Tenang saja, ketika seratus ribu menjadi seratus rupiah, nilai uang kita tak akan berubah.
Oleh Laras Eka Wulandari
Saat rencana redenominasi digulirkan pemerintah, banyak orang resah. Takut harga barang akan melonjak, nilai tukar rupiah menurun, juga inflasi. Termasuk trauma akan sanering yang pernah terjadi lima dekade lalu. “Redenominasi berbeda dengan sanering. Keduanya memang dimaksudkan untuk memotong mata uang menjadi lebih kecil, tapi sanering menghilangkan nol dengan memotong nilai dari mata uang. Lain halnya dengan redenominasi,” ujar Norico Gaman, pengamat ekonomi dari BNI Securities. Rencana redenominasi yang akan diterapkan di Indonesia adalah menghilangkan tiga digit angka nol tanpa mengubah nilainya. Misalnya uang Rp 50.000 setelah diredenominasi menjadi Rp 50, tetapi nilainya tetap 50.000.
Sudah Dilakukan Tanpa Sadar
Tidak ada alasan masyarakat untuk cemas akan proses redenominasi, sebab menurut Norico selama ini tanpa disadari masyarakat sudah mulai melakukan redenominasi sendiri. “Misalnya saat hendak membeli blouse di pusat perdagangan, pedagang akan menyebut 70 untuk blouse seharga Rp 70.000. Begitu pula mereka terbiasa menyebut 200 untuk barang seharga Rp 200.000,” papar Norico. Tanpa penjelasan panjang, baik Anda dan pedagang sudah dapat memahaminya.
Di beberapa restoran dan kafe pun harga menu makanan dan minuman juga sering ditulis dengan menghilangkan tiga nol di belakang. Misalnya harga satu porsi nasi goreng seharga Rp 22.500 dituliskan dengan harga Rp 22.5 atau secangkir kopi dengan harga Rp 32.000 ditulis Rp 32. Saat menemukan hal itu untuk pertama kali mungkin Anda sedikit kebingungan, tapi berikutnya, tidak akan menimbulkan masalah. Adaptasi redenominasi yang akan berlangsung juga demikian.
Redenominasi akan dilakukan di Indonesia karena nilai tukar rupiah sekarang ini terlalu lemah dan berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi Indonesia. Nilai mata uang yang mempunyai digit terlalu banyak dirasa rendah dan tidak bisa mendukung target pencapaian perekonomian saat ini. Bahkan di Asia Tenggara, hanya mata uang Vietnam (dong) yang nilainya lebih lemah dibandingkan rupiah, yaitu 1 USD ekuivalen 20.000 dong. Dengan demikian menurut Norico, jika kita tidak menerapkan redenominasi, kita akan menjadi negara yang tertinggal. Rencananya tiga digit angka nol akan dihilangkan dari seluruh mata uang yang berlaku saat ini. Rp 1.000 ditetapkan sebagai Rp 1, yang akan ditetapkan sebagai nilai terkecil. Mata uang di bawahnya seperti Rp 500 akan berubah menjadi Rp 50 sen. “Di negara maju nilai mata uang sen sangat kecil dan kurang dihargai. Namun nilai ini akan sangat berharga di beberapa tempat seperti restoran atau supermarket dan malah bisa mencegah nilai barang tidak melonjak tinggi,” tambahnya.
Lalu apa yang bisa menghambat dan membuat penyederhanaan mata uang ini gagal? Saat ini masih kurang dari 50% masyarakat yang siap melakukan redenominasi. Kepanikan masyarakat sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan perubahan ekonomi ini. Hal tersebut bisa terjadi karena masyarakat, kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai redenominasi.
Norico menjelaskan, sosialisasi yang tidak berjalan mulus akan mempengaruhi harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampaknya ekonomi kita akan melambat, rupiah juga akan mengalami fluktuasi (naik turun) secara berkelanjutan. Akibatnya pendapatan masyarakat juga menurun, harga barang melonjak tinggi, daya beli masyarakat menjadi melemah sehingga memicu inflasi.
