Fira Basuki: This Is My Story

Fimela diperbarui 30 Nov 2012, 12:00 WIB

Kepada Cosmo ia bercerita...bagaimana ia bisa setangguh itu. (Diceritakan kepada Silvya Winny)

Semua orang bebas berkata apa, tapi yang pasti cinta sejati itu benar-benar ada. Tetap bertahan sampai sekarang. Walau ada dan tiada. Sekejap ataupun lama. Saya beruntung bisa merasakan, meskipun hanya beberapa saat saja. Ia, Hafez Agung Baskoro, sosok suami yang saya cintai sepenuh hati harus pergi lebih dulu meninggalkan saya, Syaza, dan sang bayi. Walau cinta pergi, tapi kasihnya setia abadi. Dan saya tahu itu.

Bertemu Cinta

Menginjak tahun 2010, menjadi orang tua tunggal selama tujuh tahun, membesarkan anak yang beranjak remaja, Syaza Galang, dan disibukkan dengan urusan majalah Cosmopolitan, tak pernah terpikirkan oleh saya untuk mencari seorang pria, I mean, suami saat itu. Kesempatan dating itu beberapa kali menghampiri saya, tapi belum menemukan yang pas. Ada beberapa kendala, mulai dari pria yang saya kencani ambil langkah mundur teratur hanya karena status, atau merasa ciut akan posisi saya sebagai editor in chief.

Ada dalam fase 'tebal hati' pada sosok pria, suatu hari di sebuah penjurian kompetisi ajang nyanyi majalah sendiri, Cosmopolitan Star Search November 2010, saya terpesona dengan aksi gitaris (juga kakak laki-laki) salah seorang peserta Tantry Agung Dewani. Dalam hati saya ingin tahu pria itu siapa. Dan ternyata, pria itu menanyakan siapa saya via reporter Cosmo. Lewat 'perantara', kami bisa saling kenal dan saya tahu namanya, Hafez Agung Baskoro. Ternyata Tantry keluar jadi juara kompetisi. Intensitas pertemuan kami berdua bertambah dengan seringnya pemotretan bersama Cosmo. Melihat sang kakak juga menanggapi ingin kenal dekat dengan saya, Tantry tak menolak menjadi penghubung kami berdua.

Bermula dari sanalah, saya dan Hafez saling kenal, cepat akrab, yang lama-kelamaan bikin kami jadi dekat. Walau usianya jauh lebih muda dari saya tapi saya tak memandangnya sebagai halangan, karena ternyata ia jauh lebih dewasa dari saya. Mungkin Anda bertanya, apa yang buat ia beda dari pria-pria lain yang pernah dekat dengan saya? Hafez adalah pria yang always being himself, ia bahkan clueless tentang siapa saya di awal jumpa. Dalam waktu cepat kami bisa jadi sangat, sangat dekat. Pria ini terang-terangan menunjukkan ketulusan hatinya, bukan hanya pada saya, tapi juga pada Syaza my only child. Kedekatan kami semakin intens. Hafez ialah pria yang romantis. Ia tunjukkan rasa sayangnya pada saya lewat nada dan nyanyian, seperti yang ia lakukan saat meminta saya jadi kekasihnya. Saya masih ingat, jernih suaranya, petikan gitarnya, yang ia kirimkan pukul tiga pagi via BBM. Sudah tak mungkin lagi untuk menolak cintanya. He’s truly my soulmate. Mulai dari minta jadi kekasih, ia lekas bergerak cepat meminta saya secepatnya jadi istrinya. "Lebih cepat, lebih baik," katanya yang saya ingat, atau "Karena aku mau cepat-cepat wanna be with you," katanya di keesokannya, beberapa minggu setelah – ah, setiap kali saya tanya.

