Saat banjir melanda dan banyak korban yang membutuhkan pertolongan, dua None Jakarta (yang juga calon doktor) ini segera turun tangan untuk membantu. Walau banyak kendala, mereka tetap sabar dan – yang terpenting – tetap senyum.
HENNIE WAHYU TRIYUNIATI NONE JAKARTA BARAT 2011
Bayangkan tinggal di sebuah wilayah di mana serbuan banjir sudah menjadi makanan sehari-hari. Saking sering banjir melanda daerah rumah Anda sampai-sampai suatu hari air tersebut “menetap” permanen sehingga akhirnya Anda pun terpaksa untuk membangun rumah baru di atas rumah lama yang sekarang sudah “pindah alamat” ke bawah permukaan air – for good!
Tapi...what to do? Yang bisa Anda lakukan hanyalah pasrah. Pertama, karena daerah Anda tak mungkin bisa bebas banjir – walau tak hujan pun, Anda akan tetap mendapatkan kiriman dari Bogor. Lalu, lantaran pembangunan pabrik yang cukup gencar di sekeliling Anda, yang berakibat kian tergerusnya daerah resapan air, maka ancaman banjir kian tak terelakkan. Dan, selama 23 tahun, you learned to deal with it.
Yup, itulah yang terjadi pada Kampung Apung di daerah Jakarta Barat. Di tengah kemodernan kota Jakarta, wilayah ini seolah menjadi kawasan yang terlupakan, tak pernah ada uluran tangan pemerintah untuk mencari solusi akan masalahnya (kecuali sampai baru-baru ini saat Gubernur DKI Jakartra baru, Jokowi Widodo, datang untuk melihat keadaan).
Tapi, bagaimana mau membantu? Banjir melanda kota Jakarta cukup merata. Guyuran hujan nonstop Januari silam berujung ke banjir besar yang masih saja mampu melumpuhkan Ibukota, menyulapnya menjadi kolam raksasa yang bagi beberapa warga Jakarta menjadi “wahana atraksi” cuma-cuma. Dan sebagian besar penduduknya hanya bisa merasa pasrah merana saat luapam air memasuki rumah dan “menelan” barang-barang berharga mereka. Termasuk para warga Kampung Apung.
Waktu saya pertama dinobatkan sebagai None Jakarta Barat di tahun 2011, saya sempat datang ke daerah yang dulu bernama Kampung Muara itu. Ketika saya datang, para warga di sana sedang mencoba untuk membudidayakan peternakan lele – salah satu cara mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka. Kedua kalinya saya datang (juga bersama Tim Ikatan Abang None Jakarta, atau IANTA), pada Sabtu, 19 Januari, kondisinya cukup parah dan untuk mengaksesnya Anda mesti berjalan sejauh 4 km, kecuali kalau Anda punya mobil besar atau perahu karet. Dua hari sebelumnya, kami telah memantau situasi terlebih dulu, mencari tahu kebutuhan apa saja yang paling mendesak, lalu setelahnya, menyebarkan informasi tersebut via Blackberry dan social network seperti Facebook dan Twitter dengan harapan menerima bantuan donasi.
Untungnya, banyak yang merespon dengan positif, dan pada akhirnya, kami berhasil menerima donasi sebesar Rp 7 juta. Uang tersebut langsung saya belanjakan sesuai dengan keperluan para korban banjir, seperti pakaian, makanan dan obat-obatan. Dan dengan “bekal” itulah kami bergerak menuju Kampung Apung. Dari yang awalnya hanya semata kaki, lambat laun air yang kami arungi mencapai pinggang. Sempat di tengah jalan kami menyadari sedang berjalan di suatu jalan setapak di mana kiri kanannya kami melihat air terlihat gelap. Entah itu air yang sudah tercampur oleh lumpur atau memang tanah yang melandai curam. Saya ngeri membayangkan apa saja yang berada di bawah situ.
Akhirnya, kami “berlabuh” di salah satu dari dua gedung sekolah (letaknya berhadap-hadapan) yang sepertinya fondasinya sudah dinaikkan sehingga bangunan tersebut bebas dari banjir. Di sana, para pengungsi sudah memenuhi gedung sekolah berlantai empat tersebut. Cukup sedih sih melihat keadaan mereka, tapi sepertinya mereka cukup tabah menerima keadaan mereka. Dan, di luar gedung sekolah, saya melihat anak-anak kecil asyik berenang-renang di air banjir yang keruh. Hmmm, ingin rasanya melarang mereka untuk tidak berenang di sana – karena entah “larutan” apa saja yang ada di dalamnya! – tapi well, kalau itu bisa mengalihkan mereka dari situasi yang mereka alami, then, why not? It’s a disaster for me. But it’s a playground for them.
Penyakit yang paling umum menjangkiti para pengungsi adalah flu, diare, demam, dan penyakit kulit. Waktu itu, ada 80 anak sakit, dan salah satunya ada seorang anak kecil berusia tiga tahun yang terserang diare cukup kronis karena dalam sehari dia bisa buang air besar sampai berkali-kali. Dengan intensitas diare sesering itu, jelas anak ini mengalami dehidrasi. Dan yang memperburuk suasana, sang Ibu sangat panikan sehingga ia selalu memberondong dengan pertanyaan, senantiasa gelisah, sampai akhirnya ia pingsan. Anak sang Ibu segera kami bawa keluar dari situ supaya bisa dibawa ke puskesmas terdekat.
