I Should’ve Read The Signs

Fimela diperbarui 23 Feb 2013, 15:00 WIB

Hidup memang terasa sempurna bagi seorang Engel Nikijulu. Kariernya bagus, dan ia akan menikah dengan seorang pria yang sepertinya Mr.Right. but will it last?

Coba bayangkan ini: seorang pria dewasa – gagah, tampan, (berpenampilan) mapan – menjemput Anda di pintu rumah dengan motor...Ducati! Bagaimana hati tidak “meleleh” dibuatnya. Apakah Anda pernah memimpikannya? Well, I’m living it. Pria itu bernama Ron, dan ia adalah seorang warga negara Belanda. Ya, ketika ia menjemput saya di sore itu, kami berada di Amsterdam, dan ia akan membawa saya berkeliling kota, di tengah cuaca summer yang hangat dan bersahabat . sounds too perfect to be true, right?

Selama saya bersamanya, memang semua terasa seperti itu...perfect. walaupun perbedaan usia kami cukup renggang (dia 42 tahun, saya 26), tapi apalah artinya sebuah angka? Saya bertemu Ron saat saya menemani Ibu saya ke Belanda selama tiga bulan (kami berangkat Mei 2009). Oh, koreksi, sebenarnya saya dipertemukan dengan Ron – tanpa sepengetahuan saya, sebelum berangkat, Ibu, sang cupid, telah mempersiapkan LIMA kandidat pria untuk saya temui karena ia selalu punya cita-cita saya menikah dengan orang Belanda. Why? Karena asal keluarga kami dari Ambon (walaupun, anehnya, Ibu saya sendiri orang Tasik) dan kami punya banyak keluarga yang menetap di Belanda.

So, dengan tujuan ingin menyenangkan dirinya, saya pun oke-oke aja setelah diberi tahu mengenai surprise plan ini. Lima kandidat itu semua telah diseleksi oleh teman-teman keluarga di Belanda. Dan kelima-nya berasal dari berbagai latar belakang – ada yang pengacara, pemilik toko bunga, sampai ke pemilik peternakan. Tapi pada akhirnya yang tersisa hanya dua: Mike, yang berusia 32, dan, yes, Ron, yang 10 tahun lebih tua. Namun Mike terpaksa “mengundurkan diri” karena dia jujur mengatakan tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh.

And then there’s Ron. Yup, Ron yang first impression terlihat sangat “matang” – bukan dalam pengertian usia ya (karena dengan badan tegap hasil bermain squash secara rutin, dia sama sekali tak terlihat berumur 40 tahun) tapi dari penampilan yang dalam bahasa orang Belanda disebut necis. Ditambah lagi ia charming dan terlihat well educated.

Well, jelaslah, karena ia sendiri adalah seorang insinyur yang pekerjaan utamanya adalah merancang komponen mobil. Di mata saya: he’s the whole package – suatu sosok yang “aman” dan, bagi seorang wanita berusia 26 tahun, sangat bisa menjadi “tokoh pembimbing” yang ideal.

Fast Love

Selama tiga bulan, saya dan Ron berhubungan secara intens. Kami tak henti bertemu: saya tak henti dimanjakan dengan berbagai macam treat. Bahkan setelah pulang nge- date pun kami tetap berhubungan via email atau BB. Dan, you know what, tanpa ditanya Ron mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya saya sudah tahu dari awal: Kalau ia sudah pernah menikah dan mempunyai anak laki-laki berusia 14 tahun. But I love his honesty – dengan jujur ia bercerita kalau 10 tahun lalu ia mengajukan cerai karena mengetahui istrinya berselingkuh, dan saya yakin ia tidak bohong, karena ia yang mengurus sang anak seorang diri dan betapa ia sangat memanjakan anak semata wayangnya ini.

Raymond namanya, dan saat pertama kali bertemu, dengan jenaka ia berkata, “Yeayy, I’m gonna have a hot, young mommy!” (Haha). Oiya, kejujuran Ron tak berhenti di situ, selain surat cerai, ia juga menunjukkan betapa “bersih” kondisi internal tubuhnya. Walaupun sebenarnya tak perlu, but, again, loving the honesty.

