Mengalami pelecehan seksual oleh nenek kandung, adalah mimpi terburuk bagi seorang anak. Helga membawa luka itu tiga dekade lamanya.
Oleh Sanita Deselia
Namanya muncul saat seorang komedian muda menjadikan korban perkosaan sebagai bahan olok-olok di panggung. Candaan itu menyakitkan bagi para korban kekerasan seksual. Helga Inneke Agustine Worotitjan (39) seketika lantang berbicara, menyuarakan candaan itu tak pantas. Masyarakat pun tersadar. Kepada GH Indonesia, Helga berbagi kisah luka masa kecilnya. Namun ia kini telah kuat, seolah punya hidup kedua. Ia mengabdikan diri untuk mendampingi para korban kekerasan seksual mendapatkan kembali hidupnya yang ‘terampas’.
Saya Sempat Koma
Saya butuh waktu lama untuk berani berbicara secara terbuka mengenai kekerasan yang saya alami semasa kecil. Ini sama sekali tidak mudah. Apalagi dulu saya sempat mengadu pada orangtua, tapi dianggap mengada-ada. Akhirnya saya memilih diam. Berbicara artinya merasakan kembali ketakutan dan ketidakberdayaan yang sama seperti di masa itu. Saya menyimpan luka itu seorang diri. Tiga puluh tahun lamanya.
Dari luar, sepintas kehidupan saya tampak normal. Sekolah, kuliah, bekerja lalu menikah. Pekerjaan mapan dengan posisi yang cukup strategis. Semua terlihat berjalan di relnya. Tapi, tanpa saya sadari luka masa kecil itu perlahan memengaruhi kehidupan saya.
Tanpa bisa saya kendalikan bahkan tanpa saya sadari, hubungan dengan orang-orang yang saya sayangi terkena imbas cukup kuat. Saya seringkali salah merespon masalah. Misalnya saya menganggap rasa sayang itu harus melibatkan interaksi seksual. Mungkin itu terjadi karena dulu setiap habis diperlakukan kasar, saya selalu dimanja. Hal itu menyeret ke relasi interaksi seksual tanpa kesepakatan yang setara. Itu menyakiti diri sendiri tanpa disadari.
Di sisi lain saya sering menyikapi masalah dengan meledak-ledak, mungkin karena terbiasa direpresi. Saya juga memiliki trust issue yang cukup besar terhadap pasangan. Saya selalu mencurigai ada yang disembunyikan pasangan. Tapi saya memilih menyimpannya sendiri. Tekanan pun makin besar dan memengaruhi hubungan saya dengan pasangan. Perceraian pun tak terhindarkan. Pernikahan pertama saya kandas dalam waktu kurang dari empat tahun. Selang dua tahun berikutnya, saya kembali menikah namun hubungan itu pun tidak berlangsung mulus. Hanya bertahan kurang dari empat tahun. Perpisahan pertama memang menyakitkan, namun perpisahan kedua ini membuat dunia terasa runtuh. Masalah rumah tangga yang dihadapi mungkin tak jauh berbeda, tapi kali ini seperti klimaks dari segala luka yang saya simpan sehingga tak tertahankan lagi.
Ketika proses perceraian berlangsung saya merasa sangat terpuruk. Entah kenapa saya langsung teringat semua yang terjadi di masa kecil saya. Dunia terasa jungkir balik. Pikiran kacau. Saya seperti tersedot kembali ke perasaan tidak berdaya yang sama. Rasanya tempat tinggal saya hanya di lubang hitam itu. Sempat saya hanya bisa keluar tengah malam, karena di siang yang terang saya merasa semua orang tahu masalah saya. Emosi menjadi tidak stabil. Saya bisa meledak-ledak tiba-tiba. Kalau marah bisa marah sekali, kalau sedih ya sedih sekali seperti depresi. Sampai berbulan-bulan saya harus menggunakan obat penenang.
Bahkan saya sempat ingin mengakhiri hidup dengan menelan semua obat penenang sekaligus. Saya koma dan dirawat berhari-hari di rumah sakit. Ketika tersadar, saya tersentak. Ada sesuatu dalam diri saya yang menanti dibenahi.
Menulis yang Menyembuhkan
Suatu malam, dalam kesendirian dan keterpurukan di tengah proses perceraian itu, bayangan kedua buah hati saya melintas. Mereka masih kecil, siapa yang akan mengurus mereka kalau saya terus seperti ini. Saya harus kuat. Saya harus bangkit. Dan saya tahu saya membutuhkan pertolongan profesional. Saya pun pergi ke psikiater.