Persiapan pernikahan saya terbilang cukup kilat. Semua dibuat simpel, bahkan diadakan di masjid yang dibangun oleh keluarganya. Walaupun ia berasal dari keluarga berada, Hafez sendiri yang mengurus dan membiayai pernikahan kami semampunya ia. Saya ingat perkataannya, "This is my thing." Sampai soal memilih perlengkapan sholat sebagai mas kawin kami, yang cukup aneh kalau sekarang saya ingat lagi karena pilihan ia untuk sajadah berwarna hitam. Menjadi calon istri yang akan dinikahi, saya merasa terenyuh melihat kegigihan dan usahanya mempersiapkan hari bahagia kami. Jatuhlah hari Jumat tanggal 25 November 2011 sebagai hari bahagia kami berdua. Ya, Jumat. Hari yang dianggap suci baginya, juga sebagai hari baik bagi umat Islam. Mungkin yang jadi pertimbangan lain: Ia juga ingat, ia lahir di hari Jumat.

Saya menikah dan resmi mengakhiri masa-masa hidup sendiri. Saya bahagia, sangat! Menikah dengan suami yang paling baik, paling tidak pernah ingin merepotkan, paling pintar menggoda saya, dan memberi apa yang saya minta. Sampai ketika Tuhan memberi karunia lebih buat keluarga kecil kami: Saya hamil. Ia senang bukan main. Sampai-sampai setiap hari selama enam hari berturut-turut, Hafez menyuruh saya untuk tes dengan alat tes kehamilan yang berbeda. We are totally in love with each other. Saya merasa aman ada di sampingnya, bagaikan terlindungi dan punya hidup yang sempurna.

Yang Terjadi, Ia Pergi...

Sejak pacaran, lalu menikah, kami tak pernah saling jauh. Sampai menjelang keberangkatan Hafez ke Semarang dan Yogyakarta untuk urusan bisnis di hari Minggu pagi 11 Maret 2012. Karena kami akan berpisah cukup lama, hari Sabtu kami habiskan seharian berdua. Ia tak bisa jauh dari saya, apa-apa maunya selalu dekat. Siapa sangka, hari itu menjadi hari terakhir kebersamaan kami yang indah. Sejak pagi saja mood-nya sudah semangat. Mulai dari menemani pergi memantau si jabang bayi, yang memasuki bulan ke empat kandungan, ke dokter. Sampai melihat sosok janin di monitor ia kesenangan, dan melonjak seperti orang gila. Selesai dari dokter, saya ikut menemaninya membeli ponsel baru yang kemudian heboh menarik saya untuk foto bersama. Tidak biasa-biasanya dia begitu. Hafez lebih senang menangkap gambar orang lain, bukan foto dirinya sendiri. Hasil fotonya sangat bagus dan langsung ia jadikan wallpaper ponsel. Saya juga jadi ikut-ikutan. Saat senggang, kami sama-sama menyiapkan nama untuk si bayi. Saya ceritakan padanya kalau sudah dua kali saya didatangi sosok berjubah putih dan berwajah cahaya dalam mimpi yang memberi nama si bayi. Karena nama itu genderless dan punya arti yang indah, akhirnya kami sepakat akan memakai nama itu dan berdiskusi nama panjangnya jika si bayi nanti lahir laki-laki atau perempuan. Hafez mengingatkan untuk menuliskan nama itu dan menyimpannya di ponsel agar saya tak lupa.

Minggu pagi, ia berangkat pagi-pagi sekali. Sebelum ia pergi, saya meminta ia pamit ke semua orang termasuk ibunya dan Syaza. Dengar punya dengar, ternyata kami semua diberinya ciuman perpisahan. Saya yang biasanya hanya mengantar sampai teras depan, entah kenapa ikut mengantarnya sampai ke jalan. Berat rasanya melepas Hafez pergi tugas ke luar kota. Kalau tak ingat dengan kerjaan saya, seperti ingin ikut ia pergi.

Rabu 14 Maret pukul dua dini hari, saya terbangun dan sulit tidur lalu menelepon Hafez yang (kebetulan) juga belum tidur. Kami ngobrol panjang lebar di telepon. Tiba-tiba pukul empat pagi, ia telepon saya lagi dengan suara yang sudah terbata-bata, lalu saya minta ia untuk sholat dan pergi tidur. Belum lama tutup telepon, ia kembali telepon saya dengan suara yang masih sama "Aaa...eee...aaa...eee." Lalu, saya kembali mengiriminya doa. Tak ada telepon darinya lagi setelah itu, pikir saya mungkin ia tertidur.

