Selamat Jalan Suamiku, Kelak Kita Akan Bertemu Kembali di Surga-Nya

Fimela diperbarui 12 Agu 2015, 14:50 WIB

Balada semangkuk sup mengantarkanku ke gerbang kehidupan baru yang membawa perubahan besar. Pertemuanku dengan pria berkewarganegaraan Siria di pesta perkawinan sahabat baik sungguh suatu rencana Allah yang tak terduga yang mengubah seluruh hidup dan nasibku.

Aku seorang pramugari di salah satu perusahaan penerbangan terkenal di Timur Tengah. Saat itu aku sedang menikmati indahnya kehidupan pramugari yang dikenal dengan glamorious life-nya. Namun malam itu satu kejadian mengubah jalan hidupku. Saat itu adalah pertama kalinya kami bertemu dan ternyata dia diam-diam mengagumiku dari jauh. Aku tak menyadarinya sampai salah seorang temanku mengatakan padaku bahwa matanya tak pernah lepas dariku.

Tidak aku pungkiri ada perasaan tersanjung namun aku bersikap acuh karena saat itu tak terlintas di benakku untuk menjalin hubungan dengan seseorang. Aku menikmati kehidupanku as a free and happy single woman alivejadi tak ku gubris komentar-komentar temanku tentang pria itu.

Saat aku hendak menuang sup ke dalam mangkuk terdengar suara asing dari belakang tubuhku bertanya dengan sopan “May I do it for you?” sang pengagum rahasia itu menawarkan diri untuk menuangkan satu sendok sup ke mangkukku. Maksud hati untuk membalas sopan santunnya, aku pun membiarkan dia menuangkan sup ke mangkukku. Dari situ lah kami memulai percakapan yang menjadi awal cerita tentang aku dan dia.

Dari Semangkuk Sup Menuju Pernikahan

Di penghujung acara dia meminta nomor teleponku dan berharap aku dapat meluangkan waktu untuk sekedar minum kopi bersama. Aku tak keberatan, sebab dari percakapan yang kami lakukan sepanjang malam itu aku menyimpulkan dia adalah seorang teman yang baik.

Kami pun mulai sering bertemu, dia menceritakan segala tentang dirinya. Tentang pernikahannya yang kandas dan kisah ketiga orang anaknya yang masih balita, kini tinggal bersamanya. Aku menanggapinya dengan prihatin namun tetap memberinya semangat untuk terus meraih kebahagiaan yang tersembunyi di masa depan.

Hari demi hari kami semakin dekat, akupun semakin dekat dengan anak-anaknya. Sang mantan istri menyerahkan hak asuh anak-anak kepadanya, maka dari itu dia meminta ibunya untuk tinggal bersamanya. Beberapa kali dia menyatakan cintanya kepadaku namun aku sempat ragu akan perasaanku. Sampai akhirnya perasaan itu muncul dengan sendirinya dan mulai saat itu kami memutuskan untuk membawa hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Jenjang pernikahan.

Semula kedua orang tuaku ragu, bukan hanya karena statusnya yang duda beranak 3 namun perbedaan bangsa dan bahasa, terlebih lagi aku akan menetap di luar negeri. Aku berusaha keras untuk meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku mencintainya dan kami akan bahagia di manapun kami berada. Aku ingin melepaskan kekhawatiran yang menyarang di pikiran orang tuaku. Sampai akhirnya mereka memberikan restu kepada kami.

Hari yang kami nantikan pun tiba. Aku dipersuntingnya dan kami kokohkan cinta kami pada ikrar pernikahan yang diucapkannya di depan kedua orang tuaku. Selang beberapa bulan, aku dikaruniai anugerah yang terindah dalam hidupku, aku akan menjadi seorang ibu.

Dari semua kebahagiaan itu, ternyata kehidupan pernikahan tak semudah yang aku bayangkan.. (bersambung ke halaman selanjutnya).