Untuk membantu proses penyembuhan saya menuangkan perasaan lewat tulisan. Saat itu di tahun 2008, media sosial sedang ramai. Saya menuangkan perasaan lewat puisi yang saya tulis di notes facebook. Awalnya isinya keras dan temanya selalu tentang luka dan kesakitan. Sangat jelas tersirat kemarahan di sana. Tapi apresiasi lewat komentar positif dari teman-teman mulai masuk. Beberapa di antaranya malah membuka jalan untuk berkenalan dengan teman-teman penggiat sastra. Saya belajar menulis sekaligus menyembuhkan diri. Perlahan jaringan pertemanan meluas hingga akhirnya saya berkenalan dengan para aktivis yang dekat dengan isu kekerasan terhadap perempuan.
Dari merekalah saya mulai tahu banyak tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan. Mata saya semakin terbuka bahwa sebenarnya ada tempat mengadu untuk para korban.
Saya juga disodori fakta bahwa ternyata saya tidak sendirian, banyak juga perempuan lain yang menjadi korban dan tak tahu harus bagaimana. Saya pun mulai tertarik mendalami isu kekerasan ini lebih dalam. Dalam proses penyembuhan saya juga bergabung dalam support group yang anggotanya orang-orang yang punya trauma terhadap kekerasan. Di sanalah saya tahu, bahwa langkah penting untuk mengatasi trauma adalah mengakui bahwa kekerasan itu memang dialami. Menyangkal hanya akan menghambat penyembuhan. Perlahan, keberanian saya mulai tumbuh. Saya pun mulai bercerita pada orang-orang terdekat. Tahun 2011 sebuah radio mengangkat tema tentang kekerasan terhadap perempuan dalam salah satu programnya. Itulah pertama kali saya berbicara kepada publik tentang pengalaman masa kecil saya.
Meski memakai nama samaran, dan pembicaraan hanya lewat telepon, efeknya luar biasa. Saya seperti disedot ke masa lalu. Saat tetangga menyentuh saya dengan cara tak wajar ketika usia saya baru lima tahun. Saat nenek meraba saya dan membuat saya tak nyaman selama beberapa tahun saya tinggal di rumahnya. Meski saat itu ia berdalih atas alasan memeriksa keperawanan sampai ke alasan kesehatan seperti mengecek apakah saya cacingan, ada rasa tak nyaman saat beliau melakukan itu. Saya juga kembali teringat sakitnya dipukul sampai kulit saya memerah, lalu saya ditelanjangi dan ditinggal di depan teras sementara pintu rumah nenek dikunci dari dalam.
Perasaan mengerikan itu kembali saya alami. Rasa tak berdaya yang menghinakan. Sangat tidak enak. Saya gemetar sampai keluar keringat dingin. Seminggu berikutnya saya tidak bisa makan. Berat badan saya langsung turun sembilan kilogram.
Beberapa minggu kemudian saya hadir menjadi pembicara dalam sebuah seminar. Saat itu saya memperkenalkan diri kepada audiens sebagai penyintas (survivor). Kebetulan ada televisi meliput, mereka mengundang saya hadir sebagai tamu dalam program talkshow. Saya berkonsultasi dengan sesama penyintas. Di satu sisi ini adalah tempat untuk mengedukasi masyarakat. Tapi, program itu akan ditayangkan secara langsung, bagaimana kalau saya menangis? Maka awalnya dibuat kesepakatan kalau saya tidak akan membicarakan kejadiannya. Namun ternyata hal itu ditanyakan juga. Lebih mengejutkan lagi ketika menerima telepon dari pemirsa. Dua orang bercerita sambil menangis. Salah satunya mengalami kejadian 40 tahun lalu. Keringat dingin mulai mengucur di tengkuk saya. Tapi saya harus kuat. Saya harus bisa menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian.
Menata Ulang Hidup
Sebenarnya dari remaja saya sudah menyukai isu sosial termasuk isu perempuan. Saya suka membaca buku-buku tebal sejak kecil. Kelas lima SD saya sudah membaca buku Marianne Katoppo. Di SMA saya sudah mulai membaca buku-buku Karl Marx. Mungkin itu pelarian yang tidak saya sadari saat itu. Maka setelah berkenalan dengan teman-teman yang berkecimpung di isu perempuan, saya semakin jatuh cinta pada dunia ini. Sambil menjalani terapi, saya memperdalam pengetahuan saya. Beberapa pelatihan saya ikuti. Terutama bagaimana menjadi konselor yang benar, termasuk pelatihan hukum untuk mendampingi korban. Saya tidak mau ada korban kekerasan yang tidak tahu harus ke mana mengadu.
