Cinta monyet, cinta masa kecil, atau rasa suka yang pernah dirasakan ketika masih kecil. Perasaan itu pasti pernah dirasakan oleh kita semua. Dan kisah cinta masa kecil itu bisa terus terbawa hingga kita tumbuh dewasa. Selamanya, kisah itu akan tersimpan dari ingatan. Sahabat Vemale bernama Dwi Astuti punya cerita cintanya sendiri, kisah tentang cinta masa kecil yang terus dikenang hingga kini ia sudah dewasa.
***
Kisah ini berawal ketika aku masih duduk mengenakan seragam putih merah. Aku masih ingat betul di mana saat itu setiap menaiki tingkat kelas yang lebih tinggi, ada beberapa dari kami yang tereliminasi dan juga kami harus bergabung dengan kakak tingkat yang gagal melangkah ke kelas sebelahnya. Hinga pada akhirnya saat menginjak kelas 3, jumlah anggota kelas kami konstan sampai lulus. Ada 22 anak, terdiri dari 11 anak perempuan dan 11 anak laki-laki.
Saat itu Bu Gemi, yang merupakan salah satu guru favoritku dan kebetulan menjadi wali kelas kami saat kelas 3 SD mengatur agar posisi duduk kami. Ia mengatur posisi duduk kami jadi laki-laki dan perempuan. Karena saat itu, anak laki-laki hobi membuat gaduh di kelas. Mungkin Bu Gemi berharap dengan begitu kenakalan anak laki-laki zaman kanak-kanak saat itu akan berkurang karena akan merasa sungkan jika disandingkan dengan anak perempuan. Hal ini memang berlaku beberapa waktu, namun seiring berjalannya waktu hal ini malah memicu ajang ledek-ledekan.
Sebagian dari kami yang perempuan banyak yang memerah pipinya ketika mulai duduk didampingi para anak lelaki yang kini mulai menuai kesuksesannya masing-masing. Aku yang super tomboy saat itu merasa biasa saja, tak ada perubahan apapun yang aku rasakan. Teman sebangkuku saat itu adalah Tian. Dia anak yang pendiam, jadi sangat mendukung kegiatan belajarku saat di kelas.
Karena aku adalah anak perempuan di kelas yang paling galak, mungkin teman-temanku yang laki-laki menjadi suka memancing kemarahanku dengan berbagai macam cara. Tapi Tian sama sekali tidak termasuk dari golongan mereka. Aku sadar aku tidak cantik, dan tujuanku bersekolah saat itu adalah untuk memperoleh peringkat satu, bukan mendapat ilmu atau bahkan yang lain. Entah mengapa saat itu aku sangat terobsesi hingga melupakan tujuan utama sekolah atau bahkan kehidupan masa keceriaan anak-anak seusiaku.
Aku lebih suka membaca berbagai macam hal yang tidak pernah aku ketahui, dan aku paling suka jika tanteku sedang membongkar almari buku anaknya. Di saat itu, aku seperti ikan nemora yang makan dari makanan yang tidak dihabiskan hiu. Aku menguntit di belakang punggung tante, menunggunya menyerahkan buku-buku yang sudah tidak dipakai anaknya. Saat itu buku favoritku adalah buku pengetahuan alam.
Tak ada hal seindah buku, pikirku saat itu. Tetapi disela-sela saat aku membaca buku saat istirahat di sekolah, sesosok makhluk berpostur tambun selalu membuntutiku sekalipun aku sudah memilih tempat aman yang tidak pernah dikunjungi teman sekolahku saat istirahat. Darius namanya, ia teman sekelasku yang selalu membuat masalah denganku. Entah karena apa, tapi disaat dia datang langit duniaku berubah menjadi kelabu. Berbagai macam cara aku lakukan agar dia berhenti mengikutiku, namun semakin lama dia semakin menjadi-jadi.
