Hidung kita sudah terbiasa mengenali bau-bauan yang berbeda. Misalnya, bau soto ayam, bau nasi goreng kambing, dan juga bau bangkai tikus yang telah terlindas ban mobil berhari-hari lalu. Tetapi, apakah kalian tahu, kalau pikiran pun bisa 'berbau' busuk?
Mari berkenalan dengan Dr. Bob Wright, CEO dari Wright Graduate University dan pembina program Transformational Leadership. Bob (begitulah nama panggilan saya ketika nanti sudah kenal akrab) mencoba mendefinisikan apa yang dia sebut Stinking Thinking, yaitu taktik yang digunakan dengan sengaja untuk memburamkan ekspektasi yang bisa memanipulasi situasi dan proses pengambilan keputusan. Orang-orang yang manipulatif, insecure dan power seekers; mengaplikasikan Stinking Thinking.
Nah, untuk memastikan seberapa busuk bau pikiran Anda, mari kita lihat tanda-tanda dari Stinking Thinking:
Hitam-atau-putih?
Pernahkah Anda melihat sesuatu sebagai hitam-atau-putih, dan bukannya hitam, abu-abu, dan putih? Ketika Anda selalu melihat sesuatu dari hitam-atau-putih, Anda tidak menyisakan ruang untuk proses. Misalnya, Anda sedang melakukan proses pendekatan dengan orang yang Anda suka, dan dia biasanya selalu membalas WhatsApp Anda. Tiba-tiba suatu hari, dia tidak membalasnya semalaman, dan Anda langsung merasa, “Yah, kandas deh gue. Dia berubah. Selesai sudah semuanya.”
Selalu vs. tidak pernah
Dua kata yang berbahaya untuk diulang-ulang adalah “always” dan “never”. Ketika Anda selalu mengucapkan kata-kata itu, Anda akan melihat suatu kejadian negatif sebagai kutukan permanen. Misalnya, Anda sedang kesal karena dimarahi oleh boss Anda di kantor, lalu tiba-tiba sepatu Anda menginjak genangan lumpur. Sambil marah, Anda berkata kepada diri Anda, “Kenapa sih, semua hal yang jelek selalu kejadian sama gue?”
Pilih kasih
Nah, ini yang akan terjadi ketika Anda ‘pilih kasih’ dengan suatu detil. Contohnya, Anda baru selesai melakukan presentasi di kantor, dan banyak sekali yang memuji Anda. Tiba-tiba, ada seseorang yang memberi Anda masukan dan kritik. Bukannya menjadikan itu sebagai semangat, Anda melupakan pujian-pujian yang lain dan hanya memikirkan kritik tersebut sambil berkata, “Tuh kan, gue emang nggak bagus presentasinya.”
Pikiran positif kok didiskon?
Jujur, menurut saya ini adalah salah satu tindakan paling jahat yang bisa dilakukan terhadap diri sendiri. Mendiskon pikiran positif, itu berarti Anda menolak untuk bangga atau senang dengan diri Anda sendiri. Misalnya, ketika pekerjaan Anda dipuji oleh bos, Anda malah berpikir, “Ah, semua orang juga bisa melakukan ini. Nggak ada yang spesial.” Ingat, rendah diri dan rendah hati itu berbeda.
Loncat langsung ke kesimpulan
Ingat, ini bukan papan loncat indah. Ketika tidak ada bukti untuk mendukung kesimpulan Anda, Anda akan langsung mengartikan keadaan dengan negatif. Di sini adalah saat dimana kita merasa seperti peramal atau pembaca pikiran. “Tuh kan, dia nggak ngajak ngomong, pasti dia marah deh sama gue. “ Atau, “Ah, ngapain usaha, pasti nanti juga gagal kayak biasanya.”
Kaca pembesar
Membesar-besarkan kepentingan dari masalah Anda itu juga bisa membuat pikiran Anda berbau busuk. Apalagi, kalau Anda membesar-besarkan masalah sambil mengecilkan arti dari diri Anda sendiri.
Gue ngerasa x, pasti karena y
Tenang, ini bukan soal matematika. Tetapi, hal itu terjadi kita kita mengasumsikan semua emosi negatif kita sebagai tanda dari suatu kenyataan. Contohnya, “Aduh, kok perasaan gue nggak enak ya, pasti akan ada hal buruk yang terjadi sama gue hari ini.”
Harusnya tadi gue…
Tiga kata yang bisa menjerumuskan kita ke jurang penyesalan atau rasa frustrasi. Contoh, setelah Anda menyelesaikan pekerjaan yang sangat sulit dan menyita energi Anda, Anda berkata, “Harusnya tadi gue nggak bikin kesalahan sebanyak itu.”
Terkadang, kita suka terkecoh dan mengira bahwa “Harusnya tadi gue..” adalah tiga kata yang dapat memotivasi diri. Sayangnya, yang biasa terjadi adalah sebaliknya. Kita jadi merasa malu, menyesal, dan merasa bodoh karena tidak bisa menjadi sempurna.
Memberi label
Memberi label adalah versi kelas berat dari hitam-atau-putih. Bukannya mengatakan, “Saya telah membuat kesalahan,” Anda malah berkata, “Aduh, saya adalah orang bodoh.” Contoh lain, bukannya mengatakan, “Dia adalah perempuan yang melakukan kesalahan,” kita berkata, “Dia perempuan nggak benar.”
Tanpa disadari, aktivitas memberi label ini bisa mendorong kita ke titik kemarahan, frustrasi dan rendahnya rasa percaya diri.
Ini semua salah gue
Ugh, betapa rela berkorbannya kita, ketika kita merasa semuanya adalah kesalahan dan tanggung jawab kita. Ya, saya barusan sedikit sarkastik, tetapi proses menyalahkan ini sangat sering terjadi. Contoh, ketika seorang ibu mengetahui bahwa anaknya mendapat nilai jelek di sekolah, ia berkata, “Ini semua salah saya, saya adalah ibu yang gagal.” Memang terdengar ekstrim, tetapi kalau Anda mencoba mengamati diri Anda dan orang-orang di sekitar Anda, hal ini lazim terjadi. Atau, ada juga orang-orang yang selalu menyalahkan orang lain, dan menolak bertanggung jawab. Dua hal ini tidak ada yang sehat, karena proses menyalahkannya lah yang akan membuat kita cepat lelah dan marah.
Anda merasa sedikit tertampar? Jangan kesal dulu (tuh kan sudah mulai diselimuti Stinking Thinking No.11), ini berguna untuk bahan kontemplasi Anda untuk menjadi manusia modern yang lebih baik. Siapa tahu kalau kita berhasil mengontrol diri dari Stinking Thinking, pikiran kita akan ‘berbau’ harum dan segar seperti seprai yang baru keluar dari laundry?
(vem/setipe/yel)