Berbagi cerita dengan anak adalah kebahagiaan sederhana seorang ibu. Kerinduan itulah yang dirasakan Ratna.
Oleh Fiona Yasmina
Awan mendung menghiasi langit Cibubur sore itu. Hujan deras yang mengguyur perjalanan GH menuju kediaman Ratna Dumila (29), presenter berita televisi swasta. Meski cuaca dingin dan kurang bersahabat, namun perempuan asal Surabaya yang akrab disapa Ratna itu menyambut GH Indonesia dengan hangat. Dari bibirnya meluncur cerita tentang putrinya, Rameyza Alya Hakim (3 tahun 9 bulan) yang biasa disapa Alya.
DIA SUKA BERSEMBUNYI
Saat bertemu dengan Alya, sepintas bocah perempuan itu tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Wajah cantik menggemaskan serta tingkahnya yang lucu tak mengisyaratkan ia menyandang autis tingkat ringan – sedang. Saat Alya berumur satu tahun, kondisinya terlihat normal seperti anak lain pada umumnya. Ia sudah bisa bersenandung lagu Kereta Api. Namun saat putrinya tidak kunjung mengucapkan syairnya meski terpatah-patah sekalipun Ratna merasa ada yang tidak beres. Ia pun berkonsultasi dengan psikolog. Oleh psikolog Alya didiagnosa terlambat bicara. Ratna pun mengikut sertakan anaknya untuk terapi wicara seminggu sekali, namun ternyata tidak memperlihatkan banyak perkembangan.
Delapan bulan berlalu. Perkembangan yang berarti tak kunjung muncul, perlahan kenyataan pun terkuak. Ternyata bukan terlambat bicara yang menjadi faktornya, Rido Harman (36), mantan suami Ratna, membawa Alya ke psikiater, hasilnya: Alya menyandang autis. Mendengar penjelasan itu hati Ratna terasa pedih. Tidak puas dengan penjelasan dari suami, Ratna pun mencari opini kedua dari seorang terapis. Hasilnya Alya dikatakan menyandang spektrum autisme pedidinos. “Namun tak lama pendapat itu pun berubah lagi, terapisnya mengatakan Alya ADHD. Saya pikir anak ADHD bebannya tidak terlalu berat,” ucap Ratna. Namun dari hari ke hari perilaku Alya menunjukkan sifat autis seperti bersembunyi di tumpukan bantal. Pemeriksaan berikutnya kembali dilakukan dan hasilnya Alya menyandang autis tingkat ringan – sedang.
Setelah mendapatkan diagnosa yang jelas, hati Ratna sedikit tenang. “Meski berat saya tidak menolak dan menyesali keputusan dokter,” kata Ratna. Ia merasa siap menghadapinya. Namun ia tak menduga saat-saat berat menantinya di kemudian hari. Itu adalah saat Alya mulai hiperaktif dan mudah marah. Saat itu Ratna merasa benar-benar diuji. Tak terhindarkan, tangis dan air mata menjadi bagian hari-harinya. “Hati saya seperti teriris, melihat Alya berputar-putar tidak tentu arah dan mengeluarkan suara-suara, seperti ‘Iiiikkk’ atau suara seperti orang menahan geram,” ucap Ratna.
Ratna pun menghadapi rasa heran orang-orang di sekitarnya. Seperti beberapa bulan lalu, Ratna melihat Alya duduk terpaku di tengah-tengah acara ulang tahun temannya. Lalu Ratna mendengar salah satu anak bertanya pada ibunya, “Kok Alya tidak bicara sama aku ya, bu?” Ibunya menjawab “Iya, Alya masih belajar bicara.” Hati Ratna pun semakin sendu.
DIET BERSAMA ALYA
Di sela-sela tangis dan emosinya, hati kecil Ratna berkata ‘Kalau terus menangis, kapan waktu untuk menolong Alya?’ Lalu Ratna mulai bangkit, dan mencari informasi tentang gangguan autis lewat buku, dokter, dan berbagai seminar. Hingga suatu ketia ia menemukan fakta bahwa autis bisa disebabkan oleh sistem pencernaan dan ini jugalah yang terjadi pada Alya. Kesimpulannya: Alya harus diet. “Diet itu berguna untuk memperlambat gejala autisnya, tidak membuat Alya semakin hiperaktif, dan meningkatkan konsentrasinya,” ungkap Ratna.
Dengan berat hati Alya dijauhkan dari makanan-makanan yang justru disukai anak-anak. Roti, gandum, mie, biskuit, wafer, tepung terigu, susu sapi dan turunannya, juga cokelat. “Dalam tepung terigu terdapat protein bernama glutein. Di dalam tubuh anak normal, seharusnya glutein bisa dipecah jadi asam amino, tetapi glutein di tubuh anak autis tidak bisa dipecah menjadi asam amino melainkan jadi peptida yang dapat menembus ke dinding usus lalu mengalir dalam darah. Ketika mengalir, peptida mampir ke otak dan bersahabat dengannya. Jika otak bertemu dengan peptida, maka peptida berdampak seperti morfin di tubuh anak autis sehingga anak jadi hiperaktif,” papar Ratna.
