Kejamnya Perang Masih Melekat di Benakku

Fimela diperbarui 05 Okt 2013, 14:00 WIB

Hari ini 5 Oktober 2013 adalah bertepatan dengan hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia yang ke 68 tahun. Ketika mendengar TNI, maka pasti yang terbayang di benak kita adalah perang. Sejarah Indonesia yang dijajah selama 3,5 abad membuat kita tidak bisa melupakan perang. Beberapa veteran pahlawan perang Indonesia yang masih hidup saat ini mempunyai kisah tersendiri untuk dibagi. Ada sebuah cerita dari seorang nenek veteran PMI (Palang Merah Indonesia) yang akan membuat kita bersyukur dengan kemerdekaan yang kita capai saat ini.

Kekejaman perang masih sangat melekat di benak Nenek Astuti. Saat ini umurnya sudah 77 tahun dan fisiknya sudah tidak sekuat dulu. Nenek Astuti adalah seorang pejuang Indonesia juga. Ketika masih berusia sangat muda dan masih tinggal di Bojonegoro, Nenek Astuti memutuskan untuk ikut membantu tentara Indonesia berperang melawan senjata. Dia lalu direkrut menjadi anggota PMI dan ikut bergerilya bersama TNI demi kemerdekaan Indonesia seperti yang dilansir oleh Merdeka.com (5/10).

Demi membela negara kita tercinta, Nenek Astuti dan tentara lain rela menempuh perjalanan berat dari Bojonegoro ke Surabaya dengan berjalan kaki. Jalan berliku dan banyak halangan tidak menyurutkan semangat mereka. Namun yang membuat pilu dan sedih adalah ketika mereka melihat kekejaman dari para penjajah. Kesedihan itu rupanya masih melekat di hati Nenek Astuti, terlihat dari sorotan matanya yang terpancar ketika bercerita tentang hal ini.

Tentara Jepang memberikan kesan tersendiri bagi nenek Astuti karena kekejamannya. Suatu ketika Nenek Astuti melihat ada dua orang anak kecil yang sedang mengambil minyak angin di jalan. Hal itu diketahui oleh tentara Jepang dan kedua anak tersebut ditangkap. Tentara Jepang yang marah terlihat memandikan dan mendudukkan kedua anak itu di pangkuan ibunya. Demi memberi hukuman kedua anak tersebut, tentara Jepang tidak segan memenggal kepala mereka. Ibu mereka yang kaget tidak diperbolehkan menangis atau menjerit. Sebagai seorang wanita, Nenek Astuti tahu benar bagaimana sedihnya kejadian itu walaupun dia masih muda.

Dia lalu menceritakan suasana perang perebutan kemerdekaan yang terjadi di Surabaya. Kala itu perang tidak dapat dihindari meskipun ada berita akan ada perundingan yang terjadi dengan sekutu. Suasana saat itu sangat ramai dan tak terkendali. Nenek Astuti menjadi saksi bagaimana pejuang merobek warna biru di bendera Belanda menjadi merah putih. Peristiwa bersejarah ini terjadi di Hotel Oranje yang saat ini menjadi Hotel Majapahit.

Nenek Astuti saat ini sudah renta. Suami tercintanya sudah meninggal sejak enam tahun yang lalu. Satu dari empat anaknya yang semuanya mengalami keterbelakangan mental ikut meninggal karena sakit. Dua orang anaknya yang lain masih berada di rumah sakit sebagai perawatan. Saat ini dia tinggal dengan satu anaknya namun Nenek Astuti sudah tidak kuat bekerja. Keluarganya hidup hanya mengandalkan pensiunan sang suami yang tak seberapa.

Masyarakat sekitar yang kasihan dan iba akhirnya bergotong royong demi membantu Nenek Astuti. Mereka membantu Nenek ini dengan ikhlas karena melihat kondisi Nenek Astuti. Bahkan istri Ketua RW Kalibokor Kencana II, Nur merawatnya dengan kasih sayang, meski bukan bagian dari keluarga. Rumah Nenek Astuti yang reyot saat ini sudah disulap dengan bantuan bedah rumah dari TNI. Kisah Nenek Astuti memberikan pelajaran bagi kita semua. Hendaklah kita selalu mengingat jasa para pejuang yang mungkin kini sudah terlupakan zaman. Tanpa mereka, mungkin kita tidak dapat hidup merdeka seperti sekarang ini.

 

(vem/sir)
What's On Fimela