"Aku memang pernah mencintaimu Ndi, tapi itu dulu..." tegasku pada Andi di tengah gerimis dan dinginnya malam.
Sudah beberapa hari ini ia terus mengejar jawaban ajakan balikan denganku. Sebenarnya, dari sikapku saja seharusnya ia sudah tahu. Aku sudah muak dengannya. Aku tak ingin kembali lagi padanya. Lukaku sudah terlalu dalam, dan kurasa memang dia bukan sosok yang harus kupertahankan.
"Tapi Win, pertimbangkan lagilah. Dulu aku memang bodoh telah meninggalkanmu. Aku sadar, bahwa kaulah yang kucinta..." katanya lagi.
Mataku menerawang jauh, mengingat peristiwa dua tahun lalu saat aku ditinggalkan dengan hati yang penuh luka.
***
"Kamu dipukul Andi lagi Win?" desak Wulan marah. Ia sudah bisa menebak, siapa lagi yang akan membuat wajahku lebam jika bukan kekasihku yang temperamen itu. Aku hanya terdiam. Aku tak sanggup menceritakan semua kejadian pilu semalam.
Hanya gara-gara aku terlambat membalas SMS-nya saja, ia marah-marah dan membentakku. Tangannyapun melayang, mendarat tepat di wajahku. Seketika tubuhku limbung, dan Andi langsung panik. Ia berkali-kali meminta maaf padaku. Mengaku bahwa ia khilaf (aku sudah bosan mendengar kalimat khilafnya ini) dan berjanji tak akan mengulanginya.
Entah aku yang mungkin terlalu bodoh, aku percaya saja. Kuanggap memang Andi sedang belajar mengendalikan emosinya. Mengendalikan dirinya yang ringan tangan itu. Aku begitu mencintainya, sangat mencintainya.
"Aku nggak apa-apa kok Lan. Lagian Andi sudah minta maaf. Aku memang yang salah," jelasku. "Tapi nggak bisa begini dong. Masa tiap dia marah kamu selalu yang jadi sansaknya. Win, ini namanya abuse! kekerasan! Kalau komnas wanita tahu, sudah dipenjara itu si Andi," Wulan mendadak meledak-ledak panas penuh emosi. "Lan, tolong jangan laporin yah. Dia sudah minta maaf kok, dan aku sudah memaafkannya.
"Ah terserah kamulah, aku capek belain kamu dan kamu malah nggak sadar juga." Wulan marah, kulihat perlahan punggungnya menghilang di ujung jalan. Aku yang terdiam berpikir dan terus menenangkan diriku sendiri. Sebenarnya aku sudah tak tahan lagi, tetapi entah mengapa aku ingin bertahan, sekali lagi bertahan untuk Andi.
***
"Kali ini Andi ke mana Win?" tanya Wulan saat aku merebahkan punggungku setelah seharian mengumpulkan bahan untuk skripsi. "Katanya sih lagi sibuk ngerjain skripsi juga Lan. Kenapa?" tanyaku balik. "Oh... skripsi. Kamu sudah berapa lama nggak ketemu dia?" Pertanyaan Wulan seperti menyimpan suatu penyelidikan. "Entah ya, aku sendiri nggak sadar. Biasanya memang kami begitu. Nggak setiap hari jalan seperti pasangan lain. Eumm... kalau kuingat-ingat, kayaknya sudah 2 minggu deh. Tapi kan dia sibuk Lan, akunya juga, nanti juga kalau udah longgar pasti ketemu," jelasku, yang aku juga sadar sebenarnya kalimat itu hanya untuk menghiburku. Aku sendiri juga sebenarnya merasa ganjil, mengapa kekasihku yang biasanya posesif itu mendadak rajin dan sibuk dengan skripsinya?
"Kamu itu terlalu sabar Win.. terlalu bodoh. Punya kekasih yang emosian, suka mukul, nggak setia..."
"Nggak setia apa maksudmu?" tanyaku. Cerita Wulan kemudian membuatku geram. Ah, Wulan ini pasti mengada-ada. Mana mungkin Andi selingkuh, dia begitu menyayangi dan protect pada aku.