- Cinta Tak Memandang Kekurangan, Kami Tetap Menikah Meski Ditentang Orang Tua
- Aku Bersyukur Ia Meminta Restu Orang Tua Sebelum Menjalin Cinta Denganku
- Meski Kau Pernah Berkhianat, Aku Tetap Mencintaimu dalam Diamku
- Teman Curhat Jadi Suami... Sempurnanya Takdir Tuhan Untukku
- Suamiku... Maaf, Aku Hanya Cemburu pada Anak-Anakmu
- Indahnya Skenario Tuhan, Jodohku Ternyata Teman Sekelasku Sendiri
What's On Fimela
powered by
Ia Sosok yang Berbeda
Tiba saat kenaikan kelas, aku sudah berpindah ke kelas sebelah yang merupakan gedung kelas 4. Kami satu kelas juga sudah dibebaskan memilih teman sebangku. Dan aku kembali duduk dengan Ida teman sebangkuku sebelum aku berpindah dengan Tian. Dan Darius, tetap saja mengekor memancing amarah.
Wi aku kasih tahu ya! celoteh Fafilu salah satu temanku.
Nggak mau, informasimu selalu nggak bermanfaat," jawabku dengan nada setengah bercanda sambil bermain bongkar pasang.
Fafilu tampak sedikit ketakutan, matanya terus berputar ke segala arah sampai akhirnya tertuju pada sosok anak laki-laki berpostur tinggi yang memakai topi di dekat pintu kelas.
Tian suka kamu, aku gak bohong dia wallahi bilangnya waktu itu," kata Fafilu sambil berbisik dan menutupi mulutnya agar gerak mulutnya tidak diketahui sosok yang dia cari tadi.
Kata "wallahi" adalah istilah yang sering kami pakai saat itu untuk membuktikan kebenaran yang kami sampaikan, walaupun sebenarnya setelah besar kami menyadari kata-kata ini tidak boleh digunakan sembarangan. Hanya saja kami sama sekali tidak berani berbohong semenjak Pak Mad, guru agama kami saat itu memberi ultimatum tidak akan menaikkan kelas muridnya yang berani berbohong, dan untuk temannya yang mengetahui teman lainnya berbohong harus melaporkan ke Pak Mad, agar namanya dicatat. Tidak naik kelas, adalah kata-kata pamungkas yang membuat mental kami menjadi takut untuk berbohong saat itu.
Sebelum aku merespon informasi yang diberikan Fafilu, tiba-tiba kaki Fafilu menginjak rumah-rumahan untuk bongkar pasangku yang terbuat dari pasir. Aku yang saat itu masih belum dapat mengendalikan emosi sontak memarahi Fafilu kemudian menyuruhnya pergi tanpa mempedulikan isi percakapan yang dia katakan. Di seberang, tampak sosok bertopi yang tidak lain adalah Tian mulai sewot ketika Fafilu mendatanginya, dia juga tampak marah karena mungkin merasa Fafilu mengatakan apa yang seharusnya tidak dia katakan. Tanpa ada satu pikiran yang terbesit untuk memikirkan apa yang dikatakan Fafilu tadi, aku terus bermain bongkar pasang yang saat itu memang masih sangat tren.
Beranjak ke kelas 5 SD, permainan yang kami mainkan saat itu adalah power rangers, dengan gelang tangan yang kami buat dari kertas. Aku, Amin, Fredi, Ani, Darius, dan Fardan berkhayal seolah-olah kami akan berubah menjadi tokoh pahlawan tersebut. Aku sebagai rangers kuning, Amin sebagai rangers hitam, Fredi sebagai rangers biru, Darius sebagai rangers Merah dan Fardan sebagai rangers putih.
Entah mengapa dari permaianan tersebut, hampir semua teman laki-laki yang ada di kelas mengungkapkan bahwa mereka menyukaiku. Bahkan Fardan berlaku layaknya episode power rangers yang menayangkan adengan ranger putih yang mendekati ranger kuning, sehinga dia terus menempel padaku, kemudian Amin juga berlaku hal yang sama seperti yang dilakukan ranger hitam yang marah pada ranger putih. Terlepas dari tahu atau tidaknya kalau adegan itu dibuat-buat atau memang dari emosi hati mereka, aku berlagak memisah seperti yang dilakukan ranger kuning.
