Thalassemia: Kenali dengan Diagnosa Dini Untuk Cegah Komplikasi Berbahaya Lainnya

Fimela diperbarui 16 Jun 2015, 15:23 WIB

Sebagai wujud dukungan PT Novartis Indonesia terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan Thalassemia, bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI), Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) dan Yayasan Thalassemi Indonesia/Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia Indonesia (YTI/POPTI), hari ini SEHATi Bicara kembali diselenggarakan untuk ke-sembilan kalinya.

Forum diskusi interaktif SEHATi Bicara merupakan sebuah wadah yang mempertemukan para pemangku kepentingan terkait untuk bertemu, membahas dan bertukar informasi mengenai masalah-masalah kesehatan, khususnya terkait penyakit tidak menular dan kronis. SEHATi Bicara juga merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan sebagai wujud dukungan dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia.

“Thalassemia merupakan salah satu penyakit tidak menular, yang bukan disebabkan oleh gaya hidup yang kurang sehat, namun diturunkan dari kedua orang tua, karena ketidaksempurnaan rantai pembentuk hemoglobin α atau β,” ungkap Dr. Ekowati Rahajeng, SKM, M.Kes., Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, KEMENKES RI. “Jumlah penderita Thalassemia di Indonesia yang terdaftar saat ini sekitar 6.000 penderita, kenaikan yang cukup signifikan dari sekitar 4.000 penderita di 2009.”

Rantai pembentuk hemoglobin α dan β berfungsi untuk membentuk sel darah merah, yang diperlukan tubuh untuk membawa oksigen ke semua organ tubuh serta mengatur beberapa fungsi tubuh.

Dengan absennya rantai pembentuk hemoglobin tersebut, maka tubuh akan kekurangan sel darah merah, yang sebagian besar berisikan zat besi, sehingga gejala Thalassemia kerap tertukar dengan anemia ringan.

DR. Dr. Tb. Djumhana Atmakusuma, SpPD-KHOM, Presiden PHTDI, menjelaskan lebih lanjut, “Ketidaksempurnaan rantai hemoglobin tersebut disebabkan hilangnya fungsi gen-gen tertentu. Inilah yang diturunkan oleh kedua orang tua, yang ke-duanya pembawa sifat, salah satu pembawa sifat dan lainnya penderita, ataupun ke-duanya penderita Thalassemia.

Dengan pemeriksaan darah, maka siapapun dapat mengetahui apakah mereka pembawa sifat atau penderita Thalassemia, yang jika dilakukan sedini mungkin, dapat mencegah risiko komplikasi lainnya, seperti: kelebihan zat besi, deformitas tulang atau pembengkakan kelenjar limpa (splenomegali).

Penderita Thalassemia juga memiliki tingkat risiko yang jauh lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya infeksi, dan hal ini lebih tinggi lagi risikonya, bagi penderita Thalassemia yang limpanya sudah diangkat.“Karena gejala ya yang sekilas serupa dengan anemia ringan, maka mungkin banyak dari masyarakat di Indonesia yang tidak mengetahui kalau mereka penderita Thalassemia. Ini adalah salah satu kemungkinan kendala terbesar dalam meningkatkan kesadaran akan Thalassemia, karena kurang signifikannya gejala penyakit tersebut.” lanjut Dr. Djumhana.

“Dengan deteksi dini, maka penderita Thalassemia dapat mendapatkan pengobatan yang tepat, sehingga komplikasi dapat dihindari. Namun penderita Thalassemia akan tetap membutuhkan transfusi darah seumur hidup mereka, yang artinya penderita Thalassemia harus mengeluarkan uang rata-rata sebesar Rp. 10 juta per bulan yang berkaitan dengan biaya pengobatan dan transfusi darah."

Jika ini dapat dijalankan, maka kita akan mampu menekan angka morbiditas karena Thalassemia di Indonesia dan tidak mengulang peningkatan jumlah penderita Thalassemia sebanyak 8,3% seperti antara 2008-2009,” ucap H. Ruswandi, Ketua YTI/POPTI.

“Melalui forum SEHATi Bicara yang ke-sembilan, bersama KEMENKES RI, PHTDI dan YTI/POPTI, kami berharap untuk dapat terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyakit Thalassemia, yang memang tidak langsung dapat dikenali dengan gejalan yang timbul."

"Kami harapkan dengan ini masyarakat akan sadar bahwa dengan mengetahui apakah mereka pembawa sifat atau penderita Thalassemia, maka mereka telah membantu diri mereka sendiri dan juga keturunan mereka untuk mengetahui pengobatan apa yang diperlukan, jika memang mereka penderita Thalassemia,” tutup dr. Helena Rahayu, Chief Market Access & Communications Officer, PT Novartis Indonesia.

Ladies, semoga dengan acara ini kesadaran masyarakat mengenai Thalassemina bisa lebih meningkat dan risiko penyakit komplikasi dalam tubuh bisa ditekankan.

(vem/mim)