Dunia maya tak hanya menawarkan cara berinteraksi baru yang menyenangkan. Lewat jejaring sosial ada ruang luas tersedia untuk menyentuh kehidupan sesama.
Oleh Sanita Deselia
Beberapa waktu lalu seorang anak pengidap tumor otak terbaring tak berdaya. Jangankan bicara, bernapas saja kesulitan. Dia memerlukan ventilator untuk membantunya bertahan hidup, sementara di rumah sakit tempat dia dirawat tak ada ventilator tersisa. Alat yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan pasien yang ada. Grace, nama anak tersebut, berusia 7 tahun. Ayahnya terpaksa memompa manual untuk membantu pernapasan anaknya.
Saat informasi ini tersebar di jejaring sosial, dalam waktu 36 jam, uang sebesar lebih dari 200 juta terkumpul dan berhasil membawa ventilator untuk Grace. Dia sempat membaik meski akhirnya harus berpulang beberapa waktu kemudian.
Sementara di tempat berbeda Anna (25) di ambang kematian menanti bantuan darah golongan AB. Untuk menyelamatkan nyawanya dia harus segera dioperasi, sementara untuk operasi dia membutuhkan ketersediaan darah. Informasi pun menyebar di jejaring sosial. Dalam 20 menit banyak pendonor datang, ia pun bisa dioperasi dan selamat.
Kisah di atas adalah kisah nyata yang dituturkan oleh Valencia Mieke Randa penggiat kegiatan sosial di media sosial. Tidak ada yang bisa menyangkal betapa cepatnya penyebaran informasi lewat media sosial. Bukan hanya jejaring seperti twitter, facebook,path, dan sebagianya saja, melainkan termasuk juga berbagai instant messenger darismartphone, yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial.
Selain isu politik, yang mudah tersiar dan mengundang reaksi banyak pihak, juga termasuk isu-isu tentang kemanusiaan hingga mereka berhasil menggerakan sejumlah orang untuk menolong sesama. Media yang tadinya dianggap membuat manusia menjadi asosial (karena sering terlihat asyik sendiri) ternyata memiliki sisi lain: mampu menyentuh sisi kemanusiaan banyak orang.
Satu Klik Selamatkan Nyawa
Dunia saat ini sedang berubah karena penemuan dan perkembangan teknologi. Perubahan yang terjadi tidaklah kecil. “Pengaruhnya di masyarakat kurang lebih sama seperti berabad-abad lampau ketika ditemukannya mesin cetak,” ujar Enda Nasution, pemerhati media sosial. Teknologi digital yang semakin berkembang membuat informasi bukan hanya bisa diterima oleh siapa saja tetapi juga bisa menjadi lebih mudah disebarkan oleh siapa saja. Isu politik sampai gosip artis, soal budaya hingga kemanusiaan, tersebar di jejaring sosial. Isu-isu tersebut tidak meluncur sambil lalu, namun menimbulkan reaksi, interaksi lalu aksi.
Jangkauan yang luas ditambah pola interaksi di jejaring sosial yang real-time membuat pesan beredar dengan cepat. “Apalagi jika pesan yang sudah di-broadcast, lalu di-broadcast lagi oleh penerima kepada penerima baru,” ungkap Enda. Penyebaran pesan ini akan lebih cepat lagi jika isi pesan mengundang empati si penerima. Tapi tidak semua pesan akan diterima baik. Beberapa orang mengaku terganggu dengan kehadiran broadcast message di ponselnya. Bagi Amalia (27) karyawati swasta, broadcast message yang bertubi-tubi masuk di ponsel seringkali membuatnya malas membaca. Apalagi jika pengirim pesan sudah terlalu sering mengirim broadcast message dengan isi yang tidak begitu penting. “Kalau si pengirim dia lagi dia lagi, saya suka langsung mikir pasti tidak penting,” imbuh Irma Hanifah (27).
Mungkin bagi seseorang pesan yang muncul adalah gangguan, tapi bagi seseorang yang lain itu adalah harapan. Valencia misalnya, pendiri komunitas Blood4Life ini seringkali mem-broadcast pesan untuk mencari pendonor bagi mereka yang sedang diburu waktu untuk mendapatkan bantuan donor darah. Media sosial adalah tempat yang pas untuk menyebarkan informasi dengan cepat. “Untuk kasus-kasus yang perlu respon segera, twitter itu updated per nano second, baik mereka yang membutuhkan bantuan maupun yang tergerak untuk membantu, sama-sama akan mendapat informasi perkembangan kasus terkini dengan cepat,” ujar Valencia yang dikenal dengan akunnya @justsilly.
