Rectoverso, buku karya Dewi Lestari ini sempat mencuri perhatian para penggemar literatur di Indonesia. Memadukan fiksi dan lagu, buku ini langsung laris di pasaran. Lima cerita pendek dalam buku tersebut akan diangkat ke layar lebar. Marcella Zalianty (32), Rachel Maryam Sayidina (32), Olga Lydia (35), Happy Salma (33), dan Cathy Sharon (30) bertindak sebagai sutradara. Banyak cerita menarik di balik debut mereka membuat film bersama. Kepada GH Indonesia mereka berbagi kisah.
Tidak Sekedar Modal Nekat
Minim pengalaman, waktu yang singkat, dan padatnya aktivitas tidak menghalangi Rachel, Olga, Happy, dan Cathy untuk mengatakan “iya” saat tawaran untuk menyutradarai film datang dari Marcellla yang selain bertindak sebagai sutradara juga berperan sebagai produser untuk Rectoverso.
“Mungkin saya dan teman-teman yang minim pengalaman memang nekat mengambil pekerjaan ini. Tapi yang lebih nekat ya yang berani menawarkan pekerjaan ini pada kami,” celetuk Rachel di sela-sela persiapan pemotretan di studio GH Indonesia, sambil melirik Marcella yang langsung diamini teman-temannya.
Marcella sendiri mengaku memang nekat menyerahkan lima cerita ini pada sutradara yang minim pengalaman termasuk dirinya. “Di industri bisnis perlu kenekatan. Tapi saya mengajak mereka juga dengan beberapa pertimbangan. Pertama karena ada chemistry. Kami harus mengerjakan bidang yang dicintai untuk bisa total melakukannya. Saya tahu baik Rachel, Happy, Cathy, dan Olga mencintai bidang film dan punya komitmen dan keseriusan di bidang ini,” ujar Marcella. Spirit yang sama itulah yang membuat Marcella yakin kalau proyek ini bisa dijalankan.
Meski minim pengalaman, persiapan yang matang menjadi kunci lancarnya eksekusi di lokasi syuting. “Awalnya memang modal keberanian, tapi kami juga punya komitmen untuk membuat film terbaik. Brainstorming sebelum produksi dikuatkan. Meeting dilakukan terus sampai perencanaan benar-benar matang,” ujar Rachel. Sependapat dengan Rachel, kepercayaan yang besar membangun rasa tanggung jawab dalam diri Happy, Olga, dan juga Cathy untuk bekerja keras. Sebelum syuting mereka mengikuti workshop bersama. “Di workshop itulah saya memperoleh arahan teamwork yang baik seperti apa, sharing pengalaman sekaligus semangat,” ujar Happy.
Kejutan-kejutan di Lokasi Syuting
Meski persiapan telah matang, tetap saja kejutan di lokasi syuting tidak bisa terhindarkan. Mulai kendala cuaca, pergantian pemain, hingga perubahan lokasi syuting tiba-tiba. Rasa panik, kaget, dan stres tentu menghampiri, terlebih masing-masing sutradara hanya diberik waktu sekitar dua hari untuk merampungkan proses syuting.
Saat hari H syuting Malaikat Juga Tahu pemeran ibu tiba-tiba jatuh sakit. “Sementara menunggu sembuh tidak memungkinkan, karena semua kru sudah siap. Dalam waktu singkat kita harus menemukan pemain pengganti,” cerita Marcella.
Keputusan yang selalu serba cepat ini sempat membuat Happy terkaget-kaget. “Saya biasanya ada manajer atau kakak yang membantu memutuskan, tapi di lokasi semua menunggu keputusan saya,” ujar Happy yang mengaku menyutradarai juga adalah bagian proses pencarian identitas diri. Ia mengaku jadi lebih bisa mengenal diri sendiri, bahwa ia kurang punya leadership.
Kejutan lain dialami oleh Cathy, setting suasana bar yang dibutuhkan telah diubah menjadi kantor dan itu baru diketahui pada hari H, Cathy harus berpikir cepat agar mendapat suasana bar dengan kondisi yang ada.
