Daddy, Missing You is The Heartache That Never Goes Away

Fimela diperbarui 06 Nov 2015, 14:38 WIB

Sebuah kisah nyata dari seorang putri untuk papa tercinta.

***

Hai, perkenalkan namaku Sonia Derma Damora Pardede, aku sangat mencintai keluargaku karena mereka adalah penyemangat hidup ku :)

Di sini aku akan menceritakan seberapa hebat dan bangganya aku pada papa.

Aku mempunyai kenangan yang banyak bersama papa, papa yang sangat aku cintai dan sangat melindungiku.

Saat masih kecil, aku lebih sering menghabiskan waktu bersama papa. Aku tidak terlalu dekat kepada mama karena memang sejak kecil aku lebih dekat dengan papa, sedangkan mamaku dekat dengan abangku. Dulu mama memang lebih suka dengan anak laki-laki, sedangkan papa sebaliknya.

Ada banyak kenangan tentang papa yang aku simpan sejak kecil. Dulu, setiap pagi aku selalu dibangunkan oleh papa dan beliau selalu mengajakku lari pagi di Monas. Itu adalah kebiasaanku waktu masih sangat kecil. Seperti anak kecil pada umumnya, aku sering dimandikan papa. Kenangan lain yang aku ingat adalah kebiasaan papa yang pelan-pelan membangunkanku agar tidak membangunkan tidur mama dan abangku, itu adalah kebiasaan yang lucu menurutku.

Setiap bangun tidur, aku selalu ingin digendong oleh papa. Karena kamarku di lantai dua, setiap kali terbangun, aku selalu duduk di atas tangga sambil memanggil papa untuk minta digendong. Pernah suatu hari papa sudah berangkat kerja dan aku bangun tidak ada papa. Akhirnya aku menangis sekenceng-kencangnya karena aku ingin papalah yang menggendongku sampai bawah. Betapa manjanya aku dulu, sampai-sampai mama menggantikan posisi papa tapi tetap saja aku tidak mau digendong. Mama sampai sering kesal karena ulah saya ketika kecil.

Setiap malam aku selalu diajarkan matematika dasar oleh papa. Papa dengan sabar mengajarkan tentang perkalian. Aku dan abangku diminta menghafal perkalian, selalu begitu setiap malam, bahkan aku dan abangku selalu bergantian menghapal perkalian. Dengan kebiasaan itu, otakku bisa dibilang pandai dalam perkalian dibanding abangku. Jika tidak bisa melakukan perkalian, papa selalu marah. Mungkin cara itu dilakukan agar kami, anak-anaknya pintar dan cerdas.

Dulu, aku sama sekali tidak tahu jika papa punya penyakit jantung. Papa selalu mandi 3 kali setiap hari, setiap aku tanya, papa bilang cuma kepanasan saja. Dengan gangguan pada jantungnya, papa selalu berobat ke sana kemari, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Sampai akhirnya papa berobat ke kampung halamannya di Medan dan Aceh hingga kami berpisah.

Di masa itu, komunikasi tak semudah sekarang, saat papa berada jauh di sana, kami selalu mengirim surat untuk kangen-kangenan. Papa selalu menanyakan kegiatan sehariku. Walau papa pergi ke kota lain, aku belum mengetahui fakta bahwa papa sakit dan pergi jauh untuk berobat. Saat kenaikan kelas 3 SD, aku dan keluargaku pindah ke Aceh karena diminta oleh papa. Di sana aku sangat bahagia karena bisa bertemu papa lagi, bercanda dengan papa.

Setelah pindah ke Aceh, papa juga sering mengajakku menyusuri sungai yang sangat bersih dan indah, jauh sekali dari kondisi sungai di Jakarta. Tidak ada yang berubah, aku dan papa sering jalan-jalan bersama. Oh iya, aku punya tanda lahir yang menurut banyak orang sebaiknya dihilangkan. Setiap hari aku selalu dibawa berobat oleh papa, tapi tetap saja tidak ada perubahan sama sekali. Meski demikian, papa tetap menjadi orang yang sangat menyenangkan, aku bangga menjadi anaknya. Beliau sama sekali tidak malu dengan keadaanku, papa selalu sayang padaku.

Waktu berlalu, pada tanggal 8 Februari 2002, aku akhirnya tahu papa sakit. Saat itu jam 3 pagi aku terbangun, papa tidur di ruangan depan dan mama selalu menjaganya. Aku sempat mengobrol dengan papa, ada satu kalimat yang tidak akan pernah aku lupa, beliau mengatakan,

"Kamu harus rajin belajar, pintar sekolahnya dan harus bisa jadi kebanggan mama,"

Setelah itu aku diminta tidur lagi, karena papa takut aku terlambat sekolah.

Tepat setelah Subuh, papa kesakitan dan minta dibawakan obat. Saat mama mengambil obatnya, papa mungkin sudah tidak tahan sampai dia memaksakan diri berjalan dan terjatuh. Papa terkena kaca jendela rumah kami. Pada saat itu papa menghembuskan napas terakhirnya.

Aku tidak melihat langsung kejadian itu, saudaraku membangunkanku dan memberi kabar bahwa papa sudah tiada. Awalnya aku tidak percaya karena mana mungkin hal itu terjadi. Beberapa jam yang lalu tadi pagi aku masih berbincang dengannya, aku yakin berita itu bohong. Sampai akhirnya aku pergi ke ruang tamu dan memang benar papa sudah tiada

Teriakan histeris keluar dari bibirku. Aku tidak sanggup memikirkan bagaimana hidup tanpa papa yang paling aku sayangi. Siapa lagi yang akan bercanda denganku, siapa lagi yang akan memanjakanku. Hingga pada akhirnya aku bisa mengikhlaskan kepergian papa. Aku yakini bahwa kejadian ini adalah yang terbaik untuk papa. Papa sudah tenang dan bahagia di samping-Nya.

Hingga ini aku selalu ingat tentang papa. Dalam doaku dan pesanku, aku selalu meminta:

"Beristirahatlah dengan tenang, pa. Terima kasih telah menjadi laki-laki yang tidak pernah membuatku kecewa. Doakan aku agar bisa mendapatkan laki-laki seperti bagaimana engkau mencintai mama. Terima kasih telah ada di hidupku. Meski papa tidak lagi ada di hidup kami, tapi papa selalu ada di hati Sonia, sampai Sonia menghembuskan nafas terakhir. Terima kasih telah mengajarkan arti kehidupan. Terima kasih selalu membuatku tersenyum. Sonia yakin, Allah mempunyai rencana yang indah untuk kita,".

Dad, remembering you is easy, I do it every day. Missing you is the heartache that never goes away.Sayangi papamu dan orangtuamu selagi mereka masih ada. Jangan sampai kalian menyesal belakangan.

Papa, aku mencintaimu selamanya,

dari anakmu yang sangat merindukanmu :)

 

***

Kisah nyata ini dikirim oleh Sonia Derma Damora Pardede untuk mengikuti Lomba Menulis Vemale.com Kisahku dan Ayah. Kamu juga bisa mengirimkan kisah tentang ayah dan berkesempatan memenangkan hadiah dari Negarawan. 

(vem/yel)