Oleh: Winda Carmelita
Ladies, perjuangan orang tua memang tak pernah ada habisnya untuk keluarga, terutama untuk anaknya. Tak sedikit di antara kita yang mesti merasakan pahitnya kehidupan hingga harus bekerja keras untuk menyambung hidup. Namun semangat dan kerja keras orang tua bagi kita memang tak terbatas. Itulah yang namanya cinta sejati, bukan?
Tim Vemale ingin berbagi cerita dengan Anda tentang perjuangan dan pengorbanan orang tua agar anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Seperti yang dituturkan oleh sahabat Vemale berikut ini.
***
Sebut saja namanya Pak Mardi, saya tak begitu mengenal namanya karena beliau saya kenal sekilas saja ketika masih kuliah. Penampilannya bersih dan rapi dan berperawakan tinggi besar berkulit coklat. Ia selalu mengenakan kemeja, jaket lusuh, celana jeans, sandal dan bertas pinggang.
Hampir setiap hari saya bertemu dengannya di depan teras halaman gedung fakultas. Ia bukanlah dosen maupun karyawan di fakultas saya. Ia tak pernah membawa tas dan buku-buku seperti lazimnya penghuni fakultas ini.
Setiap siang, ia muncul dengan 3 boks besar plastik berwarna putih. Duduk di tangga teras, seringkali ia mengusap keringatnya.
"Non, roti goreng, Non!" ujarnya.
Saya dan teman-teman sering berkerumun mengelilinginya. Satu-dua kue yang dijajakan Pak Mardi berganti tangan masuk ke dalam kantong-kantong plastik. Bahkan kami pun kadang menghabiskan kue buatan Pak Mardi tanpa sempat memasukkannya ke dalam plastik saking laparnya.
Datangnya Pak Mardi bagaikan surga bagi kami yang waktu itu belum punya kantin. Favorit saya adalah kue weci goreng dan tahu isi plus cabe dan sambal petis. Nyam!
Suatu hari, saya tidak melihat kedatangan Pak Mardi. Hingga keesokan harinya, Pak Mardi muncul saat saya dan seorang teman duduk mengisi waktu luang sebelum masuk kelas.
"Lho, Pak, kemarin kok nggak datang?" tanya saya.
"Wah iya Non, kemarin anak saya terima rapor. Saya disuruh ke sekolahnya," ujar Pak Mardi.
"Ooo.. Gimana hasilnya Pak?" tanya teman saya.
"Alhamdulillah, Non, bagus. Rangking. Sebentar lagi mungkin bakal kuliah di sini juga," ujar Pak Mardi bangga. "Kemarin sudah keterima jalur prestasi, Non. Katanya bebas biaya masuk, dapat beasiswa."
"Wih selamat ya, Pak!" ujar kami bersamaan.
"Iya, makasih, Non. Kalau nggak begini mana bisa anak saya kuliah. Wong saya cuma jualan kue begini, duitnya dari mana. Ya untungnya anak saya itu mau ngerteni bapak e, ndak pernah isin bapak e dodolan jajan gini(Untungnya anak saya itu mau mengerti bapaknya, tidak pernah malu bapaknya jualan kue begini)."
"Wah iya, Pak, nggak boleh malu dong, kan Bapak jualan juga demi keluarga dan yang penting dapat duitnya halal ya, Pak," timpal saya.
Seketika itu saya teringat orang tua saya. Barangkali keluarga saya memang lebih beruntung karena tak perlu kerja sedemikian keras untuk menyekolahkan saya. Namun, teringat ketika saya memaksakan ingin punya ini-itu, beli ini-itu... padahal barangkali apa yang diberikan orang tua kita adalah apa yang mereka punya seluruhnya untuk kita..
***
Saat kita masih kecil, mereka membimbing kita. Kini ketika dewasa, bagaimana kita membalas kasih dan sayang orang tua kita? Tak ada cinta yang lebih besar daripada cinta Tuhan kepada manusia dan cinta orang tua kepada anaknya. Apakah Anda pernah merasakannya?
"No love is greater than mom’s love .No care is greater than dad’s care"