Hal tersebut dirasakan betul oleh Herliana (27), saat membutuhkan bantuan darah untuk ayahnya yang terkena leukimia. “Setelah pesan tersebar, hampir setiap menit saya menerima telepon yang menawarkan bantuan. Dua jam kemudian bantuan darah berdatangan,” kata Herliana.
Kekuatan media sosial diakui juga oleh Beriozka Anita (Ozka), dalam menjalankan Shoebox Project, sebuah gerakan sosial dalam menggalang dana untuk disumbangkan pada pihak yang memerlukan seperti panti asuhan, rumah singgah, bahkan sekolah bobrok yang butuh uluran tangan. Awalnya Ozka hanya menggunakan email dan broadcast message yang ditujukan kepada orang-orang dikenal karena ingin memulai dari lingkungan terdekat. Setelah berjalan beberapa waktu barulah Shoebox Project membuka akun di twitter, blog, dan fanpage. Gerakan yang digagasnya pun makin meluas. Banyak volunteer dan bantuan datang karena informasi lewat media sosial.
Sering Dianggap Menganggu
Meski broadcast message sering dianggap sebagai spam atau gangguan namun naluri kemanusiaan tetap mengusik saat pesan permintaan tolong diterima. “Kalau ada yang meminta pertolongan, biasanya saya baca lebih detail, terus bantu share,” ujar Bachjati Adlina (27), pegawai swasta. Meneruskan pesan adalah bantuan paling sederhana yang bisa dilakukan. Ibaratnya dengan sekali klik kita turut berkontribusi terhadap datangnya pertolongan bagi seseorang di luar sana. Jajak pendapat GH Indonesia terhadao 150 orang responden, sebanyak 43% memilih untuk meneruskan pesan kemanusiaan yang mereka terima untuk menunjukkan kepedulian, sementara 26% memilih untuk langsung membantu.
Faktor kedekatan si pengirim pesan menjadi pendorong untuk menolong. Irma misalnya saat mendapat broadcast message dari teman yang butuh darah golongan O untuk ayahnya, hatinya tergerak. “Karena saya bergolongan darah O saya langsung respons dengan membalas pesan tersebut dan juga menyebarkan ulang pesan untuk mengajak teman lainnya,” kata Irma. Sementara Amalia tergerak saat kenalannya membutuhkan dana untuk operasi mata anak kembarnya yang lahir prematur. “Si ibu selalu update di facebook soal kondisi anaknya. Saya tidak sengaja mengamati. Kenapa tidak menolong sekalian?” kata Amalia.
Memang tidak semua pesan bisa mendapat sambutan yang sama. “Yang besar responsnya biasanya jika terdapat unsur kemanusiaan dan ada korban. Penculikan anak misalnya responsnya bisa tinggi,” kata Enda. Sebanyak 53% responden mengaku tergerak untuk menolong jika peristiwa yang dikabarkan menyangkut nyawa manusia.
Tinggi rendahnya respons terhadap satu peristiwa dipengaruhi oleh demografi si penerima pesan. “Kalau penerima pesan banyak orangtua, empatinya otomatis lebih besar terhadap kasus yang menyangkut anak-anak, sehingga terdorong untuk mem-broadcast lagi. Potensi jangkauan lebih luas sehingga respons lebih luas juga,” ujar Enda. Misalnya saja meski banyak kasus terjadi tidak semua mendapat respons sebesar seperti kasus Prita Mulyasari mencuat. Di jejaring sosial sebagian besar pengguna adalah generasi muda dan kaum kelas menengah. Jadi isu yang mengundang empati masyarakat media sosial juga yang tidak jauh dari kehidupan mereka. Prita ibarat representasi kebanyakan warga di jejaring sosial. “Sehingga banyak yang lebih mudah berempati dan merasakan pada posisi itu,” kata Enda.
Tren Berempati
Gerakan sosial sebenarnya bukan hal baru, namun adanya teknologi digital membuat cakupan gerakan lebih luas dan menyentuh lebih banyak orang. Namun Roby Muhamad, sosiolog, mengungkapkan saat ini memang tengah berkembang sebuah fenomena.
“Banyak orang yang muncul dan ingin berbuat sesuatu yang meaningful terhadap sekitarnya, spirit zaman yang banyak diusung anak-anak muda ini diperkuat juga oleh teknologi, dimana anak-anak muda itu juga tidak bisa lepas dari teknologi,” ujar Roby.
