Ia merestorasi film Lewat Djam Malam dan membawanya ke Festival Film Cannes, Perancis. Baginya, film lawas mengandung informasi penting tentang zamannya.
Oleh Fiona Yasmina
Film bersejarah karya Usmar Ismail berjudul Lewat Djam Malam diputar sebagai film pembuka di Festival Cannes, Prancis, Mei 2012 lalu. Banyak yang terpukau pada hasil restorasi film lawas tersebut. Salah satu orang yang berperan pada keberhasilan itu adalah mantan manajer program Kineforum-Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Lisabona Rahman (36). Bersama rekannya, Lintang Gitomartoyo (31), manajer program filmindonesia.or.id dan salah satu pimpinan di Yayasan Konfiden, Lisa sukses merestorasi film Indonesia (dibuat pada 1954) yang dibintangi oleh AN Alcaff dan Netty Herawati tersebut. Mereka juga bekerja sama dengan pengamat film dan penulis Katalog Film Indonesia, J.B. Kristanto, serta Direktur Artistik National Museum of Singapore Philip Ceah. Keempat pengamat film itu menjalin kerjasama dengan keluarga Usmar Ismail dan lembaga film internasional L’Immagine Ritrivata serta World Cinema Foundation. Film itu direstorasi di laboratorium film di Italia hingga menghabiskan biaya sekitar Rp 1,5 miliar.
FILM, SARANA MENGENAL INDONESIA
Hobi bisa digeluti serius, bahkan didedikasikan kepada negara. Lisa membuktikannya. “Semua diawali dari kesukaan saya menonton film. Sifat film sebagai media perekam membuat saya tertarik untuk menekuni dunia film,” kata Lisa. Saat kecil Lisa tinggal di luar negeri. Orangtuanya mengenalkan Indonesia dengan memutarkan beberapa film-film Indonesia sebagai hiburan di rumah. Melalui proses itulah ia mulai jatuh cinta pada dunia perfilman.
Apa kesibukan Anda saat ini?
Saya sedang belajar, karena mendapatkan beasiswa dari Universiteit van Amsterdam. Saya mengambil studi S2 Preservation and Presentation of the Moving Image, Profesional MA Programme, Universiteit van Amsterdam, Belanda.
Apa yang membuat Anda mencintai dunia perfilman?
Saya mengenal film sebagai alat pendidikan dan hiburan yang menyenangkan. Menurut saya, film (Indonesia) harus dilestarikan sebagai mana saya mengenalnya agar bisa diakses oleh masyarakatnya. Film juga merupakan bahan studi yang sangat menarik, karena itu saya ingin bekerja melestarikan dan mempertunjukkan film kepada penonton.
Bagaimana awal kisah Anda bergabung dengan Kineforum?
Tahun 2002, redaktur majalah Gatra, Amarzan Loebis, meminta saya menulis resensi film ‘Aku Ingin Menciummu Sekali Saja’ karya Garin Nugroho. Saat itu saya belum pernah menulis resensi film, tapi saya terima saja. Ternyata saya suka dan ketagihan, saya pun terus menulis resensi film. Sampai akhirnya, di ujung tahun 2006, salah satu aktor teater/film dari Teater Koma dan DKJ, Sari Madjid, menawari saya bekerja di sana untuk mengelola Kineforum. Saya berhenti dari Gatra di awal 2007. Sebab saya menilai tawaran itu sangat menarik untuk dicoba. Sebelumnya saya diwawancari anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), M.Abduh Aziz, Shanty Harmayn, Farishad Latjuba, serta Riri Reza. Setelah 4 tahun bekerja, tepatnya di tahun 2011 saya melepas Kineforum untuk studi di Amsterdam.
Lalu apa saja yang telah Anda berikan untuk dunia perfilman di Indonesia?
Saya mengerjakan apa yang saya minati. Saya senang mengumpulkan informasi, mengolah, dan menyajikannya.s ejak t ahun 2007, saya bekerja sama dengan J.B.Kristanto, sampai akhirnya kami bisa menyediakan data tentang film-film Indonesia. Tepatnya data film-film Indonesia sejak 1926 sampai sekarang secara online di situs www.filmindonesia.or.id . Sampai saat ini basis data kami mencatat, sudah lebih dari 100 ribu orang yang mengaksesnya setiap bulan.
