Antara Perut dan Mulut, Ada Cinta Ibu Di Setiap Suapannya

Fimela Editor diperbarui 28 Sep 2024, 09:18 WIB

Dulang, dalam Bahasa Jawa keseharian, kadang dibunyikan menjadi ndulang, berarti aktifitas menyuapi seorang anak kecil atau bayi. Biasanya dilakukan para ibu sambil menggendong anaknya dengan kain batik sederhana, sambil mengajak mereka berkeliling kampung atau sekedar main di halaman rumah masing - masing. Terkadang karena rutinitas 'ndulang' antara satu ibu dan ibu lain ini jatuh di saat yang sama, mereka biasanya berkumpul di satu tempat yang nyaman sembari ndulang juga sambil ngobrol bercengkerama. Bahasannya bisa seputar masalah rumah tangga, kondisi kampung mereka atau diskusi tentang drama bersambung radio yang sama - sama jadi kesukaan mereka.

Trik - trik ndulang pun hampir sama merata di mana - mana, seolah sudah menjadi budaya warisan leluhur yang dulu sukses me'ndulang' anak - anaknya. "Aaakkk.., ayo makan, nanti nasinya dipatuk ayam lho." atau, "Aaaak .. itu lihat..lihat ada pesawat di atas!"Trik yang ampuh, karena secara otomatis saat mendongak mulut siapapun akan ternganga, dan lebih mudah si ibu menyuapkan nasi ke mulut anaknya.

Seni 'ndulang' ini pernah sering terjadi di kampung saya di Jogja, tapi dulu, mungkin mundur ke belakang beberapa belas tahun yang lalu. Kini? Jika pun masih ada aktifitas 'ndulang' dilakukan oleh para ibu, maka itu pun mungkin hanya sekali dalam satu minggu. Selebihnya adalah tugas para pengasuh bayi atau yang sering disebut pembantu. Dan jikapun masih ada seorang ibu mau dan sempat untuk ndulang bayi atau anaknya, alat dan peralatan serta triknyapun sudah berbeda. Dengan kereta atau kursi bayi beroda, digantungi mainan - mainan warna - warni atau malah memberikan gadget bermain gameagar perhatian anak mudah terkamuflase dan gampang diakali. Tidak ada lagi trik 'dipatuk ayam' atau 'kapal terbang lewat'.

Justru yang sering adalah 'ancaman' yang membuat si anak dengan takut dan terpaksa untuk makan. Dan jika dulu anak susah makan, para ibu pun akan meracik menu baru, mencoba trik lain atau membawa ke tukang jamu untuk dicekoki. Namun kini para ibu jaman terkini, lebih memilih untuk buka aplikasi, pesan makanan melalui layanan delivery, dan jikapun anak masih tak nafsu makan, banyak obat kimia atau multivitamin pengganti nutrisi yang beragam rasa dan corak berwarna - warni.

Ndulang dulu dan sekarang, walau berbeda tetaplah sebuah bentuk ketrampilan bermuatan seni. Seni dalam mengasuh dan membesarkan anak sehari - hari, yang telah diwariskan secara turun temurun. Kemudian seni ini dimodifikasi dan sebagiannya kemudian dipraktekkan hingga kini. Sebuah aktifitas ibu dan anak yang mengeratkan mereka berdua secara jasmani dan rohani. Artikulasi dan perwujudan tanggung jawab yang didasari naluri dan nurani. Setiap suapannya mengandung cinta dan kasih sayang seorang ibu yang dengan iklas 'memberi tak mengharap ganti'. Biasanya aktivitas 'ndulang' ini akan dikenang oleh sang anak, bahkan hingga saat usia dewasa dan malah saat sudah menjadi orang tua dan memiliki anak sendiri. Kenangan akan rasa nikmatnya dulangan atau suapan seorang ibu, hingga kadang rindu untuk di'dulang' kembali. Betul ?

Hanya ibu dengan cintanya lah yang bisa memperagakan seni ndulang dengan sempurna, bak seekor induk burung yang terbang kesana kemari lalu pulang dari berburu belalang hanya untuk memberi makan anak - anaknya dengan paruh, walau perutnya sendiri belum terisi. Tanpa ibu dan cinta, bukan 'ndulang' lagi namanya, bahkan kadang aktifitas menyuapi makan bisa berubah menjadi 'ndublak' yang berarti memberi makan kepada seseorang dengan cara memaksa, tak berseni, bahkan cenderung kasar dan tak manusiawi.

'Ndublak' yang juga sebuah kata dalam Bahasa Jawa, berarti menangkupkan segenggam penuh makanan ke mulut seseorang, kadang bukan hanya segenggam makanan tapi malah ditangkupkan ke muka seseorang bersama piringnya sekalian. Maka ada kalimat sarkastis yang dulu sering diungkapkan saat kesal atau marah kepada orang yang menjengkelkan dengan bunyi; "Nek tetep ora gelem, dublakke wae sak piring - piringe!" atau jika tetap tak mau, tangkupkan saja (ke mukanya) sekalian sepiring - piringnya.

Ada yang rindu di'dulang'? Atau jangan - jangan malah ada yang pernah mengalami di'dublak'?

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di https://spinmotion.org/

(vem/wnd)