Kisah ini dikirim oleh Chaerun Nissa dan menjadi salah satu pemenang tambahan dalam Lomba Kisah Aku dan Ayah.
***
Jauh sebelum saya mengerti apa arti perjuangan, laki-laki itu sudah melewati semuanya.
Saya memanggilnya dengan sebutan papa. Sebutan kedua yang bisa diucapkan seorang bayi setelah mama.
Saya Icha 25 tahun, karyawati di perusahaan swasta sebagai auditor. Sejauh ini saya masih menyimpan impian menjadi designer muslim yang sukses dunia akhirat. Sedikit cerita, tak mudah menjalani profesi yang tak sesuai dengan cita-cita, apalagi sebagai auditor yang sering mengkritik orang lain agar bekerja sesuai aturan. Setiap waktu saya sadar sering menjadi sasaran kebencian banyak orang. Kadang ingin saya berhenti dan mengejar impian, tetapi saya selalu melihat ijazah dan teringat semua tentang papa. Bercerita tentang papa, bagiku papa adalah pahlawan keluarga yang hebat sejak dulu.
Sejak Kecil Papa Sudah Berjuang Untuk Dirinya Dan Keluarga
Ada kisah masa kecil papa yang kudengar sesekali. Saat masuk ke sekolah dasar kelas 1, usia papa sudah 10 tahun. Papa baru masuk SD bersama adiknya yang 4 tahun lebih muda. Hal itu tidak membuat papa merasa risih atau malu. Papa mengurus semua administrasi dan biaya sekolah seorang diri sampai tamat SMA. Untuk urusan SPP, papa membayarnya dari uang jajan yang ia kumpulkan sehari-hari.
Papa bukan anak yatim piatu, hanya saja saat papa masih kecil, kakek lebih fokus kepada anak dari istri yang lain. Namun hal itu tidak membuat semangat sekolah papa menurun, beliau tetap ingin meraih pendidikan tinggi untuk masa depannya. Meski tak menjadi juara kelas seperti adiknya, papa selalu menjadi murid kebanggaan guru-guru di sekolah. Hingga saat memasuki sekolah Menengah, Papa terkenal sebagai remaja yang aktif organisasi dan bersikap santun.
Sayang, keberuntungan tak berpihak pada Papa. Dia tak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Papa memilih menjadi buruh pabrik agar adik-adiknya tetap bisa sekolah.
Sedikit potongan kalimat yang saya ingat dari papa hingga kini..
Tidak peduli seberapa besar impianmu, yang lebih penting adalah seberapa besar keinginanmu untuk mewujudkan impian itu.
Setiap kali saya merasa terpuruk untuk mengejar impian, saya selalu mengingat kata-kata papa. Saya sadari, semua upaya mengejar impian saya tak sebanding dengan perjuangan papa untuk meraih impiannya. Impian papa sederhana namun besar, yaitu melihat anak-anaknya mengenyam bangku pendidikan yang lebih tinggi darinya. Beruntung, papa berjodoh dengan wanita yang sabar dan penuh pengertian.
Saya Adalah Anak Perempuan Kesayangan Papa
Papa tak pernah sekalipun memarahi saya, apalagi membentak. Kalaupun marah, hanya matanya yang melotot lalu mendiamkan saya sejenak. Beberapa jam kemudian sikap papa sudah mencair kembali. Papa lebih suka jika anaknya mengerti kesalahan yang telah dilakukan daripada harus menarik urat untuk marah.
Sikap papa pada saya berbeda kepada kakak perempuan saya, papa bisa lebih tegas kepadanya. Mungkin karena itulah, kakak sering bilang bahwa saya anak kesayangan papa. Saya memang lebih suka curhat dengan papa dibandingkan ke mama. Meskipun papa jarang memberikan saran dan masukan, tapi bagi saya, papa adalah pendengar yang baik.
Pernah terbesit dalam pikiranku untuk mencari calon pendamping yang seperti papa. Papa bukan tipe pria romantis, dia tidak pernah mengucapkan kata cinta ke mama. Menurut papa, romantis itu tak selalu identik dengan memberikan bunga dan rayuan mesra. Cukup dengan bertanggung jawab untuk bisa membahagiakan orang yang dicintai, maka itulah bukti cinta.
PHK di Tahun 1998 Menghantam Kehidupan Keluarga Kami
Selama ini, saya tidak pernah melihat papa menangis. Bahkan saat papa pulang dalam kondisi babak belur, papa masih bisa menunjukkan senyum kecil dihadapan keluarganya. Keruntuhan rezim Suharto di tahun 1998 membawa perubahan besar dalam kehidupan keluarga saya. Papa kena PHK dan kami sekeluarga mengalami masa-masa sulit. Kondisi kami sangat memprihatinkan hingga saya beserta kakak dan adikku hanya bisa makan nasi dan kerupuk.
Sulit bagi papa mencari pekerjaan pengganti karena jenjang sekolah yang tak begitu tinggi. Namun papa tak menyerah, hampir semua pekerjaan kasar papa lakukan untuk menghidupi kami semua, mulai dari bantu-bantu di warung tetangga sampai menjadi tukang minyak keliling Papa lakukan sebagai bukti tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Hampir setiap hari saya melihat mama menangis karena tidak kuat menjalani kondisi kehidupan yang makin terpuruk. Hutang di Bank yang semakin membumbung tinggi membuat mama putus asa untuk menjalani kehidupan. Namun, papa tidak pernah menunjukkan kesedihannya. Papa tetap yakin bahwa semua ini akan berakhir bahagia seperti film-film Hollywood.
Seberapa besar masalah yang kita punya, percayalah semua pasti ada hikmahnya. Tidak perlu takut ataupun ragu. Kembalikan semuanya kepada Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa.
Dan itu memang benar. Roda kehidupan akhirnya berputar lagi setelah Kakakku mulai membantu perekonomian keluarga. Kini saya percaya perkataan Papa bahwa ada campur tangan Tuhan dalam setiap ujian yang dihadapi.
Akhirnya Saya Melihat Papa Sedih Untuk Pertama Kalinya
Setelah berusia 23 tahun, untuk pertama kalinya saya melihat papa bersedih. Ada gurat kekhawatiran di wajah papa, bibirnya gemetar saat seorang pemuda di hadapannya mengucap janji setia. Pemuda itu datang untuk membawa putri kesayangan papa menuju mahligai cinta. Mata papa terlihat berkaca-kaca. Dari kejauhan saya terus memandanginya. Rasanya saya tak mampu untuk pergi jauh dari papa.
Saya tahu, papa sedih bukan karena takut kehilangan saya, tetapi karena papa khawatir, akankah anak perempuannya bahagia bersama dengan pemuda pilihannya sendiri? Meski tak pernah terucap sekalipun dari bibirnya, saya tahu papa sangat menyayangi saya, dan saya pun sangat menyayanginya.
Saya akan melanjutkan perjuanganmu, pa. Meski dengan cara yang berbeda, dan jalan yang tidak kau izinkan sebelumnya. Saya yakin dan pasti bisa membuatmu bangga.
Saya akan melanjutkan perjuangan untuk menyekolahkan adik-adik seperti impianmu dahulu. Seperti impian kita bersama, di senja hari itu.
(vem/yel)