[startpuisi]Sama sekali tidak terpikirkan olehku apa itu arti suka dan lainnya, aku hanya merasa senang bermain seperti tokoh jagoanku. Namun perlahan aku sadari sosok yang selalu luput dari penglihatanku namun pandangannya tak pernah berhenti mengarah kepadaku. Tian. Entah mengapa saat mata kami bertemu tidak sengaja, aku merasa ada getaran hebat yang menyusup di dadaku. Aku tidak mengerti itu apa, namun aku suka dengan perasaan itu.[endpuisi]
Tiba-tiba aku baru tersadar bahwa Tian adalah teman laki-laki tersopan dari semua teman-temanku yang lain. Jika teman laki-lakiku saat itu sangat hobi membuka rok para teman perempuanku. Maka sebaliknya, Tian tidak pernah melakukan hal itu, dia juga tidak pernah berbicara kasar kepada temannya yang perempuan. Bahkan jika banyak dari temanku yang rela mencontek temannya jika tidak bisa mengerjakan soal ujian, Tian adalah sosok yang selalu berusaha untuk dapat mengerjakannya sendiri.
Tanpa ada rasa malu dengan nilai ujiannya kurang begitu baik, ia tetap semangat berjuang memperoleh nilai dengan cara yang jujur. Meskipun dia merupakan anak dari keluarga yang berada, dia bukan kategori anak sombong yang hobi pamer, bahkan dia selalu bersikap sahaja. Meskipun pendiam, dia bukan orang yang anti sosial, dia bahkan selalu menyempatkan diri bermain bersama kami. Bersepeda bersama saat minggu pagi adalah rutinitas kami saat itu. Tian yang sepedanya paling bagus rela meminjamkan sepedanya untuk belajar sepeda.
Dia tidak pernah marah ketika sepedanya jatuh dan tergores karena digunakan untuk belajar, bahkan jika ada teman yang malu karena sepedanya jelek atau yang belum punya sepeda, dia akan menghampiri anak tersebut lalu memberinya tumpangan. Dia juga termasuk anak yang paling rajin menunaikan sholat. Saat kami semua hendak mengikuti lomba senam Tian jugalah yang menawarkan diri agar kami semua berlatih senam di rumahnya. Diantara teman-temanku yang lain, dia jugalah yang paling sopan kepada orang yang lebih tua. Dan dia juga tak pernah membuat orang tua sebagai bahan olokan seperti yang dilakukan banyak temanku.
Aku Selalu Terbayang Sosoknya
Pikiranku dipenuhi Tian saat itu, entah mengapa setiap namanya muncul di pikiranku, perasaan itu muncul lagi. Sesak yang menyenangkan. Itulah perasaan yang aku rasakan saat itu. Aku semakin giat belajar saat itu. Bahkan prestasiku semakin membaik. Aku sangat suka saat mata kami bertemu secara tidak sengaja.
Aku merasa saat itu langit duniaku menjadi serba pink blossom dan dipenuhi semangat segar seperti di pagi hari. Saat tiba-tiba saja Tian mimisan, tanpa dikomando aku langsung meminta izin Pak Guru untuk mengambil daun sirih di rumah tanteku. Ada perasaan khawatir yang menyelimutiku saat itu, Tian saat itu menerima begitu saja sambil terus memegangi hidungnya. Ada perasaan sedih saat dia harus meninggalkan kelas, di sisi lain ada harapan bahwa dia akan kembali masuk esok hari. Harapanku tak menuai jawabannya, kenyataannya Tian tidak masuk sampai dua hari lamanya. Darius yang terus mengganggu saat itu seperti petir yang datang di kala langitku sedang mendung.
O ya wi, kemarin aku lupa mau ngucapin makasih, Kata Tian saat dia kembali beraktifitas di sekolah sambil malu-malu.
