"Hari Kartini, duh lagi nggak punya kebaya nih"
Tak sedikit kata-kata itu saya dengar dari sekitar saya. Jika bertahun-tahun yang lalu, ibu saya yang kelimpungan mencarikan persewaan baju kebaya dan baju daerah untuk dipakai karnaval hari Kartini, beberapa tahun kemarin saya yang cukup berjibaku sendiri mencari jarik dan kebaya untuk dipakai di beberapa peringatan hari Kartini.
Akhirnya hari Kartini pun menjadi hari paling sibuk dalam bulan April karena hampir sebagian wanita Indonesia memaknai hari Kartini sebatas "keriuhan kostum kebaya". Belum lagi saat anak-anak mereka diminta berpakaian adat atau pakaian cita-cita. Bukan hanya pada anak perempuan lho, anak-anak laki-laki pun harus pasrah didandani pada karnaval hari Kartini.
Kita mengadopsi ke-Kartini-an di hari ini, pada kebayanya, pada sanggulnya. Sementara sejalan dengan gegap gempita peringatan perjuangan Kartini, masih banyak gadis-gadis kecil tak bersepatu di berbagai pelosok desa di Indonesia yang memimpikan bisa menjadi bagian dari wujud perjuangan Kartini: bersekolah. Sementara sejalan dengan ketatnya jarik dan kebaya yang menyesakkan, ada wanita-wanita yang terpaksa mengubur mimpinya di masa kini karena "Udah, ngapain sekolah tinggi-tinggi, nanti juga berakhir di dapur." Atau menelan pil pahit kala gunjingan mampir di telinga, "Pantes nggak kawin-kawin, kerja melulu, sekolah melulu ..."
Hari Kartini tak hanya sekedar tentang kebaya. Hari Kartini tak hanya sekedar tentang jiwa keibuan dan kelemah-lembutan. Tetapi hari Kartini adalah sebuah inspirasi, ketika kita diingatkan bahwa jauh di masa lalu ada seorang wanita yang berpikir terbuka tentang kesetaraan hak wanita untuk kehidupan yang lebih baik. Kartini pernah bertarung memperjuangkan hak wanita Indonesia untuk tak sekedar berhenti di ranah domestik semata, beliau pun berharap kita melanjutkan perjuangannya dengan kondisi dan isu di masa kini.
Alangkah sedihnya jika perayaan hari Kartini dimaknai hanya dengan kesulitan naik motor ke kantor karena keserimpet kebaya, atau tengkuk yang pegal karena sanggul berat. Sementara itu kita terbentur perspektif yang salah dalam memandang wanita dan pilihan-pilihan hidupnya. Lebih sedih lagi, jika sebagai sesama wanita, kita memicingkan mata pada pilihan hidup rekan kita sendiri.
Selamat (memaknai) Hari Kartini :)
Tulisan ini merupakan opini pribadi Winda Carmelita. Kenalan lebih jauh dengan Winda Carmelita di www.windacarmelita.com
(vem/wnd)