Dia Meminta KESEMPATAN KEDUA

Fimela diperbarui 24 Feb 2013, 19:00 WIB

Kesalahan. Pertengkaran. Perpisahan. Lalu kata maaf dan meminta kesempatan kedua. Di sisi lain, ada cinta yang tersisa. Namun, pantaskah ia diberi kesempatan?

Oleh Sanita Deselia

Perselisihan dalam sebuah hubungan tidak bisa dihindari. Namun mengapa ada maaf yang tak bisa diberikan, sementara bagi yang lain terbuka kesempatan untuk memperbaiki hubungan. Perselingkuhan, masalah ekonomi, sampai kekerasan seringkali menjadi penyebab perpisahan. “Sebetulnya kondisi-kondisi penyebab utama perceraian lebih karena dampaknya pada pernikahan yang bersifat destruktif. Pernikahan yang berhasil kan bersifat konstruktif,” ujar Roslina Verauli, M.Psi psikolog keluarga dari PacHealth@ThePlaza dan juga penulis buku Love Cold.

TIDAK SEKADAR MAAF

Memberi maaf kadang sama sulitnya dengan meminta maaf. Ada banyak penyebab mengapa maaf tidak bisa diberikan, atau sekalipun diberikan Anda ragu, apakah bisa menerimanya kembali menjadi bagian hidup Anda. Berikut pertimbangan yang perlu dipikirkan.

KASUS #1 Terjadi Perselingkuhan

Bentuk perselingkuhan bisa bermacam-macam. Bisa berupa perselingkuhan hati yang akhirnya diketahui pasangan. Rasa tertarik diam-diam terhadap orang lain sampai mengganggu pasangan. Komunikasi intens dengan rekan lawan jenis. Sampai adanya hubungan fisik yang seharusnya hanya dilakukan suami istri.

Pertimbangan: Setiap kasus perselingkuhan memiliki keunikan tersendiri yang tidak bisa digeneralisasi. Ada yang sekadar chatting dengan sahabat lama sudah membuat luka yang sangat dalam, sementara bagi yang lain makan malam bersama mantan bukan kesalahan besar. Namun psikolog yang akrab disapa Vera ini menyarankan memaafkan atau tidak, umumnya ditinjai dari kemampuan pasangan untuk memahami bahwa tindakannya berdampak destruktif terhadap pernikahan lalu ia bersedia mengubahnya kembali menjadi konstruktif. “Jadi tak sekadar meminta maaf atas aksi perselingkuhan yang dilakukan, namun juga dengan bersedia terlibat membenahi dan menciptakan perubahan dalam masalah yang dihadapi,” ujar Vera. Entah itu dimulai dengan hal sepele seperti menghapus nomor mantan kekasih sampai pada kesepakatan untuk tidak berhubungan dengan orang ketiga tersebut (meski untuk hal-hal bersifat profesional sekalipun). Keseriusan juga bisa ditunjukkan dengan bersedia ikut konseling pernikahan maupun konseling masalah pribadinya.

KASUS #2 Kekerasan atau Sikap Kasar

Pertengkaran hebat tidak jarang memicu kekerasan karena emosi tidak terbendung (KDRT) pun beragam bentuknya. Mulai kekerasan fisik sampai kata-kata kasar. Sakit hati dipadu sakit fisik adalah kombinasi sempurna untuk, membuat seseorang sulit memaafkan.

Pertimbangan: Ada beberapa faktor yang memiliki kontribusi atas terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Bisa akibat stres karena persoalan ekonomi, sampai gangguan kepribadian seperti antisocial dan sebagainya. “Untuk beberapa faktor ini, hanya bisa diantisipasi dengan melakukan konseling bersama ahli agar segera dibenahi,” kata Vera. Dalam menghadapi perlakuan kasar, kita haruslah memiliki sikap. Vera menerangkan kalau ditinjau dari teori-teori dengan orientasi psikodinamika, saat kekerasan terjadi pelaku kekerasan justru mendapatkan penguatan saat pasangan terlihat ‘bersedia’ diperlakukan secara kasar dengan kekerasan. “Bahkan pelaku justru mendapat dominasi maksimum saat ia dapat melakukan kekerasan atas pasangan yang cenderung pasif dan tidak asertif,” ungkap Vera.

