Pedihnya Anak Korban Perceraian Menjadi 'Piala Bergilir' Orangtua

Fimela diperbarui 16 Jun 2016, 10:02 WIB

Sebut saja namanya Waluyo. Pria 35 tahun penjual bubur ayam, soto dan lontong sayur di Timur Pasar Kota Gede, Jogja. Langganan kami sebagai 'peziarah nasi dari warung ke warung'. Bukan karena kami hobi kuliner atau menjaga gengsi, namun karena kondisi. Duda bersama dua anak kecilnya, mana bisa menjalani hari - hari tanpa bergantung pada warung makan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi anak - anaknya. Kecuali, si duda adalah lulusan Chef Academy, atau murid dari chef ternama dengan lengan bertatto.

"Saya, juga anak 'broken home' korban perceraian kok" Waluyo melanjutkan kalimatnya sembari memotong - montong lontong pesanan kami. "Ibu dan bapak saya bercerai waktu saya berumur 3 tahun, lalu mereka masing - masing menikah kembali dan beranak lagi. Sedang saya dititipkan 'simbah' saya di kampung."

"Lho apa, salah satu dari bapak atau ibu 'sampeyan' tak mau merawat?" tanyaku agak penasaran.

"Waktu itu nyatanya tidak, Pak. Walau saat saya sudah berumur seperti anak sampeyan, justru mereka datang lagi berebutan untuk mengambil saya dari simbah." katanya sambil menunjuk Tyo, anak kedua saya yang berumur 7 tahun. "Simbah saya bersikeras, tidak mau memberikan saya kepada salah satu di antara mereka. Namun memperbolehkan mereka bergantian menjenguk saya atau membawa saya selama libur sekolah saja. Bergiliran."

Bergiliran? Seperti piala, batin saya.

Anak - anak korban perceraian atau broken home, memang seringkali menjadi obyek, tak pernah menjadi menjadi subyek. Menjadi korban dan bukan pelaku. Malah kadang disalahkan dan disesali keberadaannya, hingga akhirnya mereka malah disingkirkan. Waluyo adalah salah satu contohnya.

Indonesia, berbeda dengan Amerika, yang tidak mengatur hak asuh anak broken home. Baik secara sendiri ataupun secara bersama - sama secara tegas dengan syarat yang terperinci. Pemerintah melalui pengadilan perceraian di negeri ini, seringkali hanya 'menyerahkan' kebijakan pengurusan anak kepada kedua belah pihak yang bercerai untuk dimusyawarahkan dan disepakati. Dan seringkali pula kedua belah pihak gagal menemukan permufakatan atas pengasuhan anaknya yang secara ikhlas disepakati. Jadilah anak - anak korban perceraian mengalami nasib yang terkatung - katung dan tak pasti.

Untung Waluyo masih punya simbah yang mau mengasuh, menggantikan tanggung jawab kedua orang tuanya yang bercerai dan mengiklaskan nasib dan masa depannya. Anak - anak korban perceraian adalah seperti kita juga, seorang manusia. Harusnya kita bisa berempati pada mereka. Cobalah berandai - andai sebagai Waluyo. Anak-anak ini telah menjadi semacam komoditas atau lebih menterengnya lagi, dianggap sebagai piala. Diberikan secara kepada 'pemenang' secara ikhlas ataupun terpaksa, diperebutkan secara paksa, atau ditinggalkan begitu saja.

Tak heran, seorang pakar jiwa pernah berkata, anak - anak ini memiliki peluang lima kali lipat lebih besar untuk mengalami gangguan jiwa dan permasalahan psikologis yang terbawa sampai dewasa. 5 kali lipat lebih mungkin terjadi bila dibandingkan peluang yang sama pada anak - anak lain yang hidup normal tanpa perceraian orang tuanya. Dan berikut kalimat Waluyo mengakhiri kisahnya di Selasa siang ini:

"Saya akhirnya jadi belajar untuk tidak pernah berharap pada siapapun, Pak. Termasuk untuk berharap pada bapak ibu kandung saya sendiri."

Saya diam. Tapi saya melihat, ada kilat kemarahan di kedua matanya. Kilat kemarahan anak yang dianggap sebagai komoditas, atau lebih menterengnya dianggap sebagai piala bergilir.

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom

Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di

(vem/wnd)