Tulisan ini adalah kiriman sahabat Vemale, Indriana Astianti tentang sosok ayah yang dicintainya
***
Memasuki bulan November, cuaca sudah mulai berubah. Kadang mendung sudah menyelubungi di pagi hari, namun siangnya langit berganti menjadi biru dan terasa menyengat kulit. Sorenya, bisa jadi angin berhembus kencang dan menyeret awan hujan besertanya.
Perkenalkan, aku Indriana. Biasanya orang-orang memanggilku Indri. Lahir dan dibesarkan di ibu kota negara, Jakarta. Saat ini aku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Putraku saat ini masih berusia 7 tahun. Selama 3 tahun belakangan ini aku dan suami serta putraku berdomisili di kota yang berjuluk kota seribu sungai. Ya, saat ini suamiku memang sengaja memilih menjalani tugas dan pekerjaannya di kota ini.
Praktis, setelah aku mengundurkan diri dari kantor tempatku bekerja, aku memilih berdomisili di kota yang sama dengan suamiku. Sebagai ibu rumah tangga, waktu luang kuisi dengan membaca berita pada media online. Tepat sehari sebelum tanggal kelahiranku di bulan ini, aku menemukan artikel yang bercerita tentang kasih ayah terhadap putra-putrinya. Hal ini membuatku terkenang akan masa kecilku, dan me-recall kembali semua kenangan bersama ayahku.
Sepanjang hidupnya, bapak, begitu aku menyebut ayahku, adalah orang yang selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang dianutnya. Hal ini membentuk karakter bapak menjadi sosok sederhana yang jujur, tegas, kritis dan peduli dengan kesulitan yang dihadapi orang lain di sekitarnya ataupun yang dikenalnya.
“Kejujuran itu penting. Sekali ketahuan tidak jujur, orang takkan lagi menghargai. Sehebat apapun diri kita,” begitulah bapak biasa berujar akan prinsip dalam hidupnya.
Tak jarang dengan sifatnya yang tegas dan agak berbau kaku, kami anak-anaknya yang kala itu sudah beranjak remaja terlibat konflik dengannya. Namun seringkali pula aku menemukan nuansa kecemasan pada raut wajahnya kala sedang memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan maupun keselamatan kami bertiga, anak-anaknya.
Kasih sayang seorang bapak sebagai orang tua pun tak pernah luntur sepanjang hidupnya. Begitupun ketika aku sebagai sulung telah menikah dan menjadi seorang ibu. Pada saat menikah, aku masih berstatus sebagai seorang karyawati sebuah bank BUMN yang berlokasi di kawasan perkantoran di jalan Jend. Sudirman, Jakarta.
Menikah di pertengahan November dan kehamilan yang terjadi tidak lama setelah menikah merupakan surprise yang sangat indah, walaupun aku sendiri sangat tidak menyangka datangnya karunia Tuhan yang begitu cepat.
Ternyata hal ini bukanlah sesuatu yang mudah bagiku. Morning sickness yang hebat dan segala kepayahan fisik lainnya sangat mengganggu ritme harianku sebagai seorang karyawan. Walaupun tidak sampai harus masuk rumah sakit. Namun, lingkungan pekerjaan yang demanding dengan aturan jam masuk kantor dan ijin tahunan yang strict,tidak akan pernah bisa berkompromi dengan masalah kehamilanku.
Tanpa adanya suami di sampingku yang bisa menopang kondisiku ini, seakan dunia tidak berkawan baik denganku sebagai perempuan yang tengah hamil muda. Hanya ibuku dan bapaklah yang mengerti kondisiku dan menjadi tumpuan aktivitas harianku.
Tidak hanya sekali atau dua kali bapak mengantarku pergi ke kantor setiap pagi. Kondisi fisik diriku yang lemah dan tanpa daya untuk bangkit di pagi hari membuatku seringkali berangkat kerja lebih lambat dari jadwal biasanya. Terlebih hujan yang sering menghampiri Jakarta pada pagi hari. Dipastikan kondisi lalin ibu kota menjadi lebih ruwet dari biasanya. Demikian aku terpaksa harus mencari moda transportasi lain yang lebih efisien dalam mengejar waktu.
Dengan sangat berhati-hati, bapak memboncengku dengan motornya di bawah derasnya hujan. Menembus sempitnya celah jalanan bagi roda dua sambil memperhitungkan waktu jam masuk di kantorku. Berusaha maksimal agar anaknya tidak sampai datang terlambat. Walaupun adakalanya ini dilakukan saat kondisi bapak sendiri sedang kurang sehat. Pada tahun tersebut pun usia bapak sudah masuk di angka 60. Bagiku, sungguh ini merupakan pembuktian yang sangat jelas akan kasih sayang bapak pada kami putra-putrinya, terutama terhadap diriku.
Tepat pada Senin pagi di bulan Agustus, aku melahirkan anakku. Aku memilih persalinan caesar dikarenakan keadaan yang mengharuskan. Selama aku di rumah sakit, ternyata bapakku merakit sendiri tempat tidur bayi yang baru saja kubeli saat mendekati persalinanku. Aku tersenyum mendengar cerita ibuku tersebut, sambil membayangkan wajah bapak ketika merakit box bayi tersebut.
Hari kelima pasca melahirkan, dokter memperbolehkan aku dan bayiku pulang ke rumah. Berharap kehidupan kami akan semakin lengkap dan bahagia dengan hadirnya anggota keluarga baru di rumah orang tuaku.
Tetapi Tuhan memiliki rencana-Nya sendiri. Tepat usia bayiku 5 hari, hari ke-13 setelah hari ulang tahunnya yang ke-60, bapak berpulang menghadap Sang Pencipta. Dengan jalan yang tak pernah kami duga. Sesaat setelah mengeluh sangat tidak enak badan. Serangan jantunglah yang menghentikan napas bapak.
Atas segala ketentuan-Nya, kami mencoba untuk ikhlas. Semoga Allah SWT mengampuni segala kekeliruan dan kekhilafan almarhum, serta menerima semua amal ibadah dan kebaikan hatinya. Aamiin…
Jika saja Tuhan mentakdirkan selembar batik baru kelak berada di tanganku, akan kusampaikan benda tersebut bagi suamiku tersayang, laki-laki yang sudah menggantikan posisi bapak sebagai sosok yang selalu menjaga anakku dan juga diriku. "Selamat Hari Ayah, Bapak dan Ayah!"
***
Kisah nyata ini dikirim oleh Indriana Astianti untuk mengikuti Lomba Menulis Vemale.com Kisahku dan Ayah. Kamu juga bisa mengirimkan kisah tentang ayah dan berkesempatan memenangkan hadiah dari Negarawan.
- Bakti Anak Luar Biasa, Selama 9 Tahun Rawat Orang Tua Tuna Netra
- Kukira Putriku Sudah Tewas, Ternyata 10 Tahun Ini Ia Hidup di Warnet
- Ayah, Terima Kasih.. Demi Tas Baruku, Engkau Rela Menjual Pohon di Kebun
- Bapak, Sosok Pejuang Keluarga yang Tak Banyak Bicara
- Bapak, Engkaulah Malaikat Hidupku dan Engkaulah Segalanya Bagiku
- Bapak, Bersabarlah Sampai Aku Menghadiahimu Cucu