Kartini dan emansipasi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kartini menggugat perbedaan hak atas laki laki dan perempuan, sebab kaum perempuan dibatasi gerak dan kiprahnya. Di masa yang lalu, perempuan tidak bisa mengenyam pendidikan yang cukup sebagaimana dinikmati oleh kaum laki laki.
Sejak zaman terdahulu hingga saat ini, perempuan masih sering dijadikan sebagai konco wingking, yang artinya menempatkan perempuan di posisi belakang, kiprahnya tidak boleh melampaui kaum laki laki. Padahal perempuan memiliki hak yang sama dengan kaum laki laki. Jika laki laki bisa menjadi seorang pemimpin, perempuan pun jika diberi kesempatan juga bisa sebaik mereka.
Yang membedakan perempuan dan kaum laki laki adalah kodratnya. Kodrat wanita adalah hamil, melahirkan dan punya anak, yang tidak bisa dilakukan oleh kaum laki laki.
Di masa yang lalu ada semacam slogan bahwa anak perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya juga hanya berkutat di dapur. Pemikiran seperti inilah yang harus diubah. Kartini memperjuangkan hal tersebut. Untuk itu, perempuan harus diberdayakan, agar kemampuan dalam diri pada perempuan dapat meningkat sehingga bisa berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan, baik pembangunan fisik maupun non fisik.
Perjuangan Kartini memang tidak sia-sia. Setelah lebih dari seratus tahun sejak masa perjuanganya memperoleh persamaan hak antara perempuan dan kaum laki-laki, kebebasan terbuka lebar bagi kaum perempuan.
Terbukti adanya angin segar bahwa perempuan dalam dunia politik di negeri ini mencapai sebuah babak baru, yaitu keharusan sebuah partai politik mengajukan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari daftar calon legislatif. Apabila kita lihat dari sisi legal, UUD 45 telah menjamin persamaan hak antara perempuan dan kaum laki-laki, dalam partisipasi di aspek pembangunan.
Akan tetapi dalam realitanya, apakah benar-benar sudah terjamin persamaan hak perempuan dan kaum laki-laki?
Mari kita mengingat kembali sisi kelabu kaum perempuan. Fenomena kekerasan perempuan akhir-akhir ini marak terjadi dan diberitakan di media masa maupun di keseharian kita. Kata kekerasan umumnya mengacu pada bentuk tindakan fisik yang bersifat kasar. Yang disayangkan, hal tersebut justru sering terjadi dalam sebuah rumah (KDRT). Jenis KDRT ini ada 3 macam yaitu Kekerasan dalam bentuk fisik, psikis dan kekerasan seksual.
Mengapa harus perempuan yang menjadi korban?
- Karena perempuan adalah kaum yang lemah.
- Minimnya ekonomi dalam rumah tangga.
- Minimnya pendidikan.
- Kurangnya pengetahuan agama.
Perempuan harus yakin bahwa dia memiliki kemampuan, terlebih lagi saat terjadi krisis ekonomi. Yang paling terkena dampaknya adalah perempuan. Dalam bidang kesehatan juga terjadi fakta menyedihkan untuk kaum perempuan, dapat terlihat pada banyaknya jumlah kematian ibu melahirkan.
Perempuan Indonesia harus bersatu untuk melakukan perubahan terutama dalam menentukan nasib diri dan anak-anak nya di masa depan.
Tidak kalah pentingnya adalah sebuah gerakan perempuan yang telah lahir dan tumbuh berkembang pesat di negeri ini, yang sudah diakui dunia, yaitu sebuah gerakan pemberdayaan kesejahteraan keluarga atau di singkat dengan PKK.
PKK adalah sebuah gerakan sosial yang paling eksis karena mempunyai ruang lingkup pengabdian yang tak terbatas.
Demikian uraian mengenai bias-bias Kartini, paling tidak bisa menjadi bahan perenungan dalam memperingati hari Kartini yang akan datang.
Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan Indonesia. Semoga kita semua bisa menjadi pahlawan, setidaknya untuk diri kita sendiri terlebih dahulu dan untuk keluarga kita.
*Tulisan ini dikirimkan oleh Sahabat Vemale bernama Efiawan, Ketua Komunitas Perempuan Mandiri yang berasal dari Jepara, Jawa Tengah.
(vem/yel)