Ada ratusan komunitas kemanusiaan yang muncul di jejaring sosial. Mereka bergerak untuk kemanusiaan. Beberapa gerakan hilang seiring selesainya masalah misalnya pengumpulan koin. Sementara gerakan yang lain terus berjalan. Gerakan yang muncul di masyarakat ini menurut Enda didorong oleh kondisi yang tidak ideal di mekanisme formal. Misalnya dalam ketersediaan darah di rumah sakit memunculkan gerakan blood4life.
“Gerakan semacam ini membuat kita yang tadinya bingung harus meminta bantuan ke mana sekarang dipermudah, bisa lari ke media sosial dan bantuan datang dari mana saja,” kata Bachjati. Sekali update status informasi sudah tersebar.
“Mulai minta donor darah, minta bantuan dana, dan sebagainya pasti ada saja yang meresponsnya, minimal dengan membroadcast ulang,” kata Amalia. Hebatnya bantuan datang dari orang-orang tidak dikenal. Herlina merasakan bantuan luar biasa. Ia tersadar ternyata masih ada orang yang baik hati, membantu orang tanpa pandang bulu.
Dorongan untuk berbuat kebaikan bisa datang dari mana saja. Menurut Roby dari beberapa studi yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan motivasi orang melakukan sesuatu lebih karena sosial influence. “Kita percaya pada teman. Saat dia melakukan sesuatu umumnya kita akan terdorong untuk ikut melakukan juga,” ujar Roby.
Hal serupa juga terjadi jika influencer atau selebritas di media sosial yang menjadi ‘panutan’ mengajak berbuat sesuatu, banyak yang ikut terdorong melakukan aksi. Menggerakan massa di media sosial menjadi pilihan yang praktis. Memobilisasi massa umumnya dilakukan di tempat di mana orang berkumpul. “Dulu di Prancis orang berkumpul di kafe saat hendak melakukan revolusi, kini jejaring sosial adalah tempat orang berkumpul, cara baru orang berinteraksi sosial,” kata Roby.
Menyebarkan informasi menjadi penting ketika isu menjadi ramai dibicarakan orang dan menggugah kepedulian. Sebanyak 21% responden mengatakan tergerak untuk menolong saat musibah tersebut menjadi pembicaraan banyak orang.
Media sosial sebagai tempat pertemuan dirasakan betul oleh Valencia dan Irma. “Media sosial memudahkan niat baik. Mempertemukan kita yang ingin menolong dan mereka yang butuh pertolongan,” kata Irma.
Agar Pertolongan Tidak Sia-sia
Saat uluran tangan datang bertubi-tubi, koordinasi yang buruk bisa menyebabkan bantuan tidak tepat sasaran. Kebanyakan orang memilih cara praktis untuk menolong misalnya mentransfer sejumlah uang atau mengirim makanan. Bisa jadi bantuan yang sebenarnya diperlukan adalah air bersih, atau obat-obatan. Valencia mengatakan penting untuk selalu menginformasikan perkembangan terkini untuk menghindari penumpukan bantuan. “Mengelola bantuan juga butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit,” kata Valencia. Mengulurkan tangan juga tidak sekadar memberi lalu selesai. Ozka pun selalu berkoordinasi dengan pihak yang akan menerima sumbangan tentang apa saja yang mereka butuhkan. “Biasanya kami akan membuat prioritas kebutuhan. Tapi kami juga punya rencana cadangan jika mendapat sumbangan yang melebihi prioritas,” ujar Ozka.
Beragam media sosial dimanfaatkan untuk saling melengkapi informasi. “Untuk penyebaran info, twitter yang menghasilkan impact yang paling besar. Tapi kelemahannya, pesan cepat tenggelam di timeline sehingga kita harus men-tweet berulang-ulang,” kata Ozka. Facebook juga disebut Ozka sangat besar dampaknya untuk meraih kepercayaan dari mereka yang diharapkan terlibat karena mereka bisa melihat bukti pelaksanaan kegiatan dari foto-foto yang diunggah. Valencia juga melakukan hal yang serupa. “Jadi sebisa mungkin kita akan memaksimalkan media sosial agar amanah bisa kita salurkan dengan tepat,” jelas Valencia.
Namun sikap proaktif dari masyarakat pun perlu diperlukan untuk selalu melihat perkembangan sebelum mengulurkan bantuan. “Saya memerhatikan update status di facebook yang bersangkutan, untuk memastikan dia benar-benar masih membutuhkan,” kata Amalia. Sementara Irma memilih untuk mengecek langsung pada pengirim pesan untuk mengetahui bantuan apa yang dibutuhkan sekaligus untuk memastikan kebenaran informasinya.
Source: Good HouseKeeping Edisi Februari 2013 Halaman 81
(vem/GH/dyn)