Ayah Membuat Rumah Bagai Neraka, Sulit Memaafkannya Tapi...

Beauty Journal diperbarui 18 Jun 2016, 10:50 WIB

Kisah berikut ini merupakan kiriman sahabat Vemale, Rere, untuk mengikuti Lomba Kisah Ramadan 2016. Ia menceritakan tentang sosok ayah yang pernah menorehkan luka di hatinya.

***

Setiap orang pasti menginginkan keluarga yang sempurna. Sempurna dengan kombinasi sosok ayah dan ibu yang saling mencintai, mengasihi, dan melimpahkan kasih sayang baik moral maupun spiritual plus bonus kekayaan harta benda. Tapi sayangnya kita tidak bisa memilih di keluarga mana kita dilahirkan dan ditempatkan. Kita hanya bisa menerima, menjalani, dan memperbaikinya sekuat hati.

Dan inilah cerita saya.

Saya dilahirkan dari keluarga sederhana di wilayah Jawa Tengah. Ibu saya seorang anak yatim yang baik hati dengan pendidikan yang minim. Sedangkan ayah saya, dia adalah sosok yang paling tidak saya inginkan ada di dalam hidup saya. Bahkan jika boleh memilih. Saya akan memilih untuk tidak pernah dilahirkan di dunia ini.

Selama kurang lebih 20 tahun saya hidup dengan memendam kebencian kepada ayah saya. Bukan tanpa alasan. Karena perilaku negatif ayah lah yang membuat kehidupan keluarga saya menyulitkan. Sejak kecil saya terbiasa mendengar kata-kata kotor terlontar dengan tanpa dosa dari ayah kepada ibu saya maupun saya. Nafkah yang seharusnya diberikan sebagai hak kami pun tidak pernah kami terima dengan layak karena malah digunakan untuk membeli minuman keras, berjudi dan lainnya. Dan agar saya bisa terus bersekolah dan hidup dengan layak, ibu saya juga bekerja ala kadarnya dengan menjual gorengan.

Untuk meringankan beban ibu, saya mencoba membantu dengan berjualan mainan atau apapun yang halal. Semua itu saya lakukan sampai saya menginjak bangku kuliah. Selama itu berulang kali ayah masuk rumah sakit karena komplikasi paru-paru maupun liver namun sepertinya teguran-teguran dari Allah itu belum mampu menyadarkannya.        

 

 

(vem/nda)

2 dari 5 halaman

Rumah Bagai Neraka Jika Ada Ayah

Ilustrasi. | Foto: copyright thinktstockphotos.com

Ayah selalu mengulangi kesalahan yang sama. Tabungan yang sedikit demi sedikit saya kumpulkan bersama ibu akhirnya selalu habis untuk menyelesaikan masalah yang dibuatnya. Dan selama itu pula saya jarang bercengkrama dengan ayah. Saya bahkan lupa kapan terakhir kali kami saling tersenyum satu sama lain dan mengungkapkan perasaan masing–masing.   Meja makan yang sejatinya adalah saksi kebahagiaan sebuah keluarga sebagai tempat bercengkrama dan bertukar pikiran yang paling asyik juga rupanya hanya impian semata bagi saya. Rumah adalah neraka jika ada ayah di dalamnya. Itulah yang terus mengakar dalam hati dan pikiran saya. Hingga saat itu akhirnya tiba. Saat di mana saya merasa sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidup tanpa bayang–bayang keluarga. Saat saya memperoleh pekerjaan di tempat yang jauh dari rumah setelah lulus kuliah. Rasanya saya bahagia sekali karena saya bisa memilih jalan untuk hidup mandiri meninggalkan hal–hal kelam di belakang saya. Dan selama saya merantau di ibu kota, saya bisa memperoleh apa yang saya impikan.

3 dari 5 halaman

Saya Menemukan Kebebasan

Ilustrasi. | Foto: copyright thinktstockphotos.com

Saya bisa menjadi anak band yang cukup sukses kala itu di tahun 2009–2011 meskipun belum mempunyai label recording. Namun saya menyukainya. Saya bebas. Ini pertama kalinya dalam hidup saya merasa jadi pusat perhatian dan bersinar. Saat itu saya masih belum berhijab, bahkan shalat lima waktupun kalau saya ingat. Saya benar–benar tidak mengindahkan larangan–larangan Allah meski saya tetap berusaha membatasi diri dari pergaulan bebas di dunia entertainment. Dan kenyamanan dunia ternyata berhasil menjadikan saya manusia yang angkuh tanpa saya sadari. Setiap kali saya pulang kampung. Saya tidak pernah mau meluangkan waktu dengan keluarga saya. Saya lebih memilih hangout bersama teman–teman sekolah saya. Bahkan saat adik saya satu-satunya yang kala itu masih SD mengirimkan surat sebagai tanda kekecewaannya terhadap saya, saya hanya membuang surat itu karena dalam benak saya dia tidak pernah tahu seberapa besar sakit hati yang saya rasakan terhadap “keluarga”.

