Sepenggal Kisah Aruna Dan Petisi Kasus Kekerasan Seksual Raja Solo

Fimela diperbarui 14 Nov 2014, 20:10 WIB

Beberapa bulan lalu, masyarakat dikejutkan dengan berita kasus kekerasan seksual yang mengguncang kota Solo dan Keraton Surakarta. Sang korban bernama AT (16 tahun), melaporkan kasus kekerasan seksual yang melibatkan Raja Keraton Kasunanan Surakarta Pakubuwono (PB) XIII Hangabehi. Kasus ini seperti berjalan di tempat, bahkan pemeriksaan terhadap sang raja harus mundur akibat stroke yang dideritanya.

Dari banyaknya berita yang beredar dan mandeknya kasus ini, Ninin Damayanti, seorang penulis, jurnalis dan inisiator Break the Silence Indonesia menuliskan kisahnya saat bertemu dengan AT beberapa waktu lalu. Inilah sepenggal kisah yang kami rangkum dari blog pribadi milik Ninin Damayanti.

***

Aku merinding hebat. Pertemuan dengannya siang itu tidak pernah kuduga. Bahkan kalau memungkinkan, aku tidak ingin berjumpa dia. Aku tidak sanggup. Dia masih sangat belia. Kulitnya kuning langsat, rambutnya ikal panjang. Senyumnya kenes sekali. Tapi matanya. Aku tidak bisa melihat matanya. Mata itu menyiratkan luka.

Aku langsung memeluknya lalu kuajak duduk. Dia memilih kursi di ujung meja. Tubuhnya mungil, tapi perutnya besar karena mengandung janin delapan bulan. Aku membantunya menarik kursi. Agak kesulitan dia. Saat kutemui di sebuah hotel di pusat kota Surakarta, dia baru bangun tidur. Kelelahan sepulang dari kantor Kepolisian Resort Sukoharjo, Jawa Tengah. Dia menengok ke seorang perempuan berjilbab coklat yang tadi mengikutinya keluar dari kamar. “Bude, aku lapar. Minta roti.” Seperti dikomando, perempuan berjilbab coklat itu bergegas pergi, membeli roti.

Kami berempat duduk menemani. Aku, dua pengacara, dan seorang  perempuan aktivis bernama Lusi.  “AT, kenalkan. Mbak Ninin dan Mbak Lusi. Mereka berdua ini juga mbakmu,” kata Iwan Pangka, menunjuk aku dan seorang teman. “Kamu capek?” tanya Iwan. Dia hanya tersenyum malu. Mengangguk pelan.

Bang Iwan memanggil AT. Tapi aku ingin memangggilnya Aruna. Nama putera Dewi Winata dan Bagawa Kashyapa. Dalam bahasa Sansekerta nama ini berarti bersinar kemerahan. Seperti sinar merah mentari di ufuk timur pada pagi hari.

“Kamu sehat?” Akhirnya aku berani bersuara. Sial. Suaraku bergetar. Ternyata, bertemu perempuan korban perkosaan tidak semudah yang kukira. Aku pikir aku bisa. Ternyata sulit sekali. Aku mencoba berjarak, tidak terbawa emosi. Tapi mata gadis itu membuatku beku. Lagi, dia tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan.

Bang Iwan melawak memecah kebisuan. Dia mencoba tertawa. Tapi gelaknya hanya sekejap. Bahkan nyaris tanpa suara. Lebih banyak diam dan termenung atau memandang lurus ke arah salah satu dari kami.  Bukan. Bukan memandang ternyata. Tapi menerawang. Sesekali tangannya memainkan ujung kaos lengan panjang berwarna biru gelap.

Matanya tidak bisa menyembunyikan kejadian laknat di sore itu. Hari ketika dia direnggut dari mimpi yang paling indah. Mimpi bekerja di dunia perhotelan dan mimpi menjadi fotografer profesional. Usianya masih sangat belia, 16 tahun. Siswi kelas 1 SMK jurusan perhotelan. Tapi dia mengandung anak yang tidak dia inginkan. Diduga, anak seorang Raja Kasunanan Surakarta: Pakubuwono XIII Hangabehi.

Maret 2014. Gadis remaja itu kebingungan harus membayar uang sekolah yang sudah menunggak tiga bulan dan melunasi uang ujian semester. Dia, bungsu dari 10 bersaudara. Bapaknya seorang tukang becak sekaligus buruh kasar di kota kecil Surakarta. Ibunya sudah meninggal dunia. Aruna lalu menemui teman semasa SMP bernama Yessy. Dia minta dicarikan pekerjaan. Temannya menyanggupi. Seminggu kemudian, Aruna mendapat kabar. “Sinuhun mau memberimu uang,” kata Yessy. Aruna gembira bukan kepalang.