Kendala terbesar yang kami hadapi saat itu adalah para pengungsi yang cenderung egois dengan barang bantuan yang mereka terima. Contohnya, obat-obatan – mereka kadang tidak sabaran mengantre untuk menerimanya, dan setelah mendapatkannya, mereka tidak mau sharing. Karena supply terbatas, kami berharap mereka bisa berbagi, terutama untuk obat seperti minyak kayu putih. Alhasil, yang tidak kebagian jadi marah-marah.
Lalu ada juga anak-anak yang jadi sakit gara-gara orangtua mereka memberi dosis obat yang berlebihan, yang semestinya hanya ¼ malah dikasih satu tablet sekaligus! Padahal dari awal saya sudah menjelaskan panjang lebar tentang dosis yang benar bagi anak mereka. Yah, memang repot – dan, terkadang, lucu – menghadapi situasi di lapangan, tapi untungnya saya sudah siap sebelumnya kalau butuh tingkat kesabaran dan toleransi yang tinggi menjadi seorang relawan.
Mungkin apa yang saya lakukan efeknya tidak seberapa, tapi saya senang bisa membantu. Semenjak menjadi None Jakarta Barat 2011, saya telah belajar kalau kita tidak perlu menunggu alasan untuk membantu, to take action. If you want to do it, just do it.
ANISSA OKTANTIANI NONE JAKARTA TIMUR 2012.
Kalau Anda sempat melihat langsung kondisi orang-orang yang terkena banjir (tidak hanya dari TV), pasti Anda tahu betapa menyedihkannya kondisi mereka di beberapa tempat pengungsian. Di area banjir di Kampung Pulo, Jatinegara, saya melihat ada galon kecil berisi teh di tengah jalan yang diperebutkan oleh para korban banjir. Mungkin bagi kita itu hanya teh tawar, tapi, bagi mereka, it’s something special. Saat tiba di sana, kami menyusuri jalan yang sehari-harinya biasa dilalui oleh mobil dan pejalan kaki, tapi sekarang sudah digenangi oleh air. Di area yang kering, jalanan dipenuhi oleh posko-posko darurat. Jumlah posko ini sebenarnya cukup banyak, tapi yang butuh pertolongan juga banyak, jadi para relawan posko ini juga kewalahan melayani mereka. Bersama teman-teman dari IANTA, kami membawa persediaan obat-obatan dan pakaian hasil pengumpulan dana via social media. Di sana, barang-barang tersebut kami berikan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang kemudian akan didistribusikan ke mereka yang membutuhkan.
Selain daerah Jatinegara, hari Minggu saya bersama teman – atas permintaan dosen saya – juga sempat menghampiri daerah terkena banjir di Grogol, di depan kampus Trisakti. Untuk masuk ke daerah itu, kami menyewa gerobak sampah (yes, gerobak sampah!) dengan biaya Rp 50 ribu. Nah, di hari “biasa”, perjalanan menuju jalan perumahan tersebut biasanya hanya akan memakan waktu lima menit, tapi karena adanya banjir, perjalanan kami menjadi sekitar satu jam. Dan yang membuat saya agak takjub, orang yang menarik gerobak sampah saya, berjalan...tanpa alas kaki! Sebagai dokter tentu saya meringis melihat hal ini karena entah apa yang ada di balik air keruh itu – lumpur, kencing tikus – tapi saat saya tanya, “Kok ngga pakai sendal sih mas?”, ia hanya dengan santai menjawab, “Soalnya berat kalau pakai alas kaki!” Sesampainya di tempat pengungsian, kami banyak dipanggil-panggil oleh warga setempat: “Dokter ya? Kami belum dapat bantuan medis nih.” Yang pasti untuk supply makanan dan obat-obatan, mereka cukup terjamin, tapi untuk bantuan pelayanan medisnya sendiri mereka masih kekurangan.
Anehnya, para warga pengungsi di sini masih pulang ke rumah masing-masing saat malam hari. Saya tentu bingung, kok bisa? Bukannya rumah mereka masih kebanjiran? “Lantai sih memang kegenang air tapi kasur kami masih kering kok,” jawab salah satu dari mereka. Sementara, salah satu penyakit yang paling banyak menjangkiti mereka – terutama para bapak-bapak – adalah gatal pada kaki, yang berujung ke luka karena mereka kerap menggaruknya. Sempat saya obati beberapa dari mereka yang kakinya luka-luka, lalu saya bilang, “Pokoknya kaki ini harus bersih dan kering ya, pak.” Lalu mereka menjawab, “Trus, nanti bagaimana saya pulang ke rumah?” Saya hanya bisa menghela napas. Sebetulnya banyak dampak serius yang bisa timbul apabila mereka tidak menganggp serius luka mereka, seperti, contohnya, kencing tikus yang apabila terkena bisa berujung ke kematian. Tapi tentu saya tidak memberi tahu fakta ini kepada para pengungsi karena saya tidak ingin menakut-nakuti mereka. They got enough problem as it is.
Jika diberikan pilihan antara, bersantai di rumah atau mendatangi lokasi banjir, tentu Anda pasti lebih memilih opsi yang pertama. Tapi saya memilih yang terakhir karena, bagi saya, hal itu menjadi semacam panggilan hati, bagian dari tugas sebagai seorang dokter. Saat di sana, saya mungkin merasa “susah”, tapi, hey, ada orang yang lebih susah di sekeliling saya. Just turn on your TV.
– Cosmo halaman 208
(vem/cosmo/dyn)