Musuhku Ternyata Menjadi Cinta Sejatiku

Fimela diperbarui 21 Okt 2012, 10:00 WIB

Oleh: Riesta K. Dewi

Urusan jodoh memang membingungkan dan penuh misteri. Selama ini aku pikir jodoh itu harus dicari, harus dikejar sampai dapat (kalau bisa dengan cara apapun), ternyata Tuhan punya jawaban lain atas jodoh yang tepat untukku.

Saat ini aku sudah menikah dengan satu orang putera yang masih berusia tiga tahun. Pertama kali bertemu dengan suami lama sekali, saat aku masih di bangku Sekolah Dasar. Bisa dibilang, aku dan suami ini adalah musuh lama. Jujur ya, aku membencinya sejak masih duduk di bangku SD. Bagaimana tidak, kelakuannya selalu bikin kesal. Dia pernah memasukkan cicak ke dalam tas sekolahku, menarik rambutku atau menyembunyikan buku PR milikku.

Namanya Bobi. Apapun yang dia lakukan selalu membuat aku jengkel bahkan menangis. Boleh dibilang, aku menganggapnya sebagai anak nakal dan musuhku. Aku malas bicara dengannya, bahkan lewat di depannya. Hingga akhirnya kami berpisah saat lulus SD.

(vem/yel)
2 dari 4 halaman

Impian Tidak Selalu Terwujud

Waktu SMA aku mulai pacaran, tapi ya cuma pacaran begitu saja, belum terpikir untuk menikah atau jenjang serius yang lain. Sampai ketika aku kuliah, aku ketemu lagi dengan Bobi. Dia yang pertama mengenaliku, kami satu jurusan. Walaupun tahun demi tahun berlalu, aku masih menyimpan rasa tidak suka padanya. Jika dia bertanya padaku, aku akan menjawab dengan singkat. Apapun aku lakukan asal tidak dekat-dekat dengannya.

Tapi apa mau dikata, kami satu jurusan, sering kuliah dengan jadwal yang sama. Ah biar saja, begitu pikirku. Selama dia tidak menggangguku seperti dulu, aku cuek saja dengan kehadirannya, aku tidak terlalu peduli.

Singkat cerita, saat kuliah, aku mengincar kakak kelasku. Dia adalah pria cerdas yang sangat mendekati tipe idealku. Anda pasti mengerti tipe ideal, misalnya.. Aku nanti ingin menikah dengan pria yang tinggi, suka memasak, mandiri dan sebagainya. Bisa dikatakan si pria ini mendekati tipe suami idamanku.

Berbagai cara aku lakukan untuk bisa dekat dengannya. Akhirnya kami dekat, sering ngobrol bareng, dia juga sering mengajakku makan di luar. Tapi ya.. hanya begitu saja. Dia tidak pernah mengajakku untuk serius berpacaran. Mungkin benar ya, orang yang jatuh cinta logikanya padam. Aku terus saja berharap dan menunggu agar si pria sempurna itu dibukakan pintu hatinya dan menjadikan aku pasangannya. Seperti impianku selama ini.

Tahun demi tahun berlalu hingga hari kelulusanku tiba. Tidak juga aku mendapat sinyal si 'pria idealku' ini mengajakku ke arah serius. Aku seperti digantung, tapi juga tidak rela melepaskannya. Tidak banyak pria yang semenarik dan hampir sempurna seperti dia. Penah nih Bobi bertanya, "Kamu nggak capek nungguin dia terus? Keburu tua tauk," Pertanyaan itu memang menyebalkan dan lancang, tetapi seolah jadi palu yang menghantam pikiranku.

Ternyata tidak selamanya apa yang aku impikan, bisa terwujud.

3 dari 4 halaman

Ajakan Menikah

(c) shutterstock

Mungkin saat itu aku benar-benar bodoh (kata orang, jatuh cinta itu harus bodoh, kalau belum bodoh, belum jatuh cinta namanya). Entah apa yang aku pikirkan hingga terus saja mengejar si pria yang aku anggap sempurna itu. Padahal kalau dirasa-rasa, aku capek juga menunggu dia. Akhirnya aku memasrahkan diri, jika dia jodohku, aku percaya akan didekatkan, jika tidak, aku harap Tuhan memberi sedikit sinyal agar aku bisa melepaskannya.