(vem/yel)
2 dari 3 halaman

Kehidupan Pernikahan Tak Semanis Bayanganku

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Awal kehidupan pernikahan tidak seindah yang aku impikan. Terlebih lagi ibu mertua tinggal bersama denganku. Beliau sudah sangat berumur dan sangat sayang kepada anak bungsunya. Kecemburuan pun menguak dalam diri ibu mertua melihat anaknya yang mencurahkan segala rasa sayangnya kepada wanita lain. Hubunganku dengan ibu mertua begitu tegang dan suamiku selalu menjadi penengah antara aku dengan ibunya.

Tahun berganti tahun, aku mulai belajar menerima keadaan ibu mertuaku. Dukungan penuh dari suamiku serta pembelajaran tentang kehidupan pernikahan membuat aku semakin percaya diri menghadapi setiap permasalahan dalam rumah tanggaku.

Di tahun ke empat pernikahan kami, Allah memberikan suatu cobaan lain. Di saat hubungan dengan ibu mertuaku berangsur membaik, suamiku divonis kanker usus besar stadium 4 dan kanker tersebut sudah menjalar ke hati.

Aku seakan tenggelam di hantam ombak yang begitu kuat dan besar. Di keresahan hati aku berdoa, "Ya Allah, tentunya Engkau telah merencanakan sesuatu yang berujung indah untuk hamba dan suami hamba. Hamba hanya memohon satu kesempatan untuk hamba dan suami hamba untuk menggapai cita-cita perkawinan kami, sedikit waktu lebih untuk merasakan kebahagiaan bersama,".

Aku sadar semua cobaan yang kami lalui adalah karena kelalaian kami mengingat-Nya. Kami begitu sibuk dengan segala urusan dunia dan keluarga, sering kami melalaikan-Nya. Aku mencoba untuk mendekatkan diri kepada Ilahi begitu pula suamiku. Kami sadar akan kesalahan kami dan berniat untuk membayarnya selama hayat masih dikandung badan.

3 dari 3 halaman

Aku Mengingat Momen Perpisahan Kami

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Setelah melalui perjuangan yang cukup melelahkan, tepatnya 15 bulan setelah suamiku divonis kanker Allah memanggil suamiku untuk berpulang ke pelukan-Nya.

Dua bulan terakhir penyakit itu tak dapat diobati, suamiku harus dirawat penuh di rumah sakit. Aku selalu berada di sampingnya, segalanya aku lakukan demi suamiku namun Allah berkehendak lain. Aku pasrah.

Detik-detik terakhir bersamanya adalah moment yang tak akan terlupakan seumur hidupku. Moment di saat aku meyakinkannya bahwa aku dan anak-anak akan baik-baik saja selama suamiku tak lagi kesakitan. Moment di mana dia tak mau lepaskan genggaman tanganku. Moment di mana tatapannya seolah mengatakan “Maafkan aku harus pergi meninggalkanmu dan anak-anak. I love you,”. Moment di saat ku tuntun dia mengucapkan dua kalimat Syahadat. Moment di mana aku kecup keningnya untuk terakhir kalinya sebelum wajahnya ditutup kain putih.

Kepergian suami aku terima dengan ikhlas. Tak ada lagi jeritan kesakitan yang keluar dari mulutnya, tak ada lagi jarum-jarum yang menusuk tubuhnya, tak ada lagi obat-obat kimia yang merusak tubuhnya. Hanya kerinduan yang selalu menggangguku.

Kepergiannya membuatku lebih dekat lagi dengan sang Khalik, aku awali langkah ku di kehidupan baru ini dengan menutup auratku dan menjalani sisa hidupku di jalan-Nya.

Hidupku untuk Tuhanku Yang Maha Esa, anak-anakku dan keluargaku sampai tiba nanti saatnya aku bertemu kembali dengan suamiku tercinta. Beristirahatlah dengan tenang, tunggu aku di pintu gerbang kebahagiaan yang kekal. Amin.

Kisah ini dikirim oleh: Ahyunin Yahya