Ramadan sudah hampir pada penghujungnya. Jika kamu seorang perantauan, maka geliat dan semangat mudik akan memenuhi suasana di akhir Ramadan ini. Tidak hanya itu, ketidaksabaran untuk mudik dan berkumpul bersama keluarga akan membuat suasana menjadi lebih menyenangkan. Perasaan senang dan juga bahagia.
Tapi apakah makna mudik hanya diartikan sebagai kata pulang, bertemu bersama keluarga lalu mengobrol, sedikit bercerita tentang kesuksesan di perantauan atau jika beruntung mengenalkan ‘calon’ di acara tahunan itu. Sayangnya, seringkali beberapa dari kita lebih menyukai makna mudik dengan hal itu. Apakah mudik hanya sampai pada hal itu saja? Lalu apa makna mudik yang sebenarnya.
Mudik adalah pulang ke kampung halaman. Berhenti dari rutinitas demi sebagai kewajiban atau niat yang tulus bagi pelakunya. Jika kamu yang tinggal jauh dari rumah, coba tanyakan pada diri kamu apa makna sukses bagimu. Apakah cukup dengan berdiri dengan kaki diri kamu sendiri, atau yang lainnya. Mungkin jawaban setiap orang berbeda. Ada juga yang menganggap sukses adalah memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Kebahagiaan orang yang disayangi.
Mungkin tidak semua orang mampu mendifinisakan sukses baginya. Bahkan ada pula yang merendahkan makna sukses bagi yang lain. Bukankah sukses itu subjektif? Berbeda bagi setiap orang. Sama halnya dengan tradisi mudik. Bagi beberapa orang belum terasa lengkap jika belum mudik, belum bisa dikatakan lebaran jika belum mudik. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak bisa mudik? Terpaksa atau memang keadaan yang tidak memungkinkannya.
Mudik adalah perjalanan pulang. Maka setiap orang memiliki rumahnya masing-masing. Memiliki makna pulangnya sendiri. Mudik bukan hanya sekedar pulang ke kampung halaman, karena memang mudik tidak hanya sekedar pulang. Jadi ke mana pun kamu akan pulang, maka sebenarnya itu adalah rumah terbaikmu. Selamat mudik, Ladies.
(vem/apl)