Di bulan Agustus, akhirnya saya mesti kembali ke Jakarta. It was a sad day, tapi ia berjanji akan singgah ke Jakarta di bulan Desember. Untuk sementara, kami berhubungan via email, BB, dan sesekali, Skype. Sampai akhirnya, Desember pun tiba, bersama dengan kehadiran Ron di Jakarta. Kami pun membuat rencana untuk merayakan Tahun Baru di Bali. Ia kemudian bertanya kapan saya bisa datang lagi – dan mungkin menetap – ke Amsterdam, lalu saya jawab, tanpa ada intensi apapun, kalau saya tak bisa kembali ke sana tanpa ada komitmen lebih. Lalu, terlontarlah kata-kata yang mungkin hampir semua wanita ingin dengar: “Then why don’t we get married.” Mungkin rangkaian kata-katanya tak persis seperti yang dibayangkan, tapi tetap berhasil membuat saya terkejut.

Saya menatap matanya cukup lama, dan ia terlihat serius. Sebagai seorang wanita muda dengan karier yang cukup bagus, tentu sepertinya the-next-step adalah menikah. Oleh karena itu, respon yang keluar dari mulut saya adalah, “Ya”.

Long Distance (Soon-to-be) Marriage

Persiapan pernikahan kami agal tak lazim – sama halnya dengan relationship kami, maka segala urusan pernikahan ini juga dilakukan secara long distance. Segala tetek bengek dan ia membantu dalam hal finansial. Kami telah menetapkan tanggal 12 Desember sebagai hari pernikahan kami. Saya ingin menggunakan adat Ambon saat nikah nanti, dan kebetulan ibu saya juga perias tradisional Ambon. Ia sendiri yang membuat gaun pernikahan saya, beserta dengan rangkaian seragam khusus untuk anggota keluarga dan teman sebanyak 60 pasang.

Mendekati bulan Desember, segalanya hampir beres: Menu catering sudah disiapkan, tenda untuk kebaktian keluarga sudah dipasang, dan undangan telah dikirim – all we’re missing is the groom. That’s why menjelang 1 Desember, kami semua bersemangat menanti kehadiran Ron. Wow, cukup lama juga semenjak saya terakhir bertemu dengannya. Sejak Januari. Dan sekarang, dia akan datang, and he’s coming as my future husband! Awal Desember akhirnya tiba, dan dering telpon hari itu mengejutkan saya, yang mengabarkan kalau...Ron mengalami serangan jantung di bandara Schiphol. Oh my God, saya SHOCK, tak tahu mesti berkata atau berbuat apa. Kalaupun ada, apa yang bisa saya lakukan? He’s THERE and I’m HERE. Saya melihat ke sekeliling dan langsung menangis saat melihat Ibu yang sepertnya terlihat lebih terguncang dari saya. Yang pasti,Ron tak diizinkan untuk terbang ke Indonesia karena health regulations yang ditetapkan oleh pihak maskapai penerbangan.

Hidup Tak Terduga

Setelah rasa shock dan kepanikan mereda, saya baru sadar akan suatu hal – sesuatu yang saat itu sepertinya terdengar sangat trivial tapi ternyata terbukti sangat penting. Saat saya berbincang dengan Ron via telepon untuk mengupdate tentang detail pernikahan, ia sempat mengeluh karena dadanya terasa sakit. Tapi, lantaran saya begitu fokus pada masalah pernikahan, maka saya pun tidak terlalu menggubrisnya. Walau begitu, Ron tetap bersikeras kalau ia akan sembuh, and the wedding will go on as planned. Keluarganya memang punya history penyakit jantung, tapi sampai saat itu, ia tak pernah mengalami sesuatu yang serius. Tapi, yah, tak pernah ada yang bisa menebak jalan hidup seseorang. Anda bisa sehat wal’afiat hampir sepanjang hidup Anda, tapi keesokan harinya, Anda terkena serangan jantung sesaat sebelum menaiki pesawat yang akan membawa ke pernikahan Anda. Dan walaupun betapa optimisnya kalau Anda bisa sehat lagi, tapi tak ada yang bisa memprediksi kalau Anda bisa mengalami serangan kedua. Dan itulah yang terjadi pada Ron. Ia mengalami serangan kedua, dan ketika melihat foto yang dikirim oleh kakaknya di mana ia terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan selang di mana-mana, satu hal yang jelas bagi saya: Pernikahan pasti batal.