Kepercayaanku pada Andi seketika buyar, saat Wulan menunjukkan foto-foto mesra Andi dengan seorang yang kukenal. Teman kampusku sendiri, tapi memang aku tak dekat dengannya.
"Kamu dapat dari mana?"
"Sudahlah. Nggak penting aku dapat dari mana. Yang jelas, aku pengen kamu itu nggak terluka lagi. Sudah jelas-jelas pria ini jahat sama kamu. Ngapain kamu pertahanin Win?" Perkataan Wulan tajam, langsung menuju sasaran.
"Bisa saja kamu salah orang Lan. Aku yakin, Andi nggak gitu kok" aku marah dan meninggalkan Wulan sendiri di kamarnya. Kembali ke kamarku dengan sejuta pertanyaan dan amarah yang aku sadar sudah terkumpul dan mulai meluap. Andi... apa benar apa yang dikatakan Wulan tentangmu? Tanyaku dalam hati.
Aku membiarkan pertanyaan itu tersimpan, dan masih dengan sabar menunggu kekasihku...
***
Sudah sebulan aku menunggunya, tak ada kabar. Telepon, SMS, tak satupun kudapatkan jawaban. Bahkan, aku sulit sekali bertemu dia di kampus, atau di rumah kosnya. Ke mana dia?
Hari demi hari, perkataan Wulan sepertinya bukan hanya sekedar wujud dari rasa ketidaksukaan dirinya pada Andi. Sudah 2 minggu lamanya aku dan Wulan juga menjaga jarak, tidak bicara. Aku masih membela Andi, yang jelas-jelas sebulan menghilang.
Aku merasa bodoh. Sangat bodoh. Sore ini aku akan mencari Wulan dan meminta maaf padanya. Soal Andi, entahlah, mungkin ini jalan yang terbaik agar aku bisa lepas darinya.
Akupun mengambil langkah menuju rumah kosku, berharap segera mendapatkan keteduhan karena terik sinar matahari membuatku lelah dan haus. Hanya beberapa langkah dekat tempat tinggalku, aku mengenali sesosok pria yang tengah duduk di atas motornya.
Andi. Dalam hati aku girang, sekaligus berharap di tengah dilema yang sedang kualami. Terbayang bagaimana sikap temperamennya, dan bagaimana dalam hati sebenarnya aku juga ingin lari darinya. Tetapi, rasa cintaku kali itu membuatku buta. Aku berlari kecil menghampirinya dan memeluknya.
"Kamu ke mana aja sih?" tanyaku manja.
Tubuhku didorong hingga jatuh ke jalan. "Aku muak sama kamu. Kamu itu kekasih macam apa sih? Kamu nggak juga nyari aku sekalipun aku nggak datang. Kamu punya kekasih lain? Hah?" Dilayangkannya lagi sebuah bogem mentah ke wajahku. "Ndi, sakit Ndi!" teriakku berusaha berdiri dan kabur.
"Mau ke mana kamu? Mau kabur dan pergi ke kekasihmu itu?" diraihnya tanganku dengan kasar. Aku tak tahan. Aku berteriak dan berusaha lepas. "Lepasinnnn! Apa-apaan sih kamu menuduh yang nggak-nggak? Bukannya kamu yang pergi dengan Cynthia? Aku sudah mencari kamu ke mana-mana, aku nggak pernah pergi. Aku selalu menunggu. Kamu yang nggak pernah datang."
Sekali lagi aku ditamparnya. Suara keributanku dengan Andi mengundang perhatian seisi kosku. Wulan langsung berlari menghadang Andi. Dan teman-temanku lainnya berusaha mengusir Andi dengan segala benda yang dibawanya.
"Kamu nggak apa-apa Win?" tanya Wulan. Aku menangis di pelukannya. Aku tak tahu lagi harus berbicara apa. Kekasih yang kucinta itu mungkin sudah hilang akalnya. Aku sampai seperti tak mengenalinya. Aku tak tahu kenapa ia yang menghilang justru marah dengan tak logis.
