Keluarga, tempat di mana semua dimulai dan di sanalah Anda selalu merasa nyaman dan mendapat pelukan hangat tanpa bayaran. Ada ayah, ibu dan saudara yang membuat hidup lebih berwarna.
Keluarga adalah tempat yang penuh keakraban dan keceriaan, sekaligus tempat dimana Anda belajar akan duka dan pemahaman akan tulusnya kasih sayang orang tua.
Jika saat ini Anda sedang jauh dari keluarga atau sedang berselisih paham, semoga kisah-kisah ini bisa mengembalikan kenangan manis akan keluarga dan orang tua Anda. Jika Anda masih tinggal dengan keluarga, salam sayang dari kami untuk mereka :)
Tekan tombol di bawah untuk memulai 9 kisah keluarga yang bisa membuat Anda semakin sayang ayah dan bunda.
(vem/yel)What's On Fimela
powered by
Rumah Terindah Itu Bernama Keluarga
Aku wanita berumur 35 tahun dengan keluarga kecil yang bagiku indah. Indah karena aku memiliki seorang suami yang taat dan dua putra-putri kecil. Aku seorang ibu rumah tangga yang setiap saat selalu siap menyapa keluarga ketika mereka baru pulang sekolah atau kantor bagi suamiku yang taat.
Berbicara mengenai kantor, suamiku yang taat adalah seorang korban PHK perusahaan swasta dan kini bekerja sebagai supir bajaj. Ya, kantor yang kumaksud adalah pangkalan bajaj di dekat rumah. Meski menjadi supir bajaj, aku yakin bahwa suamiku adalah orang yang taat pada agama. Terbukti dengan ceritanya beberapa minggu yang lalu.
Keluarga, sekeras apapun kehidupan di jalan, seliar apapun jalanan, ia akan selalu dirindukan. Karena hadir di dalamnya, banyak tawa harmonis yang menentramkan jiwa-jiwa kosong.
Baca kisah ini selengkapnya dalam Rumah Terindah Itu Bernama Keluarga.
Cinta Seorang Ibu Tak Habis Dimakan Waktu
Sahabat kami pernah bercerita pada suatu waktu, sebut saja namanya Laras, mengenai pengalamannya bersama sang ibu. Bisa dikatakan, Laras memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat dengan ibunya. Laras memiliki keluarga yang utuh, sejak kecil selalu tinggal bersama, tetapi dia sering mengatakan bahwa hubungannya dengan sang ibu tidak terlalu dekat.
Hingga tiba saatnya Laras telah selesai menempuh program pertukaran mahasiswa di Amerika Serikat selama tiga bulan. Sahabat kami ini tinggal di salah satu keluarga asing yang telah ditetapkan kampusnya (biasanya beberapa keluarga di Amerika Serikat bersedia menerima mahasiswa dari negara asing sebagai bagian dari keluarga mereka secara cuma-cuma).
Di sana, sahabat kami diterima dengan baik oleh keluarga barunya. Terlalu betah dengan keluarga baru dan lingkungan yang baru, Laras hanya sesekali menelepon keluarganya, termasuk ibunya. Dia hanya menelepon sebulan sekali, itupun hanya basa-basi menanyakan kabar dan tidak pernah lebih dari lima menit. Selebihnya, sang ibu tidak pernah menelepon balik, biaya menelepon cukup mahal bagi keluarganya, sehingga satu-satunya kabar adalah dari telepon yang selalu ditunggu sang ibu.
Baca kisah selengkapnya di Cinta Seorang Ibu Tak Habis Dimakan Waktu.
Selalu ada cinta dan doa dari ibu yang tidak akan habis dimakan waktu. Sudahkah Anda berterima kasih?
Ayah, Peganglah Tanganku Dan Jangan Lepaskan
Di alam liar, anak-anak dapat belajar banyak hal secara langsung tanpa membuat mereka bosan. Bahkan pelajaran-pelajaran tersebut umumnya tak ditemuinya di sekolah, namun sangat penting di dalam kelangsungan hidupnya kelak. Dan, tak hanya anak-anak saja yang bisa memetik pelajaran, orang tua juga banyak belajar hal-hal penting dalam hidupnya, lewat hal-hal kecil yang mungkin sering dilewatkannya dalam keseharian. Seperti cerita, berikut ini...