Berdasarkan hasil uji klinis dari dokter spesialis syaraf, Ratna mengetahui kalau Alya juga ternyata alergi telur. “Saya lalu mengusahakan di rumah juga tidak ada telur. Jadi saya dan pengasuh Alya juga ikut menu makanan Alya. Kalaupun saya ingin makan telur, saya akan makan sesudah Alya tidur,” ujar Ratna.
Upaya ini sangat sulit karena hati seorang ibu tak bisa tega menerapkan disiplin tersebut. Hal yang sulit jika Alya tak bisa menikmati kue tart, jelly dan makanan manis yang terdapat di kantong souvenir ulang tahun yang diberikan teman-temannya saat mereka ulang tahun. “Rasanya berat untuk bisa tega, tapi itu harus demi kebaikan Alya,” ujar Ratna. Namun untuk menyenangkan Alya, Ratna memesan makanan diet dan gula khusus untuk anak autis dari Yogyakarta dua bulan sekali. Kalau hatinya sudah benar-benar tidak tega, Ratna membolehkan Alya untuk makan mie ayam yang sangat disukai Alya.
JADWAL KETAT SINGLE MOM
Melihat keadaan Alya, sejujurnya Ratna mengaku ingin berhenti bekerja dan total mengurus Alya. “Namun saya single parent, saya memiliki tanggung jawab ekonomi keluarga ini. Terapi Alya tidak murah, jadi saya sebenarnya tidak dalam pilihan harus bekerja atau tidak. Pilihannya saya memang harus bekerja,” ujar Ratna. Merawat anak autis memang tidak murah. Ratna bisa menghabiskan Rp 3-3,5 juta per bulan dan itu belum termasuk makanan diet Alya.
Ratna bersyukur karena keluarga besarnya sebagian besar adalah perempuan-perempuan pekerja, sehingga mereka tidak mempermasalahkan Ratna yang bekerja dan meninggalkan Alya di rumah sendiri dengan pengasuh. Membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga memang tidak mudah. Terlebih jika memiliki anak berkebutuhan khusus. Bekerja sebagai presenter berita di salah satu televisi swasta tentu menyita waktu. Untunglah kantornya mengerti. Ratna diberi kelonggaran dua hari dalam seminggu untuk mengantarkan Alya terapi.
Berjibaku dengan waktu tak membuat Ratna lelah. Ia sangat terhibur dan merasa terharu saat perilaku Alya seolah ‘merestui’ Ratna bekerja. Pagi hari setelah Ratna selesai mandi, Alya sudah membukakan lemari pakaian ibunya untuk memilih baju. “Pernah ia menunjuk baju merah. Saat saya bilang, ‘Mama tidak suka baju itu’ Alya seakan marah dan meminta saya untuk memakainya. Saya akhirnya memakai baju pilihannya. Alya menunjukkan rasa senangnya dengan melompat-lompat,” tutur Ratna.
Waktu yang tersita untuk bekerja sebisa mungkin dibayar untuk selalu bersama Alya saat tidak disibukkan oleh kantor. Berjalan-jalan ke mal bersama misalnya. Namun Ratna harus siap dengan apa pun yang akan terjadi, misalnya tantrum di depan orang banyak.
Saat ini Alya masih balita, masa depan masih terbentang panjang di hadapannya. Meski banyak orang mengatakan bahwa anak autis itu cenderung cerdas bahkan super jenius, tetapi banyak juga yang akhirnya tidak bisa mandiri. Ratna bersyukur, setelah proses terapi kondisi Alya membaik. Ia sudah bisa mulai diajak berkomunikasi meski belum bisa bicara. “Saat saya pulang larut sekitar pukul sebelas malam kadang Alya yang tidur-tiduran di ruang tamu bersama pengasuhnya terbangun. Ketika saya menyapa, ‘Alya, Mama pulang...’ Tanpa suara, Alya segera memeluk paha saya. Pelukan itulah yang menghilangkan semua lelah saya hari itu,” tutur Ratna. Meski sampai sekarang Alya belum bisa bicara, ungkapan rasa sayang Alya seperti itulah yang menjadi pengobat rindu Ratna. Ia tetap menanti kata pertama Alya. Ratna menantikan suatu hari nanti, ia dan Alya akan bisa berkomunikasi dengan jalinan kata-kata.
Source : Good HouseKeeping, Edisi Desember 2012, Halaman 57
(vem/GH/dyn)