Aku yang juga malu-malu saat itu hanya mengiyakan tanpa menyambung dengan perkataan yang panjang. Langitku berubah kembali menjadi pink blossom, dia adalah teman laki-laki yang tidak pernah lupa mengucapkan terima kasih ketika ditolong orang lain. Semakin lama aku semakin menyukainya. Aku ingat kembali saat Fafilu mengatakan bahwa Tian menyukaiku. Aku semakin berbunga-bunga. Sejak saat itu doa yang kupanjatkan selain dapat diterima sekolah di kota adalah agar Tian tidak pernah lupa perasaannya jika memang dia menyukaiku, tidak lebih.
Tiba saat kenaikan kelas 6 SD, walaupun perasaan di dadaku tidak pernah berubah namun di pikiranku saat itu lebih dipenuhi oleh kelulusan dan nilai ujian nasional. Saat kelulusan tiba, aku merasa senang karena aku akan berpisah dari Darius, namun di sisi lain aku merasa sedih karena besar kemungkinan hal itu juga akan berlaku sama dengan perpisahan dengan Tian.
Namun angin segar kembali menyusup dalam hidupku. Ternyata selain aku dan Fardan yang akan mendaftar sekolah di kota, ternyata Tian juga ikut bersama kami. Langitku setiap hari rasanya berubah menjadi pink blossom. Tak ada ancaman gangguan dari Darius, hanya ada Si Pink Blossom yang akan membuat hari-hariku menjadi ceria. Dua minggu setelah ujian nasional selesai, kami bertiga berencana mengambil Nilai SKHUN sementara yang dibutuhkan untuk mendaftar sekolah di kota. Sore itu, suasana terlihat sangat cerah. Langit sore itu masih terlihat berwarna biru, matahari masih gagah melekat di dinding langit yang elok. Fardan dan Tian menunggu di depan rumahku lebih awal. Saat aku keluar dari pintu rumah, tampak wajah segar mereka diiringi senyum sumringah yang memancar di kedua wajah mereka.
Cantiknya, celetukan Tian tiba-tiba meluncur bagai senapan yang menembus hatiku dengan lembut.
Bukan merasa senang karena dibilang cantik, namun merasa senang karena diperhatikan. Aku sangat senang ketika saat itu kami beriringan bersepeda bersama. Waktu terasa berhenti sesaat, Tidak ada obrolan khusus yang kami bicarakan, hanya seputar masa depan dan cita-cita kami kelak.
Inikah Cinta?
Hari demi hari pengumuman penerimaan segera mendekati. Di papan pengumuman nama Tian lah yang justru menjadi tujuan utamaku. Tuhan berkata lain, Tian tergeser oleh nama-nama lain yang tak kukenal sama sekali siapa mereka. Kami berpisah. Setelah kami memasuki sekolah menengah pertama, tak pernah kujumpai lagi sosok tinggi yang hobi menutupi kepalanya dengan topi. Perasaanku tetap menetap seperti tugu monas yang tak pernah berubah letaknya.
Salah satu harapan adalah ketika ada pulang pagi. Saat ada pulang pagi, tidak jarang aku selalu bertengkar dengan teman dekatku yang perempuan karena aku tidak mau mereka ajak bermain. Aku mengayuh sepeda miniku berharap di saat bersamaan aku akan menemui sosoknya. Tapi tetap tak ada hasilnya. Walaupun sama sekali tak kunjung menemui hasilnya, aku cukup terhibur mendengar cerita dari teman-temanku yang satu sekolah dengannya. Lebih senang lagi karena dia tetap sama seperti yang dulu. Tak banyak bicara, tak banyak tingkah seperti anak-anak remaja putra seusianya, tetap rendah hati, dan baik kepada siapapun.
Aku belum mengerti dengan arti mencintai saat itu, hanya saja dengan perasaan ini aku merasa senang. Aku merasa senang dengan pribadi Tian. Hanya mendengar namanya saja rasanya sudah cukup mengobati rindu-rindu yang terbang dalam hati. Tidak lama berselang menjelang kelulusan, saat itu aku baru mempunyai handphone berlayar monokrom.
