Tulisan berikut ini merupakan kiriman sahabat Vemale, Nur Fatimah, untuk mengikuti Lomba Kisah Ramadan 2016. Ia menceritakan kisah perjuangannya untuk wisuda di tengah kehamilannya.
***
Lelah, mulai putus asa, malas, dan berakibat sering menimbulkan emosi negatif. Saya sadar, semua ini tidak baik untuk kesehatan saya bahkan buah hati yang baru berusia dua bulan. Rasa itu semakin tak karuan ketika musim wisuda tiba. Jelas, foto wajah teman-teman saya yang sumringah lengkap dengan toga sarjana di kepala bertebaran di media sosial.
Juli 2014, untuk pertama kalinya saya belum berkesempatan ikut wisuda. Target wisuda harus semester delapan, terpaksa mangkir lagi. Bukan karena apa-apa, memang saya belum ikut ujian skripsi. Di sinilah, kadang saya mencari-cari penyebabnya yang justru bersumber dari orang lain. Ya, saya mengkambing hitamkan orang lain dalam kegagalan saya. Parahnya, mereka adalah suami dan anak kandung saya.
(vem/nda)
Skripsi dan Kehamilan
Setelah ujian proposal (saat itu saya semester delapan), harapan terbesar adalah segera menyelesaikan skripsi dan mengikuti ujian skripsi. Namun, kehendak Allah mungkin tidak demikian. Ada saja aral yang melintang, seperti masalah bimbingan dengan dosen, peraturan akademik, dan utamanya skripsi saya sendiri. Jujur saja, ada keraguan akan apa yang saya teliti dan saya kerjakan. Alih-alih segera menyelesaikan, saya justru berpikir untuk mengganti total skripsi saya. Padahal risikonya tentu harus ujian proposal lagi. Tentu akan semakin memperlama waktu kelulusan saya. Bagaimana dengan perut saya?Waktu itu saya hamil enam bulan. Saya akui, saya belum siap untuk hamil dan punya anak. Ini adalah keinginan suami, keinginan saya adalah setelah wisuda. Takdir berpihak pada suami. Akibatnya, saya sering menyesali nikmat Allah yang sebenarnya terbaik untuk saya. Padahal banyak di luar sana perempuan yang mengharapkan titipan Allah di rahim mereka, namun tak kunjung datang. Bukannya bersyukur, saya justru sebaliknya. Betapa bodohnya saya jika mengingat masa-masa itu.Di tengah kemurkaan saya terhadap suami, benar saja kesulitan, hambatan, dan masalah skripsi saya mulai bermunculan. Hingga akhirnya jadwal pendaftaran ujian skripsi ditutup, saya belum juga menyelesaikannya. Wisuda digelar, saya melewatkannya untuk yang pertama.
Ikhlas dengan Kehamilan
Perut terus membesar seiring dengan penyesalan saya. Suatu malam, saya merasakan gerakan lembut di perut. Rasanya seperti kedutan dengan durasi cukup lama. Saya menyentuh perut, dan benar, kembali bergerak lagi. Mungkin dia berusaha menenangkan ibunya. Ibunya? Iya. Saya mulai sadar sebentar lagi gelar IBU akan melekat selama-lamanya. Saya sudah gagal menjadi sarjana lulusan Universitas Islam di Semarang tepat waktu, haruskah saya kembali gagal dengan terlambat menjadi ibu yang baik? Tidak boleh!
Saya meyakinkan diri sendiri dan dia yang bersemayam di rahim selama sembilan bulan, bahwa saya bisa menjadi ibu tepat waktu. Allah tentu menakdirkan sesuatu tidak lepas dari perhitungan dan kasih sayang-Nya. Inilah waktu yang tepat untuk saya mengasihi seorang anak. Perlahan saya mulai ikhlas dan menerima kehamilan ini. Tak terasa dia yang dulu di perut, kini ada dipangkuan. Dia anak laki-laki saya, yang menyayangi saya dan mungkin turut mendoakan kemudahan atas kesulitan saya. Benar saja, semangat mengerjakan skripsi kembali membara, ide-ide bermunculan. Saya berniat kembali aktif bimbingan skripsi dengan dosen. Kali ini lebih spesial, bimbingan dengan ditemani suami dan bayi saya sekaligus. Saya tidak tega menitipkannya, begitu pun ayahnya. Kami bekerja sama demi wisuda.
