Jacob Bolotin, Dokter Pertama Yang 'Melihat' Dengan Hati

Fimela diperbarui 13 Jun 2014, 18:30 WIB

Untuk menjadi seorang dokter, dibutuhkan lebih dari kepandaian dan kemampuan membantu mengobati orang. Sebuah passion dan niat baik memberikan pertolongan dengan tulus adalah bekal sempurna yang akan mampu membantu menyelamatkan banyak jiwa.

Sebuah kisah inspirasi kali ini datang dari Chicago. Seorang anak imigran Polandia yang miskin, lahir tahun 1888 di Chicago. Sejak kecil Jacob sudah buta. Keluarganya membawa gen yang menyebabkan tiga dari tujuh saudaranya termasuk Jacob mengalami kebutaan sejak lahir.

Tak ada kata tak bisa untuk semua hal yang ada di dunia ini. Sekalipun indera penglihatan tak berfungsi dengan baik, Jacob masih bisa mengenali orang melalui aroma mereka, ia juga belajar braille dengan tekun. Setelah lulus dari sekolah berkebutuhan khusus, Jacob bekerja sebagai salesman dan menjajakan kuas serta mesin ketik di dalam kereta api jurusan Chicago. Jauh di dalam lubuk hati Jacob, ada sebuah impian yang tertanam di dasar, sebuah mimpi besar untuk menjadi seorang dokter.

Berulang kali mengalami penolakan

Dianggap tak memenuhi persyaratan, berulang kali Jacob mencoba masuk universitas kedokteran, langkahnya selalu terganjal. Sebagian besar perguruan tinggi memang tidak bersedia menerima siswa tunanetra, apalagi untuk jurusan penting seperti kedokteran.

Namun siapa sangka keajaiban bisa terjadi, suatu hari, Jacob berhasil masuk ke sebuah perguruan tinggi, Chicago College of Meidicine. Dengan ketekunannya, Jacob belajar seperti halnya para dokter pada umumnya. Mereka yang awalnya meremehkan Jacob, belajar hal yang sangat besar saat itu.

Jacobpun kemudian lulus pada usia 24 tahun. Ia menjadi dokter tuna netra pertama dengan lisensi physician.

 

Sepak terjang Jacob Bolotin

Jacob adalah dokter yang mencintai belajar, ia mendalami penyakit jantung dan paru-paru. Karena tak bisa melihat pasien, ia mengandalkan jari dan telinga dalam memberikan diagnosa pasiennya.

Selama ia magang di rumah sakit Frances Willard, seperti dilansir ListVerse.com, ia mampu mendiagnosa seorang wanita muda yang memiliki masalah katup jantung yang terhambat hanya dengan meraba kulit dan merasakan detak jantungnya. Diagnosanya jitu, dan inilah yang membuat Jacob cukup disegani.

Ia pun kemudian melakukan perjalanan melintasi Midwest untuk memberikan seminar dan ceramah soal kebutaan.

Sayangnya, Tuhan berkehendak lain. Di usia yang masih muda, 36 tahun, Jacob meninggal dan menyisakan nama besar nan harum. Pemakamannya menarik simpati banyak orang, bahkan 5.000 pasien yang pernah dirawatnya menghadiri pemakaman dengan penuh haru.

(vem/bee)
What's On Fimela