Oleh Nandia Puspitorinni
Setelah lima tahun menjadi dosen, saya kangen dengan pekerjaan saya di konsultan design. Saya merindukan melakukan proses design dari A sampai Z (implementasi design). Kebetulan ada tawaran yang datang, jadi saya memutuskan untuk kembali di dunia kerja 9-5 (yang sebenarnya seringkali menjadi 9-9) dan mengambil cuti sementara menjadi dosen.
Sebelum mulai bekerja di kantor baru, saya sengaja menghabiskan waktu dengan anak saya, Elle (5). Saya puaskan diri bermain dengan Elle, karena di dalam benak saya, Elle akan merindukan saya. Sempat muncul ketakutan, dia akan rewel saat saya di kantor. Maka saya mulai mengikutkan Elle ke berbagai macam kursus. Anggapan saya, jika Elle sibuk, dia tidak akan terlalu merindukan saya karena jam kerja saya yang bisa dibilang cukup panjang.
Semua persiapan sudah rapi. Tibalah saatnya saya kembali ke dunia working mothers. Di hari pertama saya masuk kantor, saya berangkat dari rumah Elle belum bangun. Saya tiba di rumah, Elle sudah tidur. Saya pun mulai menangis...
Keesokan harinya dengan mata merah saya mulai bertanya kepada dua iron ladies (saya panggil demikian karena mereka sudah bekerja selama 27 tahun dan sudah berkeluarga). Saya bertanya berbagai tip menjadi working moms. Tak hanya itu, saya pun mulai bertanya ke sepupu-sepupu dan teman-teman yang juga ibu bekerja, tentang ‘how are they handling it’. Semua menjawab memang berat meninggalkan anak-anak di saat mereka masih kecil, but they have no choice. Mereka banyak berdoa dan mempercayakan buah hati mereka ke ibunya atau pengasuh. Mereka pun bilang bahwa saya termasuk yang beruntung karena masih mempunyai orang tua yang bisa dititipkan.
Saya jadi teringat kembali 10 tahun yang lalu di saat saya harus menjaga keponakan saya ketika kakak saya harus berangkat bekerja. Pada saat kakak saya berangkat di pagi hari keponakan saya menangis mencari kakak saya. Saya pun berusaha menghiburnya dan ikut sedih juga. Saya tidak pernah membayangkan bagaimana perasaan kakak saya yang harus berpisah saat anaknya sedang membutuhkan dia. Sekarang saya merasakan hal yang sama.
Saya beruntung bahwa anak saya tidak mengalami kesulitan (separation issues) saat saya bekerja full time. Celakanya yang mempunyai separation issues itu saya. Sampai sekarang setelah bekerja beberapa bulan, saya sudah melewati fase-fase dramatis akibat perpisahan sementara itu. Tapi tetap saja terkadang saya sangat merindukan anak saya.
Saya sangat salut pada working moms, bukan berarti saya tidak menghargai ibu rumah tangga. Tetapi tantangan dan pengorbanan para working moms. Apalagi para ibu yang tidak mempunyai pilihan lain selain harus bekerja full time.
Sampai sekarang saya masih menghadapi dilema apakah akan meneruskan karier saya di konsultan atau kembali mengajar. Saya beruntung memiliki pilihan. Jika akhirnya saya memilih untuk melepas karier full time dan kembali mengajar, itu karena satu hal yang tidak tergantikan: waktu bersama anak saya.
[initial]
Source: GoodHouseKeeping, Edisi Oktober 2012, Halaman 139
(GH/gil)