Tahun ini pernikahan saya dan suami memasuki usia 3 tahun, namun hingga kini kami belum dikaruniai seorang anak. Meskipun kami belum memiliki anak namun kami tidak pernah mempermasalahkan soal ini. Saya dan suami tinggal berbeda kota dengan jarak tempuh 3 jam. Suami harus tinggal dengan ibu mertua saya yang sudah tua dan adik bungsunya, sementara saya memilih tinggal di rumah kontrakan dekat tempat saya bekerja.
Kami rutin bertemu setiap Sabtu dan Minggu, namun pekerjaan suami saya sebagai wiraswasta membuatnya bisa menemui saya di rumah kontrakan kapan saja. Saya memilih mempertahankan pekerjaan karena tidak ingin terlalu membebani suami dengan kebutuhan keluarga saya. Setelah berpisah dengan ayah, perekonomian ibu saya tidak cukup baik meskipun telah bersuami lagi dan kini memiliki 2 orang anak. sehingga saya harus membantunya sebisa mungkin.
Latar Belakang Pernikahan dan Keluarga
Sebetulnya pernikahan ini cukup berat bagi saya, meskipun saya tahu suami sangat mencintai saya namun latar belakang keluarga kami yang berbeda membuat pihak keluarganya kurang mendukung pernikahan kami. Suami saya berasal dari keluarga religius yang merupakan keturunan ulama besar dan ternama di daerahnya. Sementara keluarga saya hanyalah keluarga muslim yang biasa saja tanpa predikat ustaz apalagi haji.
Saya selalu berusaha mengikuti segala hal yang diterapkan dalam keluarga suami saya, dari cara berpakaian, bertingkah laku dan segala kebiasaan di dalam keluarganya. Toh sejauh ini segala yang diajarkan merupakan ajaran agama yang tentunya baik untuk saya. Saya selalu yakin suatu saat mereka akan melihat usaha saya dan akan menerima saya.
Saya Berhenti Kerja
Apa yang saya lakukan nyatanya tidak cukup membuat keluarga suami menyukai saya. Mereka ingin agar saya berhenti bekerja, mereka ingin saya fokus dalam mengurus rumah tangga. Hal ini membuat saya keberatan mengingat beban yang harus saya tanggung. Meskipun tidak banyak pembelaan yang suami lakukan tetapi saya cukup senang suami tetap mengizinkan saya bekerja. Saya pun mengerti keadaannya, sebagai anak laki-laki bungsu dari 9 bersaudara agaknya suami saya merasa tidak enak untuk menghadapi tekanan dari kakak-kakaknya.
Pernikahan Itu Saya Ketahuan Dari Facebook
November 2014, suami saya begitu sibuk dengan urusannya, sudah beberapa akhir pekan tidak kami lewati bersama. Bagi saya hal itu biasa, mengingat kesibukannya sebagai wiraswasta tak ada jadwal pasti untuk pekerjaannya. Karena suami saya sedang sibuk mengurus usahanya saya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan dikontrakkan, mengisi kekosongan dengan membuka media sosial Facebook.
Lama tak membuka akun, saya berniat iseng ingin melihat halaman Facebook kakak ipar, sekedar mengobati penasaran tentang apa yang biasa dipostingnya. Namun tak disangka keisengan ini menjadi awal kehancuran kehidupan rumah tangga saya. Saya melihat sebuah postingan beberapa hari yang lalu, sebuah foto pernikahan yang sederhana namun sakral. Saya sangat mengenali orang yang ada dalam foto itu, suami saya. Sesaat saya hanya bisa diam terpaku, tak sadar air mata sudah mengalir. Saya pikir rumah tangga kami baik-baik saja meskipun banyak rintangan yang kami hadapi, nyatanya salah. Saya pikir ia sibuk bekerja, ternyata dia sedang melangsungkan pernikahan yang justru saya ketahui dari media sosial.
Puncak Kemarahan Saya
Tanpa berpikir panjang saya pergi menemui suami saya dan keluarganya, marah dan membabi buta, sumpah serapah pun saya lontarkan. Tak ada yang berani berucap, semua terdiam. Entah setan apa yang merasuki, tidak cukup mengamuk di rumah mertua saya, saya pun mendatangi keluarga istri barunya. Jawaban yang saya dapat soal pernikahannya adalah karena keluarganya menginginkan menantu dari keturunan saleha, yang hanya diperoleh dari seorang anak ustazah.
Ingin Bunuh Diri
Kemarahan dan kemarahan yang saya rasakan setiap saat, sempat membuat saya ingin mengakhiri hidup, namun Alhamdulillah saya tersadar dan terselamatkan. Suami berkali-kali meminta maaf dan berjanji akan tetap menyayangi saya, bahkan katanya dia tidak pernah mencintai istri barunya.
Entah luluh atau mati rasa, seiring berjalannya waktu saya justru tidak lagi mempermasalahkan apa yang terjadi. Saya tidak lagi menemui suami dan menanggapi teleponnya dengan nada yang dingin. Saat suami sakit pun rasanya tidak ada lagi kekhawatiran yang saya rasakan seperti dulu. Saya merasa hampa dengan hari-hari yang saya lalui.
Akhir Pernikahan Kami
Saya memberikan waktu untuk suami saya memilih, namun rasa takutnya menentang keluarganya lebih besar dibanding rasa cintanya terhadap saya. Hingga saat ini yang dilakukannya hanyalah meminta maaf dan meminta saya kembali tanpa peduli dengan sakit yang saya rasakan.
Ramadan kali ini terasa berbeda, saya tak lagi menyiapkan sahur ataupun menu berbuka untuk suami saya. Ramadan kali ini menjadi bulan penuh renungan untuk saya, saya sadar akhlak dan iman saya jauh dari kata sempurna tapi apakan saya pantas menerima keadaan seperti ini?
Setiap saat saya memohon petunjuk-Nya hingga akhirnya kini saya memutuskan untuk tidak lagi mempertahankan rumah tangga saya. Bukan karena kesabaran saya telah habis, namun biarlah suami saya bahagia dengan wanitanya. Ia tidak perlu memilih, karena jika ia mencintai saya, tentu tidak akan ada yang kedua. Semoga Allah SWT meridhoi keputusan saya. Amin ya robbal alamin.
-oOo-
LOMBA KISAH RAMADAN VEMALE.COM
Menyambut bulan Ramadan 1436 H, Vemale.com mengajak para pembaca untuk membagikan kisah inspirasi. Kisah ini bisa tentang suka duka ketika memutuskan memakai hijab, kisah seru di bulan Ramadan, bagaimana rasanya jauh dari keluarga saat Lebaran atau kisah apapun yang meningkatkan sisi spiritual dan kedekatan Anda dengan Allah SWT.
Kirim kisah Anda melalui email ke redaksivemale@kapanlagi.net dengan subjek: KISAH RAMADAN VEMALE
30 kisah yang ditayangkan akan mendapat bingkisan cantik dari Vemale.com. Kami tunggu kisah Anda hingga tanggal 24 Juli 2015. Pemenang akan kami umumkan tanggal 28 Juli 2015.
Dari satu kisah, Anda bisa menjadi inspirasi bagi jutaan wanita Indonesia.
Share your story :)
(vem/yel)