"Ayah. Kaulah yang seharusnya memegang tanganku,"
"Lho, apa bedanya?"
"Beda ayah. Jika aku yang memegang tanganmu, bila sesuatu terjadi padaku, maka tanganku bisa terlepas. Tetapi, bila kau memegang tanganku, aku percaya kau tak akan melepaskan aku sampai kapanpun, tak peduli apapun yang terjadi padaku..."
Dan begitulah, setiap anak-anak percaya bahwa setiap orang tuanya akan menjaga dan melindunginya setiap waktu. Menaruh harapan yang besar sekalipun mungkin suatu hal buruk mungkin saja terjadi pada mereka berdua. Tetapi, anak-anak tak pernah peduli akan hal itu. Selama ada orang tuanya, selama tangannya tetap digenggam, ia tetap akan merasa terlindungi.
Baca kisah selengkapnya dalam Ayah, Peganglah Tanganku Dan Jangan Lepaskan.
Langkah Kecil Pita, Anakku
Menikah di usia muda itu sama sekali bukan kesalahan. Satu-satunya hal yang salah adalah aku menikah karena gengsi, karena aku takut disebut perawan tua. Karena teman-teman seusiaku juga sudah ribut menikah. Dan karena aku inginkan status itu segera melekat sehingga aku tak jadi bahan pembicaraan orang.
Dan keputusan yang terlalu terburu-buru itu salah besar.
Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu sibuk, aku beruntung karena suamiku sudah mapan, punya rumah besar dan pekerjaan tetap yang penghasilannya lebih dari cukup. Kegiatanku sehari-hari mengurus anak dan rumah tangga. Sayangnya, di tahun kedua pernikahanku, aku mulai jenuh. Aku bosan. Aku iri dengan teman-teman lain yang masih bisa sekedar nongkrong di mall, mereka yang tak harus ribet mengurus anak dan bisa pulang pergi kapanpun mereka mau. Sedangkan aku, waktuku tersita untuk anakku, Pita. Aku merindukan kebebasanku.
Baca kisah mengharukan ini dalam Langkah Kecil Pita, Anakku.
Anakku Pita, maafkan ibu, nak. Terima kasih banyak atas kehadiranmu yang sekejap. Terima kasih untuk setiap langkah kecilmu yang membuat ibu sadar bahwa kau adalah anak kecil yang butuh dihujani dengan perhatian dan kasih sayang, bukan limpahan emosi dan keegoisan ibu semata.
Surat Para Ibu Kepada Anaknya
Suatu hari, seorang ibu menyadari bahwa ia tak punya apa-apa untuk diberikan kepada anaknya. Ia pun berpikir sepanjang hari dan akhirnya mengambil secarik kertas.
Mulai ditulislah barisan-barisan kalimat yang terlintas di benaknya. Pikirnya, bila ia tak sempat meninggalkan sesuatu yang berharga, setidaknya ia telah mengajarkan anaknya untuk tetap bisa bertahan hidup sepertinya.
Dan, beginilah kira-kira bunyi surat itu...
Anakku,
Aku hanya ingin kau tahu,
Hidup mungkin tak selalu indah berkilau seperti berlian.
Baca kelanjutan isi surat itu dalam Surat Para Ibu Kepada Anaknya.
Aku Bahagia Memiliki Ibu
Ini hari libur. Cuaca sedang sangat cerah dan pasti menyenangkan bila Tom dan ibunya menghabiskan waktu dengan bermain di taman kota. Tom masih berusia 9 tahun, ia adalah anak yatim. Ayahnya meninggal dalam perang saat ia masih berusia 4 tahun. Tom sering bertanya pada ibunya di manakah sang ayah berada. Si ibu seringkali menjawab dengan sedikit miris, namun ia selalu mengatakan dengan tegar bahwa Tom sangat beruntung karena saat ini Tom punya Ayah yang akan melihatnya di mana pun Tom berada, apapun yang Tom lakukan.