Norico menyarankan untuk tidak khawatir dengan rencana perubahan ini. Tidak perlu juga persiapan khusus seperti yang diisukan banyak orang seperti menyimpan uang dengan membeli mata uang asing atau menyimpannya dalam bentuk investasi lain. Beradaptasi mengikuti perubahan itu adalah kunci utamanya.
“Adaptasinya sama saja dengan beradaptasi saat pertama kali penggunaan kartu kredit atau mesin ATM. Dengan berjalannya waktu, Anda yang semula tidak terbiasa dengan transaksi non tunai akan menjadi terbiasa dan banyak memanfaatkan kemudahan yang diberikan,” ujar Norico.
PELAN tapi PASTI
Redenominasi tidak dilakukan secara instan. Prosesnya lumayan panjang. Berikut tahapan dan caranya.
- Tahap Pertama (2013-2015) Masa persiapan
Persiapan akan dimulai tahun ini, seperti pembahasan RUU Redenominasi, rencana pencetakan uang dan distribusinya, penyesuaian infrastruktur dan teknologi informasi untuk sistem pembayaran dan akuntansi, serta konsultasi publik.
- Tahap Kedua (2016-2018) Masa Transisi
Bank Indonesia mulai mengedarkan pecahan baru ke pasar dan berangsur menarik pecahan lama. Pada tahap ini sama saja dengan munculnya pecahan uang baru. Misalnya pecahan lama Rp 50.000 sama dengan pecahan baru Rp 50. Jadi jika pecahan Rp 50.000 bisa membeli satu porsi ayam panggang maka Rp 50 pecahan baru juga bisa membeli makanan yang sama. Pada masa transisi ini pedagang harus mencantumkan dua harga sekaligus agar pembeli tidak bingung dan menghindari pembulatan ke atas secara berlebihan.
- Tahap Ketiga (2018-2022) Pelaksanaan Penuh
Saat mata uang rupiah redenominasi baru disebut menjadi mata uang rupiah. Masyarakat pun sudah terbiasa dengan mata uang yang baru. Dengan demikian, tidak ada lagi rupiah baru dan rupiah lama, yang ada hanyalah mata uang rupiah hasil redenominasi.
7 Manfaat Redenominasi
- Lebih ringkas dalam penilaian akuntansi barang dan jasa sehingga lebih menghemat waktu ketika penghitungan.
- Nilai rupiah menjadi lebih tinggi dan memudahkan mengonversikannya ke dalam mata uang asing. Jadi jika 1 USD sama dengan Rp 9.700 dengan redenominasi menjadi Rp 9.7.
- Masyarakat bisa melakukan transaksi dengan lebih mudah dan efisien.
- Untuk Anda yang suka bepergian ke luar negeri, dengan redenominasi justru bisa membantu mengurangi penyusutan (depresiasi) rupiah yang terlalu tinggi.
- Sangat membantu produk ekspor Indonesia bersaing di pasar ekspor. Dengan redenominasi nilai mata uang rupiah dapat sama kuatnya dengan nilai mata uang dari negara lain.
- Redenominasi akan membuat Anda berhemat. Misalnya Anda yang berpenghasilan Rp 10.000.000, setelah redenominasi penghasilan Anda menjadi Rp 10.000 maka Anda akan berpikir bahwa kondisi keuangan sekarang sangat minim dan perlu berhemat. Walaupun lambat laun efek psikologis ini akan kembali normal, namun akan sangat menguntungkan untuk berlatih berhemat.
- Rentang harga yang lebar dipersempit sehingga meminimalisasi terjadinya kenaikan harga. Misalnya saat lebaran harga gula pasir yang semula Rp 12.000 berubah menjadi Rp 15.000. lonjakan 25% itu sangat tidak terasa dan masyarakat menganggap apalah arti uang Rp 3.000. Tapi setelah redenominasi naiknya harga bisa hanya sekitar 5% hingga 7%.
Source : Goodhousekeeping Edisi Maret 2013 halaman 102
(vem/gh/dyn)