Pada suatu siang sepulang sekolah, dia dijemput dari rumah. Aruna membonceng sepeda motor milik Yessy. Rupanya, seorang perempuan bernama Wati sudah menunggu di Tugu Lilin. “Kamu nanti ikut saja apa maunya Sinuhun ya?” kata Wati. “Oh iya, kalau ditanya, namamu Putri.”

Wati menelpon seseorang. “Ini sudah ditunggu di tempat biasa.” Tak lama, sebuah mobil berwarna putih menghampiri mereka. Aruna disuruh masuk dan duduk di depan. Di dalam mobil ada seorang lelaki gaek berusia kurang lebih 60 tahun. Rupanya dia yang dipanggil Sinuhun. Tidak ada orang lain. Hanya mereka berdua.

“Namamu siapa?”

“Putri”

Sinuhun menyodorkan sebuah permen berwarna putih tanpa bungkus. Aruna mengulurkan tangan tanpa curiga, memasukkan ke dalam mulut. Permen rasa mint. Seketika dingin menyergap rongga mulut dan tenggorokan. Tapi yang tersisa di lidah hanya rasa pahit obat.

Setelah menyecap permen itu, Aruna mengantuk. Juga pusing. Sementara, mobil yang ditumpanginya sudah tiba di Hotel Mulia karena jaraknya hanya 15 menit dari Tugu Lilin. Dia dibantu turun oleh Sinuhun. Di tangga, tubuhnya tak kuat lagi menahan kantuk dan pusing. Dia ambruk. Yang Aruna ingat, dia dibantu seorang petugas hotel masuk ke kamar.

Entah apa yang terjadi di kamar hotel sore itu. Aruna tidak tahu. Aruna tidak sadar.

Petang datang. Semburat ungu-jingga menyelinap dari balik jendela kamar. Aruna terbangun dari tidur yang lelap. Sinuhun yang membangunkan. Dia heran, kenapa dia tanpa busana? Heran belum juga hilang,  dia merasa ingin sekali ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Sinuhun memotret tubuh Aruna yang masih telanjang bulat dengan kamera ponsel. Sudah itu, Aruna berpakaian.

Aruna tidak tahu. Aruna tidak sadar.

Dia diantar kembali ke Tugu Lilin. Di sana, rupanya Yessy dan Wati masih menunggu. Sinuhun memberikan segepok uang, Rp 2 juta. Wati yang menerima.  Aruna tidak tahu menahu transaksi itu. Lalu, mereka pergi ke rumah Yessy. Di sana, Aruna diberi uang Rp 700 ribu.  “Abis ini kamu beli jaket ya?” kata salah satu dari mereka. Jaket itu kini disita polisi jadi barang bukti.

Dua bulan kemudian,  Aruna heran apa yang terjadi dengan tubuhnya. Dia telat datang bulan. Vaginanya keputihan hebat. Belum lagi ruam merah muncul di dada dan perutnya. Tubuhnya dipenuhi bintik-bintik merah. Herpes. Panik, dia bercerita pada teman dekatnya. Mereka memutuskan membeli alat tes kehamilan. Positif. Aruna bingung bukan kepalang. Yessy menghilang entah kemana. Aruna juga “hilang”. Gadis yang senyumnya kenes sekali itu menegak ciu. Tidak tanggung-tanggung, dua liter sekaligus. Dia mencoba mati.

“Nduk”

Yang dipanggil tidak mendengar. Dia melamun.

“Nduk!”

Aruna menoleh. Dia tersenyum lebar. Pesanannya sudah datang. Donat rasa cokelat dan keju.

“Abis ini jalan-jalan ke mall yuk.”

Dia beringsut pelan dari kursi. Tubuh mungilnya tak kuat menahan perut yang semakin besar. Dia memandang manja pada Bude, tangannya menggapai meminta tolong. Bude tahu apa yang dia mau. Perempuan itu menyambut tangannya, memeluk tubuhnya, dan membantu Aruna beranjak. Mereka pergi meninggalkan hotel, menuju Solo Grand Mall yang letaknya bersebelahan dengan hotel.

