Arti Rumah Bagi Ayah

Fimela diperbarui 22 Nov 2013, 17:05 WIB

Saya percaya bahwa keluarga adalah hal yang penting dan harus saya prioritaskan. Namun saya juga harus mengejar mimpi yang saya miliki. Lalu, saya memutuskan untuk keluar dari rumah.

Namun tidak, tidak hanya itu alasan saya keluar dari rumah. Mungkin boleh dibilang, saya lari dari stressor yang berpotensi memperpendek usia. Saya tidak mau stres dengan masalah di rumah, saya ingin waktu saya lebih banyak untuk bahagia.

Sementara itu, di rumah saya memiliki seorang ayah yang sudah ditinggal mati oleh ibu dan ditinggal menikah oleh kakak perempuan saya. Ayah sangat cinta pada ibu, beliau mengatakan bahwa dia tak akan pindah dari rumah atau pindah ke lain hati. Dan yang menjadi masalah di antara kami adalah keinginan-keinginan beliau agar saya menikah, melanjutkan S2, jadi pegawai negeri dan sebagainya.

Jujur, saya bosan dengan spekulasi kami setiap hari. Kadang ayah juga membicarakan anak tetangga. Baiklah, saya mengerti bahwa dia sedang memperlihatkan cermin keinginannya. Namun saya katakan, "Maaf, Ayah. Aku ingin mengejar mimpiku."

***

Lalu ayah menunduk dan merelakan saya. Saya ingat dia bilang bahwa hidup memang cuma sekali dan saya harus gunakan sebaik-baiknya. Namun ada tambahannya. Versi ayah, saya sebaiknya mengikuti anjurannya. Versi saya, justru karena hidup hanya sekali, saya harus mengejar mimpi. Saya merasa terhambat bila setiap hari menelan spekulasi ini.

Ke luar kota, adalah jalan yang terbaik. Dan saya memang tak menyesal. Ada banyak pribadi yang saya kenal dan mengesankan. Meski tak sedikit gaya hidup yang hanya pencitraan. Saya bekerja di kota besar, di salah satu gedung pencakar langit yang juga mencakar-cakar saya sehingga saya lebih tahan banting menghadapi orang-orang di kota keras ini.

Saya juga sangat sibuk. Boleh dibilang saya hidup di kantor-kos-kantor-kos. Ayah sering sms dengan gaya formalnya, "Jangan lupa makan." atau "Jaga kesehatan." Dan seringkali, saya melewatkan kesempatan untuk mengangkat teleponnya dan mendengar suaranya. Kadang-kadang, mungkin ini juga merupakan cara saya melarikan diri.

Pada pertengahan tahun ini, saya mendadak pulang karena ayah sakit dan masuk rumah sakit. Saya mampir cuma sebentar ke rumah sakit karena kakak mimta saya pulang sembari mengambil keperluan selama opname. Dia berpesan agar saya membawakan selimut kesayangan beliau. Ayah juga masih dirawat intensif dan saya belum sempat melihat wajahnya.

Saya naik taksi ke rumah. Sepanjang perjalanan habis saya gunakan untuk berpikir tentang segala hal yang mendadak. Minta ijin mendadak, cuti mendadak, dan persiapan yang nanti harus saya bawa. Saya saja hanya sempat tidur di pesawat kurang dari 30 menit.

Sesampainya di rumah, saya membuka pintu. Bau khas rumah saya, ruang tamu dingin dan sepi. Lalu saya langsung masuk ke kamar, namun entah mengapa saya langsung masuk kamar ayah dan berbaring di sana. Kamarnya agak berantakan, sepertinya karena tadi ayah jatuh di kamar ini dan orang-orang menolongnya.

Ayah... tinggal sendirian di dalam rumah ini. Tidur sendirian juga di sini. Kenapa ayah betah sekali di sini? Sementara setelah ditinggal ibu, saya merasa kurang betah dan ingin keluar dari rumah. Ahh... saya capek sekali. Saya ingin berbaring dulu dan memejamkan mata di sini. Dulu ini juga kamar saya, saat saya belum berani tidur sendiri.

***

Tertidur sekitar 1 jam, setelah Maghrib, saya kembali ke rumah sakit. Membawa baju dan beberapa keperluan, serta selimut yang diminta kakak. "Kenapa sih kak, kok nggak ganti selimut saja?" tanya saya.

Kakak membawa saya keluar kamar di mana ayah saya dirawat. Oh iya, ayah sudah lewat masa kritis, dan perlu banyak istirahat. Di luar kamar, kakak saya mengajak duduk sambil ngobrol. Kakak bilang sepertinya ayah kangen dengan anak-anaknya. Di sana, di rumah itu.

"Kakak ajak ke rumah kakak saja, ayah tidak mau," cerita kakak perempuan saja. Hidungnya masih agak merah karena tadi menangis cemas tentang ayah saya.

"Kenapa?" tanya saya.

"Ayah bilang, dia kangen 'rumahnya'. Rumah adalah di mana hati ayah berada. Di mana ada anak-anaknya juga," ujar kakak saya.

Saya terdiam. Sementara kakak masih terus bercerita. Terus menjelaskan. Tapi pikiran saya sudah ke mana-mana.

Sekarang saya mengerti kenapa ayah tak mau pindah dari rumah. Terlalu banyak kenangan berharga untuk ditinggalkan oleh kami dari rumah itu. Masa kecil saya, masa kecil kakak, ulang tahun yang selalu kami rayakan bersama, lebaran kecil dan sederhana di rumah dan kisah cinta ayah dan ibu saya yang akhirnya terpisahkan oleh usia.

Di sini ayah selalu menanti pagar rumahnya terbuka, menanti anaknya pulang. Sementara saya bahkan sering mengabaikan panggilannya. Oke lah kami memang punya pandangan berbeda, namun memang tak seharusnya saya lari dari rumah ini dan keluarga kami.

Mendadak terakhir untuk hari ini, saya rindu pulang ke rumah dengan ayah yang sudah sehat, menghabiskan waktu bersama, mengabaikan pikiran kami yang berbenturan. Maaf ayah, saya masih bersikeras untuk meraih mimpi, tapi... saya ingin tinggal bersama ayah di rumah kami yang penuh cinta. Lekas sembuh, Ayah. Kita pulang bersama-sama.

(vem/gil)
What's On Fimela