Selamat Ulang Tahun ya, lama gak ketemu
Terima kasih, maaf ini siapa?
Tian."
Singkat tapi sangat berarti mendalam, aku bahkan lupa kalau hari itu adalah ulang tahunku. Aku agak kaget karena aku tidak mempunyai jaringan maupun teman yang dapat mendekatkan aku dengan dia, aku juga bahkan tidak memberi nomor teleponku kepada teman-teman di SD. Aku merasa seperti bunga layu yang kemudian menjadi segar kembali mendapat guyuran hujan. Tapi hal itu tak berselang lama. Darius tiba-tiba juga menghubungiku, bahkan dialah yang jauh lebih sering daripada Tian. Aku sedikit kecewa.
Aku Masih Mencintainya
Tiba saat kelulusan SMP, aku dengar Tian sudah mempunyai pasangan. Tapi anehnya perasaanku tetap saja tak berubah. Dan entah mengapa teman-teman dulu di sekolah menengah pertama yang juga menjadi temanku di sekolah menengh atas sekarang mulai memusuhiku karena aku dianggap sebagai seseorang yang kejam yang tidak pernah memperhatikan perasaan Darius.
Darius, sebuah tanda tanya mengapa dia menjadi dekat dengan teman-temanku yang baru dan entah apa yang dia ceritakan. Saat itu perasaan tidak sukaku terhadap Darius justru memuncak. Setelah berkali-kali menolaknya, dengan terpaksa aku menerimanya. Awalnya aku merasa kasihan, namun di sisi lain aku mempunyai harapan agar aku bisa move on.
Harapan hanya tinggal harapan, aku bahkan merasa lebih jauh menyakiti Darius dengan menerimanya sementara perasaanku tetap tak berubah sama sekali. Di sisi lain aku juga menemukan fakta baru, bahwa Darius adalah seorang pengidap obsessive-compulsive disorder (gangguan obsesif-kompulsif).
Aku merasa hanya dijadikan sebagai sebuah obsesi yang harus ia capai dalam hidupnya, kemudian dibiarkan begitu saja setelah ia mendapatkannya. Tidak berselang lama aku memilih untuk kembali berteman saja. Tak ada balasan baik yang aku terima, teror dan berita negatif yang disebar luaskan tak hentinya selalu berkembang cukup lama.
Sekarang usiaku sudah bukan belasan lagi, tapi dua puluh tahunan. Aku merasa beruntung mempunyai keluarga yang masih mempercayaiku dengan baik. Aku mungkin menyesal pada diriku sendiri yang kala itu hanya mempertimbangkan rasa ibaku kepada seseorang. Perlahan aku juga mulai menyadari jika aku terus menyimpan perasaanku pada Tian, ini tak lebihnya aku sama dengan Darius dulu, bahwa Tian adalah sebuah objek obsesiku. Namun aku tak ingin ini berlanjut bahwa Tian akan bernasib sama seperti Darius yang menganggapku sebagai objek obsesinya.
Dengan mendekatkan diri pada Tuhan, aku merasa 9 tahun adalah waktu yang cukup untuk menyimpan Tian menjadi pink blossom yang selalu menghiasi hariku.
Duniaku kini telah menemui realitanya, sekarang langit cerah di kehidupanku bukan lagi berwarna pink blossom tapi biru turquoise dan jika mendung baru dia akan berwarna abu-abu karena diselimuti awan-awan tebal si pendatang hujan. Namun pandanganku tetap tak berubah, bahwa cinta itu tidak pernah memandang seragam atau jabatan untuk terus dipertahankan. Jika aku harus jatuh cinta lagi, aku harap Tuhan akan mempertemukanku dengan sosok yang membuatku jatuh cinta bukan dari kacamata duniawi. Aku ingin jatuh cinta seperti aku yang jatuh cinta kepada Tian karena sosok pribadinya dan kehidupannya dengan Tuhan. Amin.