Usai sholat subuh, kakak ipar saya datang memberi berita kalau Hafez masuk rumah sakit. Saya kaget, dan segera mencari flight paling pagi ke Yogya. Saya jatuh lemas, hilang daya melihat suami saya mengalami koma dan terbujur kaku di atas kasur IGD RS Panti Rapih. Bayangkan, Hafez selama ini terlihat selalu sehat dengan tubuh tinggi besarnya. Dokter yang masih mencari tahu apa penyakit Hafez, akhirnya memberi tahu jika ia terkena serangan aneurisma secara mendadak. Penyebabnya bisa jadi kelainan pembuluh darah sejak lahir, ditambah ia sedang dalam kondisi kelelahan. Mungkin terdengar asing di telinga orang awam. (Aneurisma ialah kelainan pembuluh darah otak akibat penipisan dinding pembuluh darah arteri. Kondisi ini menimbulkan kelemahan pada dinding pembuluh darah sehingga membentuk tonjolan seperti balon. Penyebabnya yakni, kelainan bawaan, hipertensi, dan adanya infeksi atau trauma). Saya tak pernah beranjak dari sampingnya. Doa juga terus saya alirkan, saya ingin ia dengar setiap doa yang saya bacakan. Sesudah mengaji tanpa putus, Jumat dini hari, saya tertidur dan mimpi bertemu pria berjubah yang dulu pernah mendatangi mimpi untuk memberi nama. Mimpi kali ini, saya masuk ke toko mainan, melihat sebuah mobil-mobilan beroda (hanya) tiga yang hilang di kursi pengemudinya. Diberikannya mobil itu kepada saya. Mengapa hanya tiga? Itu seolah memberi tanda, hidup tetap harus bergerak walau nanti hanya saya, Syeza dan si bayi.

Saya terbangun dari mimpi tepat saat adzan subuh. Selesai sholat, saya me-wudhui Hafez, dan merasakan kakinya mendingin. Saya memegang tangannya terus, hingga monitor jantung menunjukkan jantungnya lemah, dan berubah jadi garis lurus. Saya panik, menjerit panggil dokter. Tim dokter memeriksa Hafez, dan Jumat pagi, 16 Maret 2012, pukul 07.05 WIB dokter menyatakan suami saya telah meninggal dunia. Saya lemas, tiada daya. Melihat wajahnya yang tersenyum tampan tanpa beban, saya mengikhlaskan dia pergi lebih dulu, meninggalkan saya di sini. Saya genggam tangannya dan menciumnya. Melihat ia pergi tanpa derita, damai dengan senyuman, dan di hari Jumat yang ia anggap baik, semuanya terasa baik dan indah buat saya.

Saya, Bisa Jalan Terus

Banyak media yang memberitakan kabar soal saya. Afeksi untuk saya pun membanjiri. Awalnya, saya memang menangis tapi lama-kelamaan saya jadi kebal. Saya tidak ingin membuat orang lain sedih dan mengibai begitu mendengar cerita saya. Saya ingin membuat orang cheer up, memotivasi orang untuk positif, dan melakukan hal yang fun juga fearless. Apalagi meninggalnya Hafez bukan cuma 'kehilangan' bagi saya, tapi juga keluarga selain itu mengingat ia anak laki-laki satu-satunya. Tak ingin dirundung duka kepanjangan, seminggu selepas ia pergi saya kembali beraktivitas. Masuk kantor, atasan menanyakan jadwal saya untuk mengatur kepergian ke Madrid, Spanyol dalam rangka menghadiri pertemuan para pemimpin redaksi dan tim Cosmo seluruh dunia, bernama Cosmic di bulan April. Dan, ini artinya kalau saya meluncur ke sana, saya akan melewatkan pengajian 40 hari almarhum Hafez. Seperti dapat petunjuk dari Hafez, yang seolah memberi saya sinyal kalau ia tak ingin saya menyimpan kesedihan. Berangkatlah saya dalam keadaan hamil dan menempuh perjalanan selama kurang lebih 15 jam hingga sampai Madrid.