Seminggu kemudian, ibuku masuk rumah sakit. Positif demam berdarah menurut dokter. Sudah jelas aku panik, apalagi ibu tidak pernah masuk rumah sakit. Lima hari aku di rumah sakit, menunggu ibu yang masih pucat dan berkali-kali melakukan tes pemeriksaan darah. Ajaibnya, Bobi banyak menemaniku, karena dia juga mengenal ibu semasa aku di SD dulu. Aku anggap itu sebagai bentuk perhatian teman masa kecil tidak lebih.

Di depan ibu, aku dan Bobi bercakap-cakap seperti teman lama (walaupun aku masih dongkol waktu itu). Dan aku tidak percaya saat dia mengatakan "Gimana kalau kita nikah aja?" Aku dan ibu tertawa, mengganggapnya bercanda agar ibu tidak memikirkan sakitnya. Tapi ternyata dia tidak bercanda. Saat aku mengantarnya sampai bagian depan RS, dia mengatakan bahwa waktu kecil dulu, dia naksir aku, mungkin cinta monyet, begitu pengakuannya.

Semua hal yang menyebalkan dia lakukan hanya untuk menarik perhatianku saja. Dia juga bilang bahwa dia benar-benar jatuh cinta padaku saat kami bertemu ketika kuliah. Tapi dia tahu sedang jatuh cinta dengan cowok lain, sehingga dia tidak langsung mengatakannya.

Tidak tahu bagaimana perasaanku waktu itu, senang, malu, kesal dan tidak tahu harus menjawab apa. Tapi aku ingat sekali dia bilang begini, "Kalau ada pria yang benar-benar serius, kenapa masih mengejar dia yang tidak peduli dengan kondisi kamu saat ini?"

Kadang, hal yang menyakitkan itu bukan kebohongan, tapi kejujuran. Dan itulah yang aku rasakan. Si pria sempurna itu bahkan tidak menanyakan kabarku atau ibu, padahal dia tahu bahwa ibuku sudah lima hari di Rumah Sakit.

4 dari 4 halaman

Dia Jadi Suamiku

(c) shutterstock

Mungkin kejadian itu adalah jawaban atas doaku. Pelan-pelan aku menetralkan perasaan, atau apalah namanya. Jujur, sangat sulit, ketika seseorang yang benar-benar diharapkan menjadi pendamping hidup harus rela dilepaskan dan dilupakan. Tapi kata-kata Bobi aku anggap benar, jika saat ini dia yang aku anggap sempurna tidak peduli, bagaimana nanti. Jika di dekatku ada pria yang peduli dengan hidupku, kenapa mengejar yang tidak pasti?

Aku berpikir dan terus berpikir. Sampai akhirnya aku sadar bahwa cinta itu memakai hati, tidak bisa dipikir. Sedikit demi sedikit aku melihat bahwa Bobi bukanlah bocah laki-laki nakal yang menyebalkan. Dia sudah menjadi pria muda yang baik, sopan dan ramah. Aku menyesal kenapa tidak melihat hal ini sejak awal kuliah (karena waktu itu mataku sedang buta oleh cinta).

Sedikit demi sedikit aku mulai membuka hati untuk Bobi. Aku katakan padanya, pelan-pelan saja dulu. Hingga akhirnya aku mantap bahwa dia adalah pria yang tepat untuk menjadi pendamping hidup, menjadi orang yang aku hormati dan kelak akan menjadi ayah yang baik. Setahun setelah ibu dirawat di Rumah Sakit, aku meng-iya-kan ajakannya untuk menikah. Dan inilah kami sekarang, keluarga kecil yang bahagia.

Di hari pernikahan kami, banyak teman-teman SD yang kami undang. Mereka kebanyakan mengatakan, "Ciye.. yang dulu musuhan sekarang jadi suami istri.." atau "Yang rukun ya, jangan berantem melulu kayak dulu.." Itulah misteri jodoh, siapa yang tahu. Tapi aku sudah tidak lagi membenci Bobi, aku membangun cinta yang kuat, kami sama-sama ingin berlayar dengan tenang, sehingga sebesar apapun badai yang datang, kami tetap kuat.

Itulah ceritaku, maaf kalau sangat panjang, semoga bisa bermanfaat untuk pembaca Vemale. Saranku hanya satu, jika saat ini Anda masih galau karena urusan jodoh, buka mata dan hati Anda. Coba lihat di sekitar Anda, kadang kita tidak melihat perhatian kecil yang diberikan seseorang. Kadang jodoh kita bukanlah orang yang kita anggap ideal atau sempurna, karena cinta sejati akan saling menyempurnakan.