"Ketika Mas Gagah Pergi," Novel Berusia 23 Tahun Yang Tetap Disukai Penggemar

Fimela diperbarui 16 Jan 2016, 19:47 WIB

Helvy Tiana Rosa adalah sosok wanita yang mempunyai misi sosial dari hasil karyanya. Pada tahun 1992 ia menulis sebuah cerpen yang berjudul "Ketika Mas Gagah Pergi," yang diterbitkan pada tahun 1993 di sebuah majalah. Lalu, di tahun 1997, ia menerbitkan novel dengan judul yang sama.

Tahun ini, cerita "Ketika Mas Gagah Pergi" ini sudah berusia 23 tahun dan sudah dibaca oleh lebih dari 3 juta orang. Saking banyak pecinta cerita dari cerita ini, novel karya  Helvy ini telah 45 kali di terbitkan dan menjadi best seller. Karena kecintaan para penggemar akan cerita dari novel ini, novel yang kini diangkat menjadi film layar lebar ini, biaya produksi filmnya dibiayai oleh para penggemar.

"Awalnya saya bikin cerpen 1992 dimuat di majalah 1993, terbit jadi novel tahun 1997. Orang-orang yang baca buku ini sudah pada dewasa dan sudah punya anak. Sampai sekarang buku ini masih dicetak ulang, yang mempromokan kami dari para pembaca," ucap Helvy saat ditemui dalam launching film Ketika Mas Gagah Pergi di Plaza Senayan Jumat 15 Januari 2016.

Ia pun pergi ke 120 kota menceritakan bagaimana keinginannya untuk membuat film dari novelnya tersebut. Helvy mengaku tidak mempunyai modal untuk membuat film, hingga akhirnya banyak bantuan yang datang untuk mewujudkan keinginannya tersebut.

"Ini merupakan film pertama Indonesia yang dibiayai oleh pembacanya. Banyak yang ingin ceritanya dibuatkan film,
saya nggak punya uang, tapi saya nggak minta duit ke orang, tapi hebatnya ada tukang sampah mengejar-ngejar saya, kasih saya uang 50 ribu untuk buat film katanya, ada juga yang sumbang 100 juta," ujar Produser sekaligus Penulis novel tersebut.

"Terus saya pergi ke Nusa Tenggara Barat, ada pembaca yang bercerita kepada saya, bahwa mereka berhasil mengubah hidup mereka karena membaca novel saya. Makanya saya harus buat filmnya," tambah Helvy.

Akhirnya pada tahun 2004 naskah untuk film "Ketika Mas Gagah Pergi" ini pun dibuat, namun karena kendala satu dan lain hal barulah 2016 di launching-kan film tersebut. Helvy pun bertekad, jika film ini sukses ia akan menyumbangkan keuntungannya untuk kepentingan sosial.

"Bikin film itu bukan semata-mata untuk mencari untung, tapi juga untuk kegiatan sosial; membantu sesama. Kalau sukses filmnya, untungnya banyak, nggak ada salahnya kalau untuk disumbang," ucapnya.
 
Helvy menuturkan bahwa ia ingin menyumbangkan 50% keuntungan dari produksi filmnya untuk membangun pendidikan di Indonesia Timur dan Palestina melalui Aksi Cepat Tanggap (ACT).

"Bila tercapai target satu juta penonton, 50% keuntungannya akan disumbangkan untuk dana kemanusiaan. 1 Milyar untuk pendidikan di Indonesia Timur dan 1 Milyar untuk saudara-saudara kita di Palestina," terang Helvy.

Helvy berharap penonton dan pembaca novelnya, khususnya anak muda, dapat belajar banyak dari cerita yang ia tulis ini. Karena film ini merupakan kisah yang mencerikan kehidupan kakak beradik yang dikemas dalam bingkai Islami yang ringan seperti novelnya, jadi akan lebih mudah untuk dipahami dan menyentuh bagi kaum muda.



(vem/yun/ama)