Anak PINTAR = Hidup LANCAR?

Fimela diperbarui 12 Des 2012, 08:00 WIB

Oleh Anna Surti Ariani

Begitu banyak produk yang diklaim bisa membuat anak semakin cerdas. Susu, suplemen, vitamin, buku, mainan, dan masih banyak lagi. Berbagai aktivitas pun diciptakan, untuk meningkatkan kecerdasan. Enam huruf ini: CERDAS, seringkali jadi tujuan utama para orangtua, seakan kalau anaknya cerdas maka hidup jauh lebih mudah dan indah. Padahal, punya anak cerdas tak selalu membuat hidup kita lebih mudah juga, kok. Saya punya contoh-contohnya.

Saya memiliki dua buah hati, si kakak (10) perempuan dan adik laki-lakinya (6). Lewat pengukuran intelegensi skala Wechsler yang dilakukan sahabat psikolog terpercaya, kedua anak ini memiliki tingkat intelegensi jauh di atas rata-rata. Mengajari mereka tidak butuh waktu lama. Itu kalau niatnya mengajari. Yang jadi masalah, banyak hal lain yang juga mereka pelajari tanpa saya sadari, dan seringkali berbalik kepada saya. Contohnya soal makanan sehat. Anak-anak saya tak terlalu hobi makan sayur dan buah. Tapi berhasil saya ‘anjurkan’ untuk menyantapnya dengan berbagai teknik (mencincang, variasi masakan, tampilan menarik, brainwash bahwa makanan tersebut sehat, dll). Kalau mereka masih menawar, kalimat andalan saya; “Kalian nggak harus suka makanannya, yang penting habis,” kata saya kalem. Kalimat ini pernah berbalik arah, diucapkan putra saya. Saat saya kesulitan menelan satu makanan daerah, dan ketika saya menolak makan ikan lele, “Ibu nggak harus suka, abisin aja.” Saya habiskan demi membuktikan bahwa saya menjalankan apa yang saya katakan.

Putri saya pernah membuat hati kebat-kebit. “Bu, tadi aku males ngerjain soal dari ibu guru. Jadi aku ajak ngobrol teman-temanku. Aku disetrap deh, di depan kelas. Lumayan kan, nggak usah ngerjain soal?” Kali lain, putri saya ditegur oleh gurunya karena ngobrol, “Ibu capek deh negur kamu terus sepanjang hari.” Jawab putri saya; “Mana mungkin sih, Ibu negur saya terus, kapan dong, ngajarnya?”

kecerdasan mereka juga m embuat saya harus ‘waspada’ agar tak diakali. Ketika proses pisah tidur misalnya, saya pakai teknik token system. “Kalau kamu tetap tidur di kamarmu sampai AC mati (dengan timer), maka kamu berhak dapat stiker ini,” kata saya. Esoknya si adik datang dengan membawa stiker hadiah (dari salah satu majalah anak) dan berkata, “Kalau ibu nemenin aku tidur, ibu boleh dapat stiker ini.” Lho!

Suatu hari karena lelah, saya tergoda berbuat curang, mengeset timer AC 8 jam (biasanya 14 jam). Ketika sedang nyenyak tertidur, si adik masuk ke kamar saya dan berkata AC sudah mati, lalu minta ditemani lagi. Baru pagi hari saya sadar bahwa dia mematikan AC demi ditemani. Oh, curang dibalas curang...

Darimana akal anak-anak ini? Yang pasti saya dan suami bukan konsumen berbagai jualan pencerdas anak. Kami hanya berusaha mengikuti anjuran para ahli dalam menjalankan hidup sehat plus banyak bermain bersama. Bukankah nutrisi dan segala asupan kurang berguna kalau interaksi mesra minimal saja?

[initial]

Source: GoodHouseKeeping, Edisi Oktober 2012, Halaman 141

(GH/gil)