Hal serupa dialami Happy yang syuting di Bali. Bar yang ia pilih ternyata terkena air pasang, ia pun akhirnya menyulap sebuah panti pijat menjaid bar. “Departemen artistiknya hebat banget sampai-sampai bar buatan itu disangka bar sungguhan. Alhasil banyak turis duduk di bar tanpa tahu sebelumnya bahwa kami sedang syuting,” cerita Happy riang.
Meski banyak hal tak terduga di lokasi, Olga merasa beruntung dan nyaman berada di tengah-tengah orang yang mumpuni di bidangnya. “Di lapangan saya percaya ada di tengah orang-orang terbaik. Kalaupun ada kesulitan kita saling membantu. Tapi kita memang harus cepat tanggap dan bisa memutuskan untuk memilih yang terbaik di antara pilihan yang ada, dan itu tidak bisa menunggu berjam-jam,” ujar Olga.
Walau demikian pergesekan tetap ada dan tidak bisa dihindari. “Di hari terakhir syuting saya jadi public enemy,” ujar Rachel terkekeh. Ia menurutkan saat itu sudah jam tiga pagi semua kru dalam keadaan lelah dan ingin pulang. “Semua menuntut agar scene hujan-hujanan di-drop saja, tapi saya tidak setuju karena jika tidak dilakukan akan ada pesan yang tidak tersampaikan,” ungkap Rachel. Karena sutradara adalah jendral di lapangan akhirnya semua mengikuti keinginan Rachel. “Tapi setelah pemain saya hujankan malam itu dan syuting tetap berjalan di pagi buta, ternyata saat editing dialog penting itu di-cut,” cerita Rachel tertawa.
Keterbatasan waktu pun harus pintar-pintar disiasati. “Saat sinar matahari tidak bisa didapat, kalau menuruti kemauan sendiri sih inginnya besok saja diulang syutingnya, tapi kita tak boleh egois, saat DOP yang sudah senior bisa mengakali kita harus percaya. Kita harus pandai menyiasati waktu syuting yang hanya dua hari. Retake (pengambilan gambar) harus lihat waktu. Saya pilih yang terbaik dalam waktu singkat,” ujar Cathy.
Menjahit Cerita
Meski film Rectoverso terdiri dari lima cerita berbeda. Marcella memilih untuk tidak menyajikan dalam bentuk omnibus biasanya yang setiap cerita berdiri sendiri dan disajikan sampai habis baru berganti cerita lainnya. “Semua cerita akan disambung menjadi satu film utuh. Memang ketika di tangan masing-masing suutradara, ceritanya fokus sendiri-sendiri. Tetapi setelah masing-masinng film selesai itu menjadi tantangan untuk menyambungnya menjadi satu film utuh dengan lima problem berbeda,” ujar Marcella.
Olga mengaku lumayan cerewet di editing karena baginya satu-dua detik itu berpengaruh penting. Ia ingin mood penonton enak. Iamemberi contoh adegan yang seharusnya bisa membuat orang tersenyum, tapi kalau terlalu cepat penonton bisa tidak menangkapnya.
Membuang adegan memang bukan perkara mudah. Berbeda dengan proses syuting yang tergolong singkat, proses editing sebaliknya cukup memakan waktu. Film yang rencananya akan diluncurkan Oktober tahun lalu terpaksa dimundurkan karena proses editing yang belum selesai. “Proses editingnya cukup lama. Bolak-balik edit terus sampai ada versi G segala. Kami terus mencoba bagi cerita itu berdasar emosi agar feel-nya tidak terganggu. Saya juga sempat stres. Tapi ternyata memang harus sabar, jeli, fokus dan memberi ekstra energi untuk mencapai hasil yang maksimal,” ujar Marcella yang mengaku cukup puas dengan hasil yang didapat.
Source : Good HouseKeeping Edisi Januari 2013 halaman 52
(vem/GH/dyn)