4 dari 5 halaman

Teguran dari Allah

Hingga suatu ketika Allah lah yang menegur saya dengan mengambil mimpi saya menjadi penyanyi. Band saya berantakan. Di tempat kerja saya dicurangi. Rasanya seperti susunan kartu domino yang dijatuhkan dengan jentikan jari. Itulah masa-masa terendah dalam hidup saya yang membuat saya sadar setelah semua yang saya lalui, hanya keluargalah tempat pulang yang paling setia menunggu, meski tanpa sosok ayah.Alhamdulillah teguran Allah di tahun 2011 itu mampu meluluhkan gunung es di dalam hati saya secara perlahan. Setiap malam saya selalu memandang foto keluarga saya yang entah kapan diambil dan kenapa bisa dalam keadaan akur. Saya menangis melihat sosok ibu, adik saya yang masih bayi, dan juga ayah. Ya, dia ada di sana dan sedang tersenyum memandang adik saya. Saya jadi teringat sesuatu jika semua manusia dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci, tanpa dosa, seperti kertas putih tanpa noda. Jadi ayah saya juga tidak sepenuhnya jahat, pasti ada alasan–alasan tertentu yang membuat perilakunya seperti sekarang dan seharusnya saya lah yang membantu menyadarkannya. Bukan malah pergi menghindar alih–alih hidup mandiri.

5 dari 5 halaman

Memutuskan untuk Berhijab

Ilustrasi. | Foto: copyright thinktstockphotos.com

Saya sadar bahwa sebenarnya tujuan utama saya bukan untuk hidup mandiri tapi untuk melarikan diri. Betapa pengecutnya saya. Hidup seorang diri di ibu kota memang menjadikan mental saya kuat tapi di satu sisi juga membuat hati saya membatu. Makin jauh dari agama. Namun rupanya Allah masih menyayangi saya dengan memberi kesempatan untuk introspeksi diri. Tidak semudah membalikkan telapak tangan memang. Namun setelah itu saya mulai berkomunikasi intens dengan ibu dan adik saya. Dan perlahan mengukuhkan niat menguntai satu kata maaf untuk ayah saya yang rasanya susah sekali. Baru di lebaran tahun 2012 saya bisa melakukannya dan kami pun mulai belajar berkomunikasi, memahami, dan saling memaafkan.Dua tahun kemudian, tepatnya 01 Desember 2014 saya memutuskan hijrah dan memakai hijab. Rasanya keinginan itu semakin menguat dengan mimpi–mimpi tentang hari kiamat yang belakangan selalu saya alami. Saya memang bukan manusia yang sempurna, saya masih harus banyak belajar. Namun untuk sahabat – sahabat di luar sana yang sulit untuk memaafkan, cobalah untuk menerima dan mengikhlaskan. Karena dengan menerima, beban yang ada di hati perlahan akan meluruh. Dan bukankah Allah SWT adalah Maha Pemaaf? Jadi kenapa kita yang hanya manusia biasa sedemikian keras dan angkuh?

-oOo-

LOMBA KISAH RAMADAN VEMALE.COM

Mengulang sukses Lomba Kisah Ramadan Vemale.com 2015, kami kembali mengajak para sahabat untuk membagi kisah inspirasi. Kisah ini bisa tentang suka duka ketika memutuskan memakai hijab, kisah seru di bulan Ramadan, bagaimana rasanya menjadi istri pada puasa pertama, bagaimana rasanya jauh dari keluarga saat Lebaran atau kisah apapun yang meningkatkan sisi spiritual dan kedekatanmu dengan Allah SWT.

Kirim kisahmu melalui email ke redaksivemale@kapanlagi.net 

Subjek email: KISAH RAMADAN VEMALE

Hadiah Lomba:

  • 20 kisah yang ditayangkan akan mendapat koleksi hijab Ria Miranda.
  • 5 kisah terbaik akan mendapatkan koleksi hijab dan koleksi busana muslim dari Ria Miranda.

Kami tunggu kisahmu hingga tanggal 5 Juli 2016. Pemenang akan kami umumkan tanggal 13 Juli 2016.

Contoh kiriman pembaca pada Lomba Kisah Ramadan Vemale.com 2015:

Allah Akan Mengabulkan Doa di Waktu yang Tepat, Bukan di Waktu yang Kita Inginkan

6 Tahun Pacaran Beda Keyakinan, Perpisahan Menjadi Jawaban Dari Allah SWT

Kutemukan Hijab Setelah Terpuruk Dalam Dosa Duniawi

Dari satu kisah, kamu bisa menjadi inspirasi bagi jutaan wanita Indonesia.

Share your story :)

[pos_1]