Berada di Madrid disibukkan dengan urusan pekerjaan, rapat sana-sini berhari-hari, akhirnya kami diberikan free time. Bukannya pergi shopping, berangkatlah saya menuju Toledo, dua jam perjalanan ditempuh dari Madrid. Melihat sungai yang jernih, beratapkan langit biru cerah, burung-burung beterbangan, saya membatin dalam hati berseru pada Hafez, "Di sini sudah bagus begini, apalagi di tempatmu sana ya," – itu sangat menghibur saya.

Sekembalinya dari sana, saya berpikir untuk menyelesaikan buku 140 Karakter. Saya berniat menambahkan isi buku itu dan mendedikasikannya untuk almarhum suami saya. Buku ini berisi kumpulan twit saya @FiraBasuki, yang apabila dipilah satu-satu ternyata banyak firasat soal kematian. Buku ini sekarang sudah beredar dan telah mencapai cetakan ke dua dalam kurun waktu kurang dari sebulan! Saya bersyukur atas apa yang Tuhan berikan untuk saya. Juga dukungan dan curahan sayang keluarga, mulai dari ibu kandung saya, ibu mertua, Syaza, hingga keluarga besar.

Lokasi rumah yang jauh kantor, saya pun akhirnya memutuskan kembali tinggal di apartemen yang dulu saya tempati sebelum menikah dengan Hafez, untuk memudahkan mobilisasi. Banyak barang-barang di apartemen saya yang sengaja Hafez minta jangan dipindahkan, dengan alasan mungkin akan saya perlukan lagi kelak. Lagi-lagi, firasatnya ada benarnya juga. Saya melakukan rombak ulang apartemen, dari segi warna, penataan ruang, dekorasi, furnitur, semuanya deh. Saya letakkan pula foto-foto Hafez agar soul-nya akan selalu ada, dan tak lupa...persiapan barang-barang untuk si kecil nanti.

Apa yang saya alami saya lihat bukan sebagai beban, tapi sebagai kebesaran cinta Tuhan pada saya. Saya tidak akan pernah melupakan kehadiran Hafez dalam hidup saya, makanya kembali saya 'hidupkan' namanya lewat Twitter. Kalau saya rindu padanya, saya raih BlackBerry saya dan kembali dengarkan suaranya lewat isi voice note yang dulu pernah ia kirimkan, dengarkan ia bernyanyi untuk saya. Sangat menghibur hati. Apalagi kehadiran si bayi nanti!

Hidup itu harus berjalan maju. Fokus saya sekarang ialah anak-anak, keluarga dan pekerjaan. Saya bersyukur pernah merasakan apa itu cinta sejati, dan tugas saya adalah membuatnya bagaimana bisa tetap abadi.

Move On Setelah Masa Duka

Sedih, kecewa, dan marah jangan sampai Anda biarkan berkepanjangan! Kasandra Putranto, psikolog mengatakan, solusi terhadap kondisi ini hanya satu, yaitu waktu. Kehilangan bukan buat Anda hindari, tapi untuk dihadapi. Menipu perasaan dengan tantangan untuk kuat padahal kenyataannya tidak, bukanlah ide yang baik. Pastikan ada kehadiran teman dan keluarga ada di dekat Anda. Memberi batas waktu pada diri sendiri punya kans untuk berhasil daripada untuk bisa mengatasi perasaan.

Menurut Kasandra, Fira Basuki telah mengembangkan kualitas ketangguhan fisik dan mental yang luar biasa. Variasi peran sebagai ibu, istri, pimpinan, kolega, dan sebagai wanita yang mandiri mampu memberikan penghayatan maksimal dalam hidupnya, dalam artian ia mampu mengatasi perasaan, lalu bisa memaknai apa itu hidup, and then, move on.... [initial]

Source: Cosmopolitan, Edisi September 2012, Halaman 205

(Cosmo/bee)
What's On Fimela

Tag Terkait