. Kala relationship goals tak hanya sebatas membantu kekasih mengenakan seat belt, Karin belum pada tahapan sulitnya menghadapi cibiran keluarga kala suami berpenghasilan lebih rendah daripada istrinya. Karin dan remaja-remaja lainnya, pasti akan mengalami tahapan kehidupan yang lebih kompleks, di usia kita saat ini, saat waktunya mereka mentas melihat dunia dari sudut pandang 'haha-hihi'nya.
Manusia, pada setiap tahapan hidupnya, memerlukan support system yang baik. Ketika kita mengalami masalah dalam hidup, otomatis environment hidup kita akan berubah. Sadar ataupun tidak, kehadiran orang-orang yang mengarahkan kita agar tetap 'waras' saat masalah datang menerpa, sangatlah dibutuhkan. Karena, pada saat masalah datang, akan sangat mudah untuk terjebak dalam lingkaran setan kegalauan dan rasa mengasihani diri sendiri sehingga hal-hal tidak logis pun jadi terasa 'halal' untuk dilakukan. Awkarin melakukannya, melalui tindakan-tindakan reaktif dan emosionalnya. Diperlukan support system dan lingkungan yang 'waras' pula untuk mengentaskan remaja-remaja seperti ini, bukan?
Marilyn Manson, penyanyi nyentrik yang dikenal dengan lirik-lirik kontroversialnya, pernah 'dituduh' memberikan pengaruh negatif terhadap perilaku destruktif fans-fansnya. Pelaku penembakan massal di sekolah Columbine yang masih remaja, begitu mengidolakannya dan menjadikannya role model. Dalam wawancara video dokumenter yang dibuat oleh Michael Moore, Moore berusaha mencari jawaban mengapa anak-anak Amerika (dan sebagian besar anak-anak di seluruh dunia) menjadi sangat kasar dan mengerikan. Ia bergitu khawatir jika kultur-kultur anak-anak di seluruh dunia bergerak menjadi semakin tak terkendali.
Di luar dugaan, inilah jawaban Manson:
"I wouldn't say anything. I'd listen to them, which nobody else did."
Ya, hanya dengan 'meminjamkan' telinga kita untuk mendengarkan keluh-kesah, harapan-harapan dan perasaan mereka yang masih muda, kita bisa mengangkat bebannya dan membuat hidup mereka berubah. Ya, mungkin sesederhana itu.
Jika beberapa hari yang lalu, saya dan kamu begitu reaktif terhadap Awkarin, hari ini saya sadar bahwa Awkarin adalah kita. Kita pernah merasakan, mengalaminya. Dan di usia kini, secara tak sadar kita menempatkan standar moral dan nilai kehidupan kita pada orang lain belum atau tak sama mengecap asam-garam kehidupan seperti kita.
"People only hate what they see in themsleves." - Marylin Manson
Apa yang ia lakukan memang tak sepatutnya dilakukan gadis semuda itu, tetapi menghujaninya dengan sentimen-sentimen negatif, tak serta merta membuatnya berhenti dan merasa lebih baik. Mereka harus tahu bagaimana menghadapi badai yang datang dan mencari cara untuk mengatasi perasaannya, entah cepat atau lambat.
Meminjam satu lagi quote dari sang penyanyi nyentrik, inilah kesimpulan saya.
“We live in a society of victimization, where people are much more comfortable being victimized than actually standing up for themselves.”
- Ups, Ternyata Ini Lho Arti Kata 'Pokemon Go' dalam Bahasa Madura!
- Getirnya Ploncoan, Potret Eksploitasi Manusia Di Dunia Pendidikan
- Duh, Sayang, Kok Kamu Lebih Cinta Pokemon GO Daripada Aku
- Tak Disensor, Foto Ibu Setelah Melahirkan Ini Dipuji Netizen
- Kala Cubitan Guru Pada Muridnya Harus Berakhir Ke Meja Hijau