“Dia harus didampingi psikolog. Trauma sekali dia,” kata Mbak Asri Purwanti, pengacara. “Masalahnya, polisi itu seperti menghambat kami. Mempermalasahkan surat kuasa, berdebat soal pendampingan psikologis. Polisi gak tahu kalau korban kekerasan seksual itu perlu penanganan khusus,” Iwan menambahkan. Tim pengacara sudah meminta bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk ikut mendampingi bersama seorang psikolog. (Ralat: Atas permintaan narasumber, dia menolak namanya disebutkan)

Sejak kasus dilaporkan akhir Juli lalu, Aruna dan keluarganya sudah bolak-balik ke kantor polisi memberikan kesaksian. Wati yang kabur ke Pasar Minggu rupanya sudah ditahan. Kata polisi, masa penahanan Wati sudah hampir habis. Polisi berkilah, kesaksian Aruna diperlukan untuk mempercepat berkas Wati agar bisa dilimpahkan ke Kejaksaan. “Loh itu kan bukan urusan kami. Itu urusan polisi,” kata Iwan dengan nada tinggi.

Bagaimana dengan Sinuhun? “Belum dimintai keterangan,” jawab Asri. “Bahkan dalam status sebagai saksi pun belum pernah.” Tim pengacara khawatir, polisi hanya akan membidik Wati masuk penjara. Sementara si pelaku, Raja Kasunanan Surakarta, tidak tersentuh.

Pekan lalu, kepada wartawan, Kapolres Sukoharjo AKBP Andy Rifai mengatakan sudah mengirim surat pemanggilan pertama kepada Pakubuwono XIII Hangabehi. “Jika dalam dua kali pemanggilan tidak datang, kami harus melakukan pemanggilan paksa.” Nyatanya, Sinuhun tidak pernah datang. Belum diketahui, apakah surat panggilan kedua sudah dikirimkan.

Kami masih mengobrol di lobi hotel ketika Aruna pulang dua jam kemudian. Anak-anak rambut di kening terlihat basah karena keringat. Dia meringis sakit. Kedua tangan Aruna memegang pinggulnya yang mungil. Pinggul yang belum siap menahan beban seorang bayi. Tidak tahan, dia berjongkok di tengah lobi. Bude memanggilnya ke kamar. Aruna berdiri, berjalan sambil menyeret kaki.

Aku, Lusi dan Bang Iwan memutuskan pulang. Kami menyambangi kamarnya. Tok.. tok.. tok..

“Aruna … ”

Ternyata Bude yang membuka pintu. Aruna sedang tiduran di ranjang, bergegas bangkit.

“Sini, Aruna,” aku memanggilnya.

Aku memeluk dia erat. Lama sekali. Kucium  pipi kanan dan kiri. Kubelai rambut Aruna yang ikal. Ah, lagi-lagi aku tidak kuat melihat mata itu. Mata yang menyiratkan luka.

“Jadi perempuan harus tangguh. Harus kuat. Nduk Ayu, kamu pasti bisa.” Suaraku masih bergetar

“Kamu bisa jadi fotografer. Bisa. Pasti bisa!” Lusi memberi semangat.

Mendengar kata-kata Lusi, dia tersenyum lebar. Sekelebat aku melihat sinar mata itu sempat berbinar. Sesaat. Tapi padam lagi.

Aku melangkah meninggalkan hotel dengan kaki lemas. Mataku panas menahan air mata jatuh sesiangan tadi. Ah, entah kapan aku bisa melihat kedua matamu itu bersinar seterusnya. Kamu pasti bisa, Aruna. Bersinar seperti matahari pagi.

 

Yogyakarta, 4 Oktober 2014.

 

***

Ninin Damayanti tidak sekedar menuliskan pertemuan singkat dengan Aruna. Sebuah petisi digulirkan agar kasus ini segera ditangani. 

UPDATE TERBARU:

Dalam blog nagaketjil.com, Ninin Damayanti menuliskan bahwa pihak keluarga membuat laporan baru ke Polres Sukoharjo dengan terlapor PB XIII. Karena itu petisi Raja Solo yang dibuat sebelumnya dicabut sebab dirasa tidak perlu. Kita doakan saja semoga proses hukum berjalan dengan baik. Ninin Damayanti juga menuliskan dalam blognya ucapan terima kasih atas dukungan yang diberikan.

Kita doakan juga semoga Aruna tetap kuat dan tabah. Agar tetap ada sinar terang untuk masa depannya yang masih pajang, juga untuk bayinya.

Terima kasih kepada mbak Ninin Damayanti atas kesediaannya membagi tulisan ini untuk Vemale.com. Tulisan yang sama bisa Anda baca di blog milik Ninin Damayanti, nagaketjil.com, Gadis Bernama Aruna.

(vem/yel)