Pola kekerasan yang terus berulang dan bahkan semakin intens dan  berat bisa terjadi. Seseorang dengan gangguan kepribadian memeroleh kepuasan secara emosional atau seksual setelah melakukan kekerasan pada pasangan yang terlihat bersedia menerima perlakuan tersebut. Maka sangat dibutuhkan sikap tegas jika kekerasan terjadi. Sikap tegas di sini bukan berarti balas bersikap kasar seperti balik memaki atau memukul. Ini tidak dianjurkan karena bisa memicu kekerasan lebih hebat lagi. Anda bisa mengatakan “Stop, kamu menyakiti saya!” untuk menunjukkan perlakuan tersebut tidak diterima.

KASUS #3 Masalah Finansial

Kesalahan pasangan dalam masalah ekonomi tidak kalah sensitifnya sehingga memicu perpisahan terjadi. Bentuknya pun beragam mulai selingkuh keuangan, terlilit hutang oleh transaksi di luar pengetahuan Anda, sampai sikap tidak bertanggung jawab terhadap keuangan keluarga.

Pertimbangan: Saat ini tidak sedikit perempuan yang mandiri secara finansial. Masalah ekonomi bisa jadi bukan semata jumlah materi yang jadi persoalan. Namun sikap tanggung jawab pasangan yang menjadi titik pangkal permasalahan. Pasangan yang pengangguran dan enggan bertanggung jawab terhadap nafkah keluarga sampai menyelewengkan penggunaan uang untuk kebutuhan rumah tangga demi kepentingan dirinya sendiri. Menurut Vera masalah dan kekerasan secara finansial tak hanya abai memberikan nafkah. “Namun juga membuat pasangan bergantung secara finansial dan menggunakan kondisi finansial sebagai ancaman. Mengancam tak memberi nafkah, danlain sebagainya,” ujar Vera. Membuat ketergantungan secara finansial bisa dilakukan dengan melarang istri bekerja atau berwirausaha tanpa alasan yang jelas. Sejauh mana Anda bisa bertahan sekali lagi Vera mengingatkan untuk melihat dampaknya terhadap individu destruktif atau tidak. Anda bisa meminta bukti keseriusan untuk memperbaiki misalnya dengan menunjukkan bahwa sekarang ia sudah tak lagi menganggur, utangnya sudah lunas atau sepakat memberi kesempatan bagi Anda untuk berkarya dalam karier.

BERPISAH LEBIH BAIK JIKA...

Vera mengungkapkan pada dasarnya pernikahan yang berhasil membawa banyak dampak positif terhadap hubungan pernikahan itu sendiri, dan orang-orang yang terlibat di dalamnnya, seperti anak-anak. “Anak-anak secara emosional sehat tumbuh kembangnya dalam pernikahan harmonis,” ujar Vera.

Rekonsiliasi hubungan sulit untuk berhasil ketika pihak-pihak yang terlibat enggan melakukan konseling atau usaha-usaha nyata untuk berbenah. Jika tak mampu membawa pernikahan ke arah yan lebih baik, perpisahan bisa menjadi opsi, sebab menurut Vera pernikahan yang baik tidak menimbulkan dampak destruktif bagi individu. Jika perilaku negatif seperti kekerasan masih dilakukan dampaknya bisa mengakibatkan luka fisik, atau tekanan emosional yang berdampak pada rendahnya self-esteem, rendah diri, ketakutan berkepanjangan hingga mimpi buruk. Dampak ini tidak hanya bisa terjadi pada Anda atau pasangan. Anak-anak pun mungkin saja mengalami hal tersebut. “Gejala lain yang bisa dirasakan adalah tekanan emosi yang mendalam bahkan depresi terhadap individu, perasaan tak berdaya termasuk gejala-gejala psikofaal, seperti rasa lelah berkepanjangan, sakit kepala hingga insomnia. Bahkan jika terjadi ancaman terhadap jiwa maka sudah cukup jadi pertimbangan dasar untuk berpisah,” papar Vera.

Source : Good HouseKeeping Edisi Januari 2013 Halaman 63

(vem/GH/dyn)
What's On Fimela