Fimela.com, Jakarta Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sejak tahun 2001, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama organisasi masyarakat sipil menggelar Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang setiap tahunnya diperingati mulai 25 November sampai 10 Desember.
Bertepatan dengan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2018 ini, Komnas Perempuan menemukan banyak pengaduan dan kasus kekerasan seksual yang tidak tertangani dan terlindungi, karena ketiadaan payung hukum yang dapat memahami dan memiliki substansi yang tepat tentang kekerasan seksual.
Ada tiga tren kekerasan seksual yang mencuat di media menjelang peringatan Kampanye Internasional 16 Hari Anti Kekerasan, berikut ulasannya.
Pertama, kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan. Penyelesaian kasus yang dialami oleh seorang mahasiswi UGM, menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih dianggap bukan pelanggaran berat di kalangan civitas akademik dan belum ada prioritas pemulihan bagi mahasiswi.
Kedua, tidak dikenalinya kekerasan seksual yang melatarbelakangi kasus pelanggaran Pasal 27 ayat(1) jo Pasal 45 UU ITE (dalam hal ini kasus Ibu Baiq Nuril di Mataram), sehingga perbuatan merekam dan dapat membuat akses orang lain atas dokumen elektronik yang dilakukan Ibu Baiq Nuril tidak dilihat sebagai akibat upaya membela dirinya sendiri atas kekerasan seksual secara verbal yang dialaminya. Kondisi tersebut menggambarkan sistem hukum belum menjamin perlindungan bagi perempuan dari kekerasan seksual. Sistem hukum saat ini menunjukkan minimnya perlindungan terhadap korban dan pelanggengkan impunitas kepada pelaku.
Ketiga, tren kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber. Akhir tahun 2017 yang lalu, terdapat 65 kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya tercatat yang dilaporkan korban ke Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. Bentuk kekerasan yang dilaporkan cukup beragam dan sebagian besar masih dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban, seperti pacar, mantan pacar, dan suami korban sendiri.
Luasnya akses dalam ranah dunia maya juga memungkinkan adanya pihak lain yang menjadi pelaku kekerasan, seperti kolega, supir transportasi online, bahkan orang yang belum dikenal sebelumnya (anonim). Umumnya, korban berasal dari Jabodetabek atau kota-kota besar di Indonesia dan pada beberapa kasus melibatkan pelaku dengan kewarganegaraan asing atau berlokasi di luar negeri. Hal ini menunjukkan kejahatan cyber bukanlah bentuk kekerasan terhadap perempuan biasa, namun juga kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah.
Grafik dan diagram di bawah ini memperlihatkan bahwa pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya terbanyak dilaporkan pada bulan Februari hingga Desember, dengan jenis recruitment, malicious distribution, ilegal content dan cyber harrashment memiliki jumlah terbanyak kekerasan yang dialami perempuan korban.
10 pengaduan kasus PRT dan pekerja migran perempuan
Pada tahun 2017, Komnas Perempuan menerima 10 pengaduan kasus PRT dan pekerja migran perempuan yang menjadi korban perdagangan orang, dengan disertai kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kriminalisasi. Para korban diperdagangkan di dalam negeri (wilayah Indonesia) dan di luar negeri untuk tujuan eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual hingga dugaan penjualan organ tubuh.
Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperlihatkan pada 2015 terdapat 18 kasus pekerja migran yang mengalami pelecehan seksual. Data lain yang juga mengkawatirkan dapat dilihat dari Balai Pelayanan Kepulangan TKI Selapajang Tangerang yang mencatat bahwa kasus pelecehan seksual terhadap pekerja migran selama 2008-2014 mencapai 11.343 kasus, dengan rincian 1.889 (2008), 2.518 (2009), 2.978 (2010), 2.186 (2011), 1.202 (2012), 477 (2013), 93 (2014, hingga September).
Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual
Komnas Perempuan telah mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, guna memutus mata rantai kekerasan seksual dan menghadirkan pemulihan korban. Namun, Panja Komisi 8 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR RI terkesan memperlambat pembahasan dan pengesahan di DPR.
Tidak sensitifnya Panja terkait kekosongan hukum dalam melindungi masyarakat khususnya perempuan dari kekerasan seksual ini mengakibatkan hingga saat ini proses hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual hanya berpegang pada KUHP dan KUHAP, yang tidak mampu memberi perlindungan secara utuh bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Hal ini menjadi hambatan bagi akses keadilan korban, ditengah terus meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Tren kekerasan seksual yang semakin hari semakin meningkat, meyakinkan kebutuhan payung hukum RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan guna melindungi kelompok rentan dari kekerasan seksual, maka Kampanye Internasional 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai momentum penting dalam mengaktualisasikan jaminan perlindungan.
Untuk itu Komnas Perempuan mendesak:
1.Eksekutif dan legalislatif untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan tidak mengabaikan hal-hal prinsip terkait pencegahan, hukum acara pembuktian, pemulihan dan perlindungan hak-hak korban.
2. Presiden Republik Indonesia agar memberikan arahan kepada Pemerintah untuk memperhatikan kasus kekerasan seksual dalam proses penyusunan payung hukum agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibahas dan disahkan memiliki ketepatan substansi untuk membangun, menjaga, memelihara dan membantu ruang-ruang pengaduan untuk penanganan dan pendampingan korban kekerasan seksual dengan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kapasitas yang memadai.
3. Masyarakat untuk secara terus menerus mengawal proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual termasuk juga melakukan kampanye #GerakBersama "Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan" termasuk terlibat dalam mencegah kekerasan pada orang-orang dekat di ranah personal, domestik, komunitas maupun Negara.