Apa yang Anda harapkan?
Apa yang kami berikan bisa berarti untuk masyarakat dan selama ini mereka menerima dan menganggap apa yang kami berikan memiliki manfaat. Saya harap hal yang sama juga terjadi pelestarian film ini. Saya ingin mengerjakan sesuatu yang saya sukai dan berharap masyarakat menikmati serta merasakan manfaatnya.
Beratkah meninggalkan Kineforum?
Saya tidak bisa mengurus bioskop di Jakarta dari Amsterdam. Tapi saya tidak merasa ini seperti bentuk pengorbanan justru studi ini bisa menjadi lanjutan dari perjalanan karier saya ke babak selanjutnya di dunia perfilman.
Apa yang berusaha Anda kuasai di program tersebut?
Saya belajar banyak soal pelestarian gambar bergerak (moving image) seperti film, video, seni media, atau seni digital. Pendidikan ini membantu saya membangun perspektif kerja di masa depan untuk pelestarian film.
FILM INDONESIA MEMBUKA FESTIVAL CANNES
Piring yang pecah tentu tidak selalu sempurna ketika disatukan. Sama seperti film Lewat Djam Malam yang telah rusak, sulit untuk diperbaiki. Berawal dari kerjasama penerbitan buku Katalog Film Indonesia dalam bahasa Inggris dengan National Museum of Singapore (NMS) pada Januari 2010, Lewat Djam Malam dipilih sebagai film pembuka yang harus direstorasi. Film tersebut dianggap memiliki nilai estetika dan sejarah yang tinggi. Tapi negatif asli yang tersisa hanya ada delapan dari sepuluh gulungan film. Beruntung masih ada duplikat kopi positif dan negatif, walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan. Kopi negatif asli, duplikatnya, dan kopi positif yangterbaik disiapkan untuk dikirim ke Bologna. Setelah proses restorasi, film Lewat Djam Malam berhasil menjaid film pembuka program Merdeka! Di National Museum of Singapore, Maret 2012 lalu. Pada bulan Mei, film ini turut mengambil bagian pembuka acara bergengsi, Cannes Classics di Festival Film Cannes ke-65 di Prancis.
Apa yang membuat Anda mengirimkan film itu ke Cannes?
Salah seorang programmer profesional, John Badalu, menyarankan mendaftarkan film itu untuk diputar di program Cannes Classics. John merupakan programmer dan direktur Q Film Festival Jakarta, ia juga bekerja sebagai pelaku seleksi film untuk banyak festival film internasional seperti Berlinale.
Apa tanggapan penonton?
Tidak ada tanggapan khusus dari penonton di Cannes. Tanggapan buat saya datang dari keluarga dan teman-teman sekerja. Mereka semua senang karena saya dan tim restorasi Lewat Djam Malam berhasil mengerjakannya. Mereka mendoakan saya supaya bisa terus bekerja di bidang yang saya minati ini.
Anda hanya tertarik dengan film-film lama?
Sebenarnya saya tertarik pada film sebagai media rekam. Tidak hanya film lama, menurut saya film-film baru juga tidak kalah menarik. Begitu juga dengan genre-nya, tidak hanya dokumenter. Sebagai media perekam, saya pikir semua film adalah film bersejarah karena mengandung informasi yang penting tentang zamannya.
Lalu apa rencana Anda selanjutnya?
Saat ini saya konsentrasi menyelesaikan kuliah. Setelah itu barulah saya melihat lagi, apakah saya bisa mengerjakan restorasi film-film lain di Indonesia.
Jika memungkinkan, menurut Anda film apa yang (juga) menarik untuk direstorasi?
Saya ingin sekali bisa merestorasi film-film Asrul Sani, Teguh Karya, dan Nyak Abbas Acup. Mudah-mudahan saya bisa melakukan pekerjaan yang saya sukai ini. Barangkali ini bukan hal yang mudah, tetapi saya akan berusaha.
Source : Good HouseKeeping Edisi Januari 2013 halaman 49.
(vem/GH/dyn)