Another Wedding

Dalam cerita ini, semestinya sayalah yang merasakan shock lebih besar. Tapi tidak, yang merasakannya (mungkin lebih dari saya) adalah Ibu saya. Yang sebaliknya justru membuat saya juga sedih. It was actually her plan, tapi sekarang semuanya gagal dan ia mesti menghadapi orang-orang yang berasumsi kalau pernikahan batal bukan karena calon mempelainya terkena serangan jantung, tapi karena ia sebenarnya meninggalkan saya.

Solusi Ibu saya: Ia tidak keluar rumah hampir setahun, bahkan untuk beribadah sekalipun! Ia tak mau bertemu dengan siapapun, entah itu keluarga maupun sahabat terdekat. Sementara saya? Well, semenjak dulu, saya memang memiliki karakter yang kuat dan mandiri, makanya saya tak membiarkan perasaan sedih ini mengendap lama.

Boleh sedih, tapi apakah meratapi situasi tiada henti akan merubah segalanya? Tidak, kan? Walaupun mesti bertemu dengan orang-orang, apalagi kolega kantor setelah “cuti nikah”, saya tetap berprinsip kalau saya harus move on. Ibu saya akhirnya memutuskan diri untuk “keluar” lagi di bukan Oktober setelah mendapat konfirmasi bahwa pernikahan kakak saya benar-benar akan terjadi, dengan orang Belanda pula! Pernikahan kakak saya jelas merupakan sesuatu yang membahagiakan, tapi di satu sisi, juga membuat saya sedih. Selain alasan yang jelas (she’s actually getting married!), tapi juga karena alasan... Ia menggunakan hampir semua perlengkapan pernikahan yang akan saya pakai tahun lalu, termasuk suvenir (berbentuk kincir angin), seragam pernikahan, dan...gaun pernikahan saya. Tapi saya bukannya tidak rela, lho, justru saya yang menyarankan ia untuk memakainya, karena daripada ia menghabiskan uang lagi untuk membeli – atau membuat – yang baru, lebih baik ia memakai yang sudah ada. “Memang tidak apa-apa?” ia bertanya dengan wajah yang penuh keraguan. “Nggak papa, udah pake aja, yang sudah lewat biarkanlah lewat,” saya menjawabnya. Sincerely.

“It’s Just Not Meant to Be”

Mungkin Anda akan bertanya, lalu, bagaimana dengan hubungan saya dengan Ron? Well, saya mengakhirinya. Why? Karena setelah kejadian itu, terlintas di pikiran saya kalau saya nanti akhirnya jadi menikah dengan Ron, saya mungkin akan menghabiskan waktu pernikahan dengan merawatnya, atau kalau tidak, dengan rasa was-was kalau sekatu-waktu hal itu dapat terjadi kembali, terdapat banyak sign yang semestinya menyadarkan saya kalau pernikahan ini is not meant to be.

Pertama, Ayah saya sebenarnya tidak menyetujui hubungan kami seratus persen lantaran perbedaan usia yang cukup jauh. Kedua, saya dan Ron pernah bertengkar di telepon, yang ujung-ujungnya ia menukas, “Stop it, it’s giving me a headache. I don’t even want to get married!” Dan ketiga, mungkin karena sebenarnya saya hanya ingin memenuhi keinginan keluarga, terutama Ibu saya. Saya hanya dibutakan dengan kemapanan dan kedewasaannya. Tapi pada akhirnya saya berpikir, yang semestinya punya mimpi, kan, saya sendiri. Orangtua saya sudah punya kehidupannya sendiri. Sementara yang menjalani hidup ini adalah saya, yang tahu senang atau sedihnya adalah saya sendiri. Maka dari itu, pada Agustus 2011, saya terbang ke Belanda untuk bertemu dengan Ron, untuk terakhir kalinya. If it’s meant to be, it’s meant to be, tapi sayangnya, that dream marriage tidak akan terjadi...untuk saat ini. [initial]

Source : Cosmopolitan, Edisi Desember 2012 halaman 251

(cosmo/dyn)