Ramalan Nenek II

Fimela diperbarui 18 Jul 2012, 10:00 WIB

Artikel sebelumnya Ramalan Nenek I

Tiga tahun lalu aku bertemu dengannya di sebuah acara pembukaan pameran lukisan di sebuah galeri di Kemang. Aku hadir mendampingi Bu Melina, pemilik perusahaanku yang mensponsori acara tersebut. Aku yang tidak menyukai dunia seni apalagi lukisan, sama sekali tak nyaman berada di acara semacam itu. Tapi, lalu aku bertemu Toni, salah seorang pelukis yang karyanya dipamerkan di sana. Dia menghampiriku ketika aku bertanya kepada panitia tentang lukisan yang mengapa tiba-tiba menarik perhatianku. Sebuah lukisan sepasang kekasih yang tengah berjalan di sebuah taman seraya berdekapan di bawah gerimis ketika senja hampir habis.

“Ini lukisanmu?” aku bertanya. Toni mengangguk seraya tersenyum manis sekali, yang membuat aku gugup setengah mati. “Yang ini bagus. Saya suka sekali,” kataku, seraya mencuri-curi pandang wajahnya. Aku tahu Toni agak tersipu mendapat pujian. Esoknya, Toni mengirim lukisan tersebut ke kantor, disertai tulisan: lukisan indah untuk perempuan terindah. Sejak itu rangkaian demi rangkaian pertemuan kami lakukan. Di galeri lukisan, studio tempat Toni melukis, toko buku, pertunjukkan teater, di kafe, di mana saja, mengobrolkan apa saja, bukan hanya tentang lukisan dan seni lainnya. Obrolan apa saja rasanya selalu klik dengan Toni. Kehadiran Toni seakan menghidupkan diriku yang selama ini terasa mekanis oleh timbunan pekerjaan yang tak pernah habis. Aku yang selama ini kaku berkomunikasi di luar persoalan bisnis, menjadi lebih lentur dan rileks. Toni telah mengubah hidupku menjadi lebih indah dan penuh warna-warna mengesankan. Dengan bersemangat aku mengupayakan perusahaanku mensponsori gelaran pameran tunggal lukisan-lukisan Toni.

Kami merasa saling cocok sehingga akhirnya memutuskan untuk meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan. Ibu dan saudara-saudara yang lain tidak ada masalah, meski pernah juga terdengar secara bercanda lontaran-lontaran miring tentang Toni. Menurut Rendi, adikku, pelukis seperti seniman umumnya jago merayu gombal, dan sering menganggap enteng cinta dan kesetiaan. Aku tak merasa perlu menanggapinya. Karena toh mereka menyerahkan padaku kebebasan untuk memilih lelaki yang akan jadi pasangan hidupku. “Ibu percaya, kamu sudah dewasa dan cerdas. Pasti selalu mempertimbangkan matang setiap keputusanmu,” begitu ibu pernah mengatakan padaku. Tapi nenek berkata lain.

Aku pernah menceritakan hal ini pada Toni. Dia tertawa, lantas dengan nada bangga yang tidak bisa disembunyikan dia bercerita tentang kakeknya. Dia bilang, kakeknya dulu memang playboy. Ada sekian banyak perempuan yang jadi korban keplayboyannya. “Dia memang jago merayu seperti penyair. Aku tidak menyangka ternyata nenekmu korban pertama kakekku,” ujarnya. “Tapi kamu harus catat, Marsa. Kakekku playboy tidak ada hubungannya dengan kegemaranku melukis. Lagi pula tidak semua pelukis playboy, sama seperti tidak semua guru setia,” ujarnya. Aku turut tertawa, menyepakati ujaran Toni.

“Marsa, nenek sangat mengagumi bakat kepemimpinanmu. Sejak SD kamu selalu juara kelas. Perhitunganmu selalu mantap. Tapi kenapa semua bakat-bakat itu tak digynakan ketika harus memilih laki-laki? Toni bukan lelaki yang bisa dipercaya.” Nenek tiba-tiba muncul di sampingku. Menguapkan pikiranku soal Toni. Dia meraih pundakku, tapi aku menundukkan kepala menyembunyikan ekspresi wajahku. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuk berdiskusi dengan nenek. “Dulu dia juga senang melukis, Marsa. Kamu tahu seperti apa kehidupan pelukis? Mereka suka pacaran dengan perempuan yang jadi model lukisannya.” aku sudah tak berselera mendengarkan wejangan nenek. Dengan menunjukkan sikap tidak setuju aku bangkit, melangkah ke dalam, lantas berkemas pulang malam itu juga tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Dalam perjalanan pulang aku dilanda keresahan yang makin mendera. Namun ketika kereta memasuki Stasiun Gambir, di hatiku ada keputusan bulat, tetap melanjutkan rencanaku menikah dengan Toni.

***

Rasanya tak mungkin melupakan ramalan nenek. Karena betul, dua tahun setelah menikah, kami berpisah. Aku menghela napas. Kusesap teh hijau kegemaranku, sambil menatap sebuah lukisan yang hampir rampung.

“Kalau kamu ngantuk, tidur di kamar, sayang,” ucap Fred tanpa menatapku. Aku mengabaikan permintaannya, tak beranjak dari kursi panjang, terus menatap ia yang tengah merampungkan lukisan. Ingatanku melayang kepada Toni dan wajah nenek yang telah meninggal, sehari setelah pernikahanku dengan Fred. Ya.

Semua berawal dari kunjungan Fred, kawan Toni, seorang pelukis juga. Aku kepincut dengan senyum Fred dan cara lelaki itu menatapku. Aku lalu meninggalkan Toni dan menyusul Fred ke Bali, menggenapkan perselingkuhan kami. Dan kini aku menemani Fred yang sibuk melukis. Aku ingin bertanya pada lelaki itu, apakah ia pernah mendengar soal Toni? Tahukan ia di mana sekarang Toni berada? Tapi niatku kuurungkan, sungguh aku tak mengira betapa ramalan nenek benar-benar terbukti. `

Source: GoodHouseKeeping Edisi September 2011, Halaman 108

(vem/tik)