Ketertarikan yang begitu kuat terhadap isu perempuan membuat saya berpikir ulang tentang karier saya. Setelah melalui berbagai pertimbangan saya memutuskan untuk total terjun mendampingi para korban kekerasan seksual. Memang kepuasan finansial saya dapatkan sebagai manajer di sebuah bank terkemuka. Tapi ada bagian diri saya yang terus ditarik ke isu perempuan. Kepuasan finansial akhirnya tergantikan oleh kepuasan yang lebih besar ketika bisa berbagi dan menolong. Kepuasan itu tak bisa ditukar dengan materi.
Saat ini saya dibantu beberapa teman menerima konseling via telepon, email, atau tatap muka. Korban butuh berbagi cerita. Kadang ada yang menelepon hanya untuk menangis tapi setelah itu dia merasa lega. Tapi untuk beberapa kasus ada juga yang minta pendampingan mengurus secara hukum.
Saya menyesal karena terlambat mengetahui semua itu. Kalau saya tahu sedari muda dan terapi sejak dini, betapa banyak yang bisa saya kerjakan. Saya tak mau orang lain mengalaminya. Saya steuju pelaku dihukum berat. Tapi korban ini sudah ‘terbunuh’. Setelah dipenjara pelaku bisa bebas. Sementara korban? Bisa jadi masih ‘terpenjara’ di waktu kejadian. Kebanyakan masih muda dan ada bakat serta potensi yang ikut terbunuh dalam kejadian itu. Ini yang harus ditangani. Harapan mereka harus tetap dijaga. Harus tetap ada.
Saya bersyukur mendapatkan hidup kedua setelah berjuang mengatasi trauma. Pasca terapi, kehidupan saya membaik. Hubungan dengan mantan suami pun terjalin harmonis. Saya kini tinggal bersama kedua putri saya. Saya menata ulang hidup saya. Luka itu perlahan mulai terobati.
Diam Memicu Depresi
Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psi. Psikolog dari klinik RMC Depok dan Klinik Rumah Hati Cilandak.
Tidak selamanya diam itu emas. Bagi korban kekerasan tetap diam bisa merugikan. Biasanya korban akan lebih memilih bungkam jika pelakunya adalah orang dekat. Ketakutan bisa timbul karena ada ancaman atau takut melukai anggota keluarga lainnya. Efek dari bungkam ini merugikan korban. Korban akan terus memendam sendiri segala perasaannya seperti merasa kotor atau jijik terhadap diri sendiri, marah, bingung, tidak percaya diri, menyalahkan diri sendiri hingga akhirnya bisa menjurus ke depresi. Idealnya korban kekerasan mendapatkan pendampingan psikologis dari keluarga dan ahli seperti psikolog untuk menjaga agar perasaan seperti ini tidak berlarut-larut. Trauma yang tidak teratasi bisa memengaruhi alam bawah sadar korban. Perkawinan bisa terpengaruh dan mungkin saja mendorong ke arah perceraian karena korban merasa tak layak. Bisa saja korban enggan berhubungan intim, mengalami penyimpangan orientasi seksual, atau mengalami adiksi seksual.
Ketika pelaku adalah kerabat dekat, masalah bertambah. Melaporkan bisa jadi membuka peluang dimusuhi keluarga besar karena dianggap membuka aib. Tapi risiko itu lebih ‘ringan’ daripada diam. Kalau diam, tidak melapor atau katakanlah tidak ada tindakan apapun terhadap pelaku, korban tidak mendapat kepastian keamanan jika itu tidak akan terulang lagi. Akibatnya korban akan hidup di dalam lingkaran ketakutan dan emosi negatif seperti menyalahkan diri sendiri. Namun ketika memutuskan untuk melaporkan, yang perlu dihindari adalah ekspos media yang berlebihan. Jika semakin banyak orang yang tidak berkepentingan (publik) tahu, maka akan menyulitkan korban untuk kembali kepada kehidupan normalnya.
Source : Goodhousekeeping Edisi April 2013 halaman 54
(vem/gh/dyn)