Apakah Aku Mencintai Orang Yang Salah?

Fimela diperbarui 31 Mei 2013, 19:01 WIB

Menikah, tidak selalu berarti bahwa kita menemukan jodoh kita. Kadang kita juga harus melalui sebuah perpisahan yang tak terelakkan dalam rumah tangga. Dan hal itu tak pernah ingin dibayangkan wanita manapun yang punya berbagai rencana bahagia tentang keluarga barunya.

Aku menikah dengan seseorang yang sudah kukencani sejak SMA. Namanya Herman. Akhirnya ia menikahiku setelah kami sama-sama bekerja. Orang bilang, wajah kami mirip. Oleh karena itu mereka, dan juga aku sebagai wanita, meyakini bahwa kami berjodoh.

Sejak sekolah, kami pasangan yang cukup populer. Aku masih ingat banyak teman-teman yang minta resep awet pacaran padaku. Tapi kini... kepada siapa aku harus bertanya agar awet membina rumah tangga?

Belakangan ini, setelah 2 tahun menikah, hubungan kami begitu dingin. Banyak hal yang secara prinsipil selalu bertentangan antara aku dan dia. Kadang aku bertanya-tanya dalam hati, "Kenapa baru sekarang? Kenapa masalah-masalah ini tak muncul saat kami masih pacaran?"

Aku dan Herman selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan baik. Aku tahu dia sering mengalah, akupun begitu. Mungkin hal itulah yang akhirnya menjadi masalah di hari-hari ini. Mungkin selama ini kami terlalu menghindari masalah dan sering memendam perasaan masing-masing.

Dulu kami selalu mengalah, kini kami saling tak mau kalah dan sering tunjuk siapa yang salah. Lalu dalam suatu hari ketika aku menunjuk wajahnya atas kesalahan yang dia lakukan, sambil memandang sosoknya di hadapanku, terbersit pikiran, "Apakah aku salah memilih dia? Apakah aku mencintai orang yang salah? Apakah pertengkaran ini menunjukkan kesalahan? Apakah kami harus bercerai?"

Aku tidak ingin apa yang orang pikirkan dahulu tentang kami jadi runtuh. Maka akupun berusaha mempertahankan pernikahan ini. Aku tahu Herman juga melakukannya, namun semakin kami mencoba, semakin tak menentu. Hingga suatu malam kami tidur sambil berpelukan, menangis bersama seraya ia membisikkan, "Kenapa kita jadi seperti ini?"

Itulah pelukan hangat terakhir yang aku rasakan darinya. Satu tahun kami jatuh bangun mencoba mempertahankan rumah tangga dan pelukan terakhir kami di pengadilan terasa asing dan dingin. Sejak hakin mengetukkan palu, aku resmi menjanda.

Menyembuhkan Hati dan Hari-Hari

Aku sering menunduk dan tak banyak bicara sejak bercerai. Aku tinggal di rumah orang tuaku semenjak itu. Aku bersyukur, ibu dan ayahku penuh cinta menerimaku. Tak peduli dengan omongan orang tentang statusku yang menjanda, anak tetaplah anak.

Rutinitas bekerja-pulang ke rumah-bekerja-pulang ke rumah, membuatku banyak berpikir. Selama setengah tahun ini aku mencoba menguak luka sendiri. Aku yakin dengan melihat ke dalam, aku tahu apa yang menyebabkan aku berada di posisi ini, hari ini.

Kupikir, dahulu aku terlalu peduli dengan apa yang orang katakan tentang aku dan Herman. Kami senang dengan predikat pasangan ideal. Kami banyak menjaga image dan sering tak menjadi diri sendiri. Selalu mengalah, itu hanya formalitas. Di dalam hati, mungkin kami saling memendam ketidaksukaan. Menumpuk, hingga menjadi pikiran busuk. Lalu meledak karena terlalu membludak.

Apakah aku mencintai orang yang salah? Tidak. Kami yang salah dalam menjalani hubungan cinta. Pernikahan ini juga bukan kesalahan, ini memang pelabuhan yang memberikan kami banyak pelajaran.

Aku belum tahu apa yang akan kulakukan setelah aku memutuskan masa kelabu setelah bercerai ini berakhir, yang pasti aku yakin hal ini akan membawaku pada sebuah kebahagiaan sejati.

Dia Yang Tak Pernah Kutunggu

Dulu namaku Helena Herman, dan hari ini namaku sah menjadi Helena Adijaya.

Ya, aku menikah lagi. Dengan penuh cinta, bersama pria yang benar-benar aku sayangi. Kami bertemu dalam perjalanan ke Bandung di kereta. Berkenalan begitu saja, ngobrol dan bersenda gurau begitu saja.

Ia membuatku bisa mengutarakan apa mauku, aku mengisi sisi hidupnya yang masih sepi. Kisah cinta ini lebih berwarna, lebih dewasa dan memberi banyak makna. Aku pernah gagal, tapi tak berhenti apalagi menyesal.

Satria nama suamiku. Tak pernah kupikirkan kehadirannya dan tak pernah kunantikan. Kami membuka lembaran baru. Aku tahu masalah tak berhenti setelah aku menemukan sosoknya, namun aku yakin dia adalah sosok yang akan menggenggam tanganku sekalipun kami berdebat, bukan saling tunjuk apalagi menghujat.

Menikah dan gagal, bukanlah hal yang luar biasa. Namun juga bukan hal yang pernah ada dalam daftar rencana hidupku. Namun jalan kebahagiaan tak lantas tertutup karenanya. Mau jujur menatap dan menghadapi realita, hal seperti ini yang akan menggiring kita pada kebahagiaan sesungguhnya.

(vem/gil)