"Di mana itu, Bu?" tanya Tom.
Si ibu mengusap kepala Tom dan menjawab dengan senyum tulus, menahan keharuan, "Di surga, Sayangku."
Baca kisah mengharukan ini dalam Aku Bahagia Memiliki Ibu.
"Seringkali kita memuliakan apa yang tidak kita miliki, tanpa menyadari yang kita miliki adalah yang paling indah untuk hidup kita."
Ayah, Apakah Ini Ayah?
Seorang pria tua yang usianya sudah menginjak 85 tahun duduk di tepi kolam ditemani anaknya, yang usianya 42 tahun.
Ia sangat bangga pada anaknya yang sukses itu. Sekalipun ia tahu bahwa anaknya tak pernah punya banyak waktu untuknya kini. Memecah keheningan, sang ayah bertanya pada anaknya...
"Nak, ikan apakah itu? Warnanya cantik sekali,"
"Ikan koi, ayah. Aku membawanya dari Jepang," jawab si anak.
Mungkin Anda pernah mengalami kisah yang hampir sama, tidak sabaran dan suka membentak orang tua. Silakan membaca kisah ini dalam Ayah, Apakah Ini Ayah?
Jangan Menangis, Ayah, Maafkan Aku..
Saat kecil, seperti anak-anak yang lain, aku selalu dekat dengan ayah dan ibu. Semua hal aku ceritakan pada mereka. Aku sering memeluk mereka, mencium pipi mereka, begitu juga sebaliknya. Hingga tahun demi tahun, usiaku bertambah. Seperti ada penghalang tak terlihat yang membuatku semakin jauh dari ayah dan ibu.
Entahlah, mungkin karena dorongan masa puber, bahwa aku bukan anak-anak lagi, aku bebas menentukan apa yang aku mau. Saat usiaku masih 14 atau 15 tahun, aku merasa kedua orang tuaku terlalu mengatur, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Anak puber menjelang remaja punya emosi yang belum stabil, akupun demikian, aku tidak suka diatur, bahkan oleh orang tuaku sendiri.
Hal ini terus berlangsung hingga aku duduk di bangku SMA. Setiap pulang ke rumah, aku langsung masuk ke kamar, memutar musik dengan suara keras. Aku hanya keluar kamar untuk mandi atau ke toilet. Bahkan aku baru mau makan jika tidak semeja dengan orang tuaku. Aku menghindari mereka, aku malas diceramahi, aku malas dilarang-larang, aku tidak peduli dengan mereka. Bahkan saat ayah mengatakan ingin bicara, aku cuek saja. Kehidupanku terus begitu hingga menjelang hari kelulusan SMA.
Pernah mengalami kejadian serupa? Baca lanjutan kisah ini dalam Jangan Menangis, Ayah, Maafkan Aku..
Membayar Lunas Kasih Sayang Orang Tua
Selama ini aku tidak sadar betapa besar kasih sayang orang tua yang diberikan padaku. Aku merasa biasa-biasa saja, sampai sebuah kejadian kecil membuatku iseng menghitung berapa rupiah yang bisa aku bayar untuk melunasi kasih sayang mereka.
Iseng, aku keluarkan kertas dan kalkulator, aku mulai berhitung berapa kira-kira biaya yang dikeluarkan orang tua untuk kelangsungan hidupku hingga saat ini.
Tanpa kusadari air mataku menetas.
Sejak saat itu, aku semakin menghormati ayah dan ibu. Sebisa mungkin aku menyediakan waktu untuk mereka. Sebisa mungkin aku membahagiakan mereka. Tak sanggup jika aku harus membayar semuanya dengan materi. Bahkan jika aku memberi dunia, hal itu tidak cukup.
Apakah Anda pernah menghitung biaya yang dikeluarkan orang tua sejak Anda dikandung hingga saat ini? Baca kisah selengkapnya dalam Membayar Lunas Kasih Sayang Orang Tua.