Akhirnya Wisuda
Januari 2015, kedua kali saya melewatkan musim wisuda begitu saja. Tampaknya kali ini lebih ikhlas, karena kesibukan saya. Ya, saya memutuskan untuk mengurus dan merawat bayi saya sebaik mungkin. Saya tak mau rugi seumur hidup hanya karena egois mengejar wisuda dan menomorduakan anak. Tak banyak waktu memang untuk mengerjakan skripsi. Rata-rata dua bulan sekali saya bisa bimbingan. Saya harus beberapa kali menemui dosen pembimbing, karena memang karya tulis saya banyak kekurangan. Tak terasa, Juli 2015 tiba dan untuk ketiga kalinya target wisuda saya meleset. Tidak apa-apa, tinggal proses penyelesaian. Suami tampaknya mulai lelah harus mengantar saya dan menjaga anak kami yang mulai aktif dan kadang rewel saat ditinggal ibunya. Saya mencoba memberi pengertian, sedikit lagi pasti akan membuahkan hasil. Puji syukur, Oktober 2015 saya ujian munaosah. Berkat doa suami, anak, orang tua, dan banyak orang, saya dinyatakan lulus. Betapa gembiranya waktu itu. Hati rasanya tak sabar menunggu saat-saat pemindahan kuncir toga dari kiri ke kanan. Januari tiba. Saya, suami, orang tua, semua konsen untuk wisuda saya. Akhirnya, saat yang ditunggu hampir tiba. Saya ingin benar-benar menghormati wisuda ini, termasuk dengan membeli baju baru untuk saya kenakan nanti. Saat masih di toko baju, suami mengabarkan ada pihak fakultas yang ingin berbicara dengan saya. Ada apa? Apakah ada masalah?
Kabar dari Pihak Fakultas
Ternyata saya diminta untuk memberi sambutan wakil wisudawan, karena saya wisudawan terbaik sefakultas. Saya hampir tidak percaya dengan anugerah Allah ini. Berkali-kali saya mengucap syukur dan meyakinkan ini bukanlah mimpi. Prosesi wisuda tiba. Semua kejadian hari itu tak bisa saya lupakan. Berdasarkan Keputusan Rektor, saya adalah wisudawan terbaik se-Universitas. Apa?! Saya masih tidak percaya, sungguh-sungguh tidak percaya. Bagaimana saya bisa di posisi ini? Ternyata IPK 3,93 adalah tertinggi di antara wisudawan periode ini. Beasiswa S2 dan dana pendidikan dari bank kerja sama universitas menjadi kado terindah siang itu. Boneka, bunga, dan air mata bahagia suami, menjatuhkan air mata saya. Subhanallah, nikmat-Mu yang manakah yang pantas saya dustakan, Rabbi.Suami, orang tua, keluarga, teman, dan guru turut merasakan kebahagiaan saya. Pun dengan Bupati saya. Beliau mendengar kabar ini dan mengundang saya beserta orang tua ke Rumah Dinas. Beliau mengapresiasi prestasi saya dengan memberikan beasiswa pendidikan S2. Alhamdulillah.Saat ini saya fokus menjadi ibu untuk anak saya. Studi magister saya dedikasikan untuk kebaikan akhlak saya dan anak saya. Hasil selalu muncul setelah kita berusaha keras dan berdoa. Hasil yang kita raih tidak lepas dari usaha orang lain pula. Suami, anak, orang tua, teman, dan semua orang di sekeliling kita bahkan binatang, tumbuhan, dan alam tidak lepas dari keberhasilan kita. Maka janganlah menyombongkan diri. Di sini saya semakin yakin, tidak ada kesulitan yang abadi. Tidak ada kesedihan yang kekal. Adanya bahagia karena kita pernah merasakan duka.
-oOo-
LOMBA KISAH RAMADAN VEMALE.COM
Mengulang sukses Lomba Kisah Ramadan Vemale.com 2015, kami kembali mengajak para sahabat untuk membagi kisah inspirasi. Kisah ini bisa tentang suka duka ketika memutuskan memakai hijab, kisah seru di bulan Ramadan, bagaimana rasanya menjadi istri pada puasa pertama, bagaimana rasanya jauh dari keluarga saat Lebaran atau kisah apapun yang meningkatkan sisi spiritual dan kedekatanmu dengan Allah SWT.
Kirim kisahmu melalui email ke redaksivemale@kapanlagi.net
Subjek email: KISAH RAMADAN VEMALE
Hadiah Lomba:
- 20 kisah yang ditayangkan akan mendapat koleksi hijab Ria Miranda.
- 5 kisah terbaik akan mendapatkan koleksi hijab dan koleksi busana muslim dari Ria Miranda.
Kami tunggu kisahmu hingga tanggal 5 Juli 2016. Pemenang akan kami umumkan tanggal 13 Juli 2016.
Contoh kiriman pembaca pada Lomba Kisah Ramadan Vemale.com 2015:
Allah Akan Mengabulkan Doa di Waktu yang Tepat, Bukan di Waktu yang Kita Inginkan
6 Tahun Pacaran Beda Keyakinan, Perpisahan Menjadi Jawaban Dari Allah SWT
Kutemukan Hijab Setelah Terpuruk Dalam Dosa Duniawi
Dari satu kisah, kamu bisa menjadi inspirasi bagi jutaan wanita Indonesia.
Share your story :)
[pos_1]