"Sudah Win, sudah. Kita ke dalam yuk..." kata Wulan dan teman-teman menenangkanku. Di dalam, aku dirawat dan dibantu mengompres lukaku. Kudengar dari teman-teman, katanya Cynthia memutuskan Andi. Dan mungkin hal itu membuatnya emosi, sehingga ia mencari perkara untuk melampiaskan emosinya kepadaku.
Aku tak mengerti, kenapa harus aku yang dicari. Tapi mungkin karena sikapku yang terlampau nerimo. Diam atas semua tindakan kasar yang dilakukannya kepadaku.
Aku sadar. Andi salah, tetapi aku jauh lebih salah karena telah membiarkan kekerasan fisik yang dilakukannya terhadapku malah kututupi dan kubiarkan semakin merajalela. Sejak hari itu, pergi ke mana-mana aku tak boleh sendirian. Teman-teman selalu menjagaku, dan melindungiku.
Aku masih terlalu takut mengambil tindakan untuk melaporkan Andi. Sejenak aku ingin tenang dan melupakan saja masalah ini. Aku hanya berharap, ia tak menampakkan batang hidungnya lagi.
***
Dua tahun berlalu. Tanpa sengaja dua minggu lalu aku bertemu dengan Andi. Sejak saat itu, dia berusaha menyambung kembali silahturahmi. Namun, bayangan masa lalu begitu membuatku takut.
Aku masih berusaha bersikap sopan terhadapnya. Aku menghindar, aku sangat takut.
Sampai akhirnya hari ini, aku bertemu dengannya, luka yang perlahan mulai sembuh itu seketika sakit lagi.
"Aku benar-benar minta maaf Win. Aku salah. Kamu masih sayang aku kan?" Andi berlutut dan berusaha bersimpuh di kakiku.
Aku melompat, menjauh darinya. "Aku sudah katakan padamu, Ndi. Aku memang pernah mencintaimu, tapi itu dulu! Kini aku sudah tak punya perasaan apapun. Tolong... aku hanya ingin menjalani hidupku," kataku berusaha pergi darinya.
Ia terdiam. Wajahnya memerah. Kakiku terasa berat seperti terpaku. Aku ingat wajah itu, aku ingat raut muka itu. Raut muka marah yang siap menghujaniku dengan bogem mentahnya. Aku... aku...
***
Aku tersadar di sebuah ruangan asing yang penuh dengan aroma obat-obatan. Aku berusaha bangun, tetapi tubuhku terasa sakit semua. Dio segera menghampiriku. "Kamu sudah siuman?" dibelai dan digenggamnya tanganku.
"Aku di mana?"
"Kamu berada di bawah penanganan dokter. Sudah tiga hari kamu tidak sadarkan diri. Seorang bapak tua menemukanmu di dekat blok rumah. Kamu langsung dibawa ke rumah sakit karena tubuhmu penuh luka hantaman. Ada beberapa luka tusukan juga di perutmu, sehingga perutmu harus dijahit. Syukurlah, kamu cepat mendapatkan pertolongan sehingga kamu nggak kehilangan banyak darah..." jelas Dio membuatku tercengang. Jadi, dia melakukannya lagi. Dia tega melakukannya lagi...
"Aku... ini bukan perampokan Dio. Aku tahu siapa pelakunya. Aku tak akan diam lagi kali ini. Aku harus melaporkannya..." kataku lirih sambil berlinang air mata.
Seharusnya tindakan melaporkan Andi sudah kulakukan sejak dulu. Tidak kutahan-tahan, dan kuanggap selesai begitu saja. Andi yang kupercaya akan berubah seiring waktu, tak jua menunjukkan penyesalannya. Ia tetap Andi yang sama, selama ia tak mendapatkan hukuman dan disadarkan.
Teman... apabila kamu mengalami hal yang sama sepertiku. Aku berharap kamu tidak diam saja. Segera lakukan pelaporan pada pihak yang berwenang. Dan Komnas Perempuan juga tidak akan membiarkan kekerasan ini terulang lagi padamu. Jangan takut ya, agar kau bisa terbebas dari kekerasan fisik seperti yang aku alami.
Punya masalah yang sama? Adukan ke PENGADUAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN - KOMNAS PEREMPUAN
BACA JUGA:
One Billion Rising, Suarakan STOP Kekerasan Pada Wanita