Tumbuh bersama film, buku, dan musik, membuatnya jatuh cinta terhadap dunia sinema. Lewat naskah cerita ia tuangkan keresahan dan pemikirannya.
Oleh Fiona Yasmina
Lahir di tengah keluarga yang suka membaca, masa kecil Salman Aristo (36) dikelilingi aneka bacaan. “Buku-buku, musik, dan film selalu menjadi bagian dari proses pertumbuhan saya,” ujar suami dari Retna Ginatri S Noer (27) ini. Cerita dan imajinasi dalam film, menariknya pada dunia-tulis menulis. Ia sempat bekerja sebagai wartawan di majalah Trax.
Semakin lama ketertarikannya pada dunia film dan tulis-menulis pun semakin dalam. Ia lalu menggabungkan kedua bidang itu menjadi satu profesi yang ia geluti hingga sekarang, penulis skenario. Aris, demikian biasa ia disapa, cukup produktif menulis skenario. Sebut saja diantaranya Sang Penari dan Ayat-ayat Cinta, yang membuat penonton berduyun-duyun ke bioskop. Karya lainnya yang tak kalah memikat, Catatan Akhir Sekolah, Hari untuk Amanda, Jakarta Maghrib, dan yang terbaru, Jakarta Hati.
EKSPRESI UNTUK JAKARTA
Aris pernah tinggal cukup lama di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Ada keresahan yang bergeliat di benaknya tentang Jakarta. Ia pun memutuskan untuk mempersembahkan cerita tentang Jakarta lewat film.
Tahun 2010 Anda membuat Jakarta Maghrib, lalu sekarang Jakarta Hati. Kenapa harus tentang Jakarta?
Saya anak Jakarta. Saya bisa merasakan kota ini lebih intim. Lebih dekat dan bisa memahami. Saya belum berani bercerita soal kota lain. Mungkin lebih baik sineas kota yang bersangkutan yang menceritakannya. Sebaiknya tidak mengandalkan sineas Jakarta untuk bercerita soal tempat mereka. Setiap kota pasti punya banyak cerita.
Anda membuat film tentang Jakarta secara omnibus. Mengapa gaya bercerita ini Anda pilih?
Omnibus adalah sketsa. Untuk saya, Jakarta itu tidak akan pernah selesai dan selalu bergerak. Cara yang menurut saya asyik adalah dengan membuat sketsa cerita. Pola cerita yang juga ‘tidak selesai’ tetapi sangat dinamis.
Jakarta seperti apa yang ingin Anda sampaikan?
Jakarta adalah kota yang kompleks. Saya harap penonton yang menyaksikan film ini khususnya warga Jakarta dapat merefleksikan diri bersama-sama.
CERITA BISA MERACUNI BANGSA
Pertengahan tahun 70-an, Aris merupakan bocah penggila televisi. Ia besar di tengah munculnya serial legendaris seperti opera sabun Dallas sampai Mork & Mindy. Program televisi di Amerika tumbuh pesat. Ledakkan televisi itu berpengaruh pada siaran lokal, mulai dari Losmen, ACI, Jendela Rumah Kita, Rumah Masa Depan, sampai Unyil yang melegenda. Tetapi menurut Aris, sementara program televisi Amerika tumbuh makin pesat, televisi kita melempem. Di tahun 2000-an Aris berhenti menonton televisi lokal karena semakin lama semakin tidak suka dengan isinya. Rasa itu nyatanya tidak ia sendiri yang merasakannya. Bersama teman-teman dari berbagai profesi, ia berusaha menahan rasa marah dan kecewanya dengan berkompromi membuat sebuah sindikat penulis bernama Wahana Penulis.
Mengapa penting bagi Anda terlibat di Wahana Penulis?
Wahana Penulis merupakan sebuah sindikasi penulis yang menyuplai cerita untuk televisi juga. Buat saya, bisnis cerita adalah suatu hal yang potensial dan bisnis yang memberikan manfaat. Saya terinspirasi sebuah kalimat yang diucapkan penyair dan novelis asal Nigeria, Ben Okri, “Bila ingin meracuni suatu bangsa, racuni cerita mereka.” Sepenting cerita untuk Aris.
Dari mana Anda mendapatkan inspirasi cerita?
Inspirasi datang dari mana saja. Tapi yang pasti dari embun yang saya lihat, tanah becek yang saya bersihkan dari ujung sepatu, tukang ojek langganan, lagu lama Slank dan Iwan Fals yang saya sering putar ulang, dan hal lain yang saya pijak serta rangkul di sini.
Memilih bekerjasama dengan artis terkenal untuk FTV apa ini salah satu cara mendorong rating?
Kerjasama yang bagus dan baik adalah hal yang pas. Hanya sesederhana itu saja. Dalam salah satu serial TV saya bekerjasama dengan Adinia Wirasti yang tergolong pemain baru. Apakah itu jaminan rating? Belum tentu.
Rating adalah dewa untuk televisi. Bagaimana berkompromi antara rating dengan idealisme itu?
Saya rasa rating hanyalah hantu televisi. Tentu tidak bisa modal pemain bagus pasti mendapat rating. Dua serial yang sedang saya kerjakan (Antalogi Kriminal dan Duet) ini adalah alternatif di sebuah stasiun TV baru. Humasnya akan mempublikasikan dan memasarkan dengan sigap dan lincah. Kunci kerja kerasnya ada di sana. Orang selalu tertarik dengan sesuatu yang baru. Nalurinya kan, begitu.
Source : Good HouseKeeping, Edisi Desember 2